webnovel

Mengeluh ke Sahabat

Lisya masuk ke dalam kamarnya di pendopo sepupu muda dimana dia satu kamar dengan adek perempuan lainnya, Syika. Dengan mukanya yang terlihat berpenampilan murung. Karena sebuah alasan percakapan sensitif dengan Vanka tadinya. Lisya masih belum bisa berpaling dari perasaannya yang menandakan jika dirinya memang sedang bete sejadi-jadinya. Dia yang tidak bisa bersembunyi dari air mukanya yang masih murung. memilih agar memalingkan wajahnya dari pandangan Syika.

Lisya sekarang sedang memandang jauh ke arah jendela besar tempat perbatasan kamar dengan balkon, dia berdiri membelakangi Syika saat itu. Berlindung dari pertanyaan yang Syika nantinya tanyakan kepadanya. Karena dia masih malas untuk menjelaskan selebihnya atas perasaannya yang dirasa selama acara bakar-bakar selesai sampai sekarang. Saat semua para sepupu sedang iseng mengambil foto mereka semuanya di area rerumputan dekat dengan kolam renang itu.

Iya. Yang dirasakannya adalah kecamuk pikiran bahwa dia tidak bisa leluasa di dekat Vanka, salah satu adek kandung perempuannya. Berharap Vanka tidak bisa selepas tadi, Lisya mengira kedepannya akan penuh dengan perasaan jengkelnya.

Dia pun mulai memikirkan bagaimana dengan nasibnya sekarang serambi duduk di salah satu sofa tunggal yang hanya cukup diduduki oleh dirinya saja. Masih menerawang ke arah pemandangan di depannya, dimana terlihat Syika sedang asik memainkan Mp3 player di atas kasur.

"Hah,, untung saja Syika nggak memerhatikan wajah murungku ini," batin Lisya yang merasa lega, adeknya kala itu sedang menyibukkan dirinya sehingga tidak terlalu tau bagaimana dengan suasana hati dari Kakaknya saat itu juga. Lisya kembali membatin lagi.

"Apa-apaan tadi? Kenapa aku berperasaan seperti ini adanya? Bagaimana aku bisa menyembunyikan ini jika keadaan masih seperti tadi? Semoga saja, itu tidak terjadi terlalu sering. Bisa-bisa aku akan bermurung ria dan lupa cara bersenang-senang," kedua kalinya Lisya membatin dan dia pun mengecohkan keadaan dirinya sekarang ini.

Karena sekarang dia tidak kuat untuk selalu membatin dan membatin seterusnya. Tapi setidaknya dia bisa menyembunyikan sementara perasaannya itu. Sepertinya dia sedang merasa kecewa, tapi pilihannya untuk berdiam diri menjawab bagaimana dirinya ogah untuk menyatakan perasaannya kepada siapapun juga.

Sesaat dia sudah merasa jengah dengan keadaan membatin itu, Lisya mengalihkan dirinya kepada ponsel miliknya. Selama dua hari dia liburan, dia jarang membuka ponselnya. Dan dirinya hampir kelupaan dengan kabar dari Adimas selama dua hari liburannya ini. Dia lupa mengabari terakhir kalinya dia menelfon dengan Adimas saat malam hari sebelum keberangkatannya ke penginapan di Puncak ini.

"Aku akan merasa lebih baik nantinya kalau malam hari ini aku bisa menelefon Adimas," batin Lisya saat itu. Akhirnya dia pun berencana agar menelfon dengan Adimas nantinya saat Syika sudah tertidur pulas. Maka dari itu dia pun sekarang sedang mengecek kabar Adimas. Berharap dia masih belum terjaga di malam ini.

Pesan dari Lisya ke Adimas :

"Hai, Dim. Maaf aku sms kamu malem-malem. Nanti kamu bisa nggak telfon aku jam setengah dua belas,"

"Aku butuh temen ngobrol nih. Suasana hatiku lagi bete,"

Dua pesan telah terkirim ke salah satu penerima pesan nantinya, Adimas. Selagi menunggu sahabat lelakinya balik membalas pesannya, Lisya pun kembali menggeledah isi ruangan kamar begitu pun dengan Syika. Untung saja Adeknya satu itu sepertinya sudah menutup kelopak matanya. Menandakan jika dia memang hampir dalam keadaan tertidur.

Lisya pun mencoba dengan menghampiri ke dekat wajah Syika yang tidur di kasur sebelah kiri dekat dengan tembok yang membatasi kamar dengan kamar mandi itu. Untuk memastikan apakah Adeknya sudah tertidur. Dilihatnya Syika dengan wajah polosnya sudah tidur. Lisya pun menemukan keberuntungan ketika mengetahui jika Adeknya itu sudah di alam bawah sadar.

Langkah kaki Lisya beralih menuju ke hadapan pintu kaca yang akan digeretnya sehingga dia bisa berada di balkon kamar di pendopo yang dia tempati. Dia hanya ingin mencari udara segar sambil menunggu, apakah Adimas benar bisa menelfonnya. Lisya sekarang sudah duduk santai di sebuah kursi kayu pendek yang dialasi bantal di setiap sisinya.

Dia membawa syalnya untuk menutupi tubuh keseluruhan selagi dia duduk dengan posisi kaki dinaikkan. Juga tak lupa ponsel serta headset pula agar dia nanti bisa bercerita sepuasnya tentang liburannya saat ini ke Adimas.

Tak menunggu lama ponselny bergetar. dan menampangkan nama Adimas tepat di layarnya. Hal itu membuat senyum Lisya merekah saat itu juga. Dia kembali menemukan kebahagiaan kecilnya saat Adimas bisa langsung menelfonnya tanpa menjawab pesannya. Lisya memang menilai jika Adimas adalah sahabat lelakinya yang paling gentle. Sekiranya dia langsung menjawab ponsel itu. Dengan suara yang dikenalnya itu terdengar melalui headset mini yang selalu Lisya bawa kemana saja.

"Malam, Lisya. Kamu kenapa minta ditelfon jam segini? Untung aku lagi main sama anak-anak. Aku lagi di dago. Lagi ngafe. Untung aja mereka nggak keberatan aku telfon kamu. So, how was your holiday?" Suara bass milik Adimas menenangkan Lisya yang sesaat memandang langit dari balkon tempatnya berada.

"Guess it, Dim. Aku bad mood berat. Malu sih mau ngomong ke kamu gimana suasana hatiku sekarang. If you know me, pasti kamu sudah bisa tebak gara-gara apa," Lisya menjawab Adimas yang selalu bisa membuat keadaan Lisya menjadi lebih ringan dari sebelumnya.

"Gara-gara adek kamu itu si Vanka? Kan kamu lagi liburan sama keluarga besar kamu, kenapa kok malah bad mood, Lisya? Ada banyak hal menyenangkan di sana," jawab Adimas. Dia tidak tau apa yang sudah terjadi, padahal menebak saja sudah pasti mudah bagi Lisya.

"Hmm.. kamu aja kali yang nggak pinter nebaknya, Dim. Tapi selama liburan ini memang banyak sih kejadian baru yang aku belum cerita ke kamu, Dim. Ada susah sama senengnya sih," kala itu Lisya pun teringat bagaimana dengan liburannya. Evaluasinya dimulai saat Adimas, sahabatnya itu menjadi teman ceritanya di sepanjang sisa malam ini.

"Oh ya? Kan kamu cuman liburan aja nih, Lisya. Kenapa harus ada banyak kejadian? Hmm,, aku tebak kamu pasti diajak ngobrol sama keluarga kamu? Bener nggak?" tebak Adimas yang sepertinya sudah kembali normal kepintarannya.

"Iya, Dim. Barusan aja aku mikir kok kamu lagi nggak pinter, eh dikit bentar kamu bisa nebak. Jadi, liburan hari pertamaku itu awalnya menyenangkan dan malam akhirnya itu bikin sesak hati gitu," ujar Lisya yang mengiyakan tebakan dari Adimas. Seratus buat sahabat lelakinya itu.

"Kamu diajak ngobrol apa malamnya, Lisya? Hari pertama liburan udah diajak ngobrol aja. Penting nggak obrolannya?" tanya Adimas yang dirinya itu ingin tau apa yang membuat Lisya jadi bad mood di liburannya.

"Penting banget, Dim. Jadi aku ngobrol sama Bude, Tante, Pakde, Om sama Mama Papaku. Aku diajak ngobrol masalah gimana mereka mau bawa masalah aku sama Vanka kedepannya. Jadinya, sebelum aku ngobrol aku udah nyiapin semua mental aku buat denger gimana maunya sebagian anggota keluargaku untuk kedepannya. Aku gatau tadinya mereka mau kasih berita baik atau nggak, tapi malah kabar buruk menurutku yang aku terima," ucap Lisya lewat panggilan telefon dengan Adimas sebagai lawan bicaranya.

"Oh,, kabar buruknya? Apa sebagian keluarga kamu mau nunda nyelesaian masalah kamu sama Adekmu? Apa beneran kayak gitu?" kali ini Adimas menebak lagi dengan benar adanya.

"Iya, gitu. Parahnya aku tuh diam-diam bisa ngertiin maksud Bude sama Tante ku kalau mereka merasa belum siap hanya karena mereka yang masih gengsi nilai Vanka. Tapi buat ceritanya gimana yang panjang lebar aku masih belum bisa kasih tau kamu sih, Dim. Masalah kenapa semuanya gengsi ke Vanka," kata Lisya yang setengah-setengah memberi kabar ke Adimas.

"Ohh.. Gengsi? Memangnya kenapa, Lisya? Setauku Vanka cuman ada masalah sama kamu karena dia ganggu kamu. Aku belum bisa benar nebak kenapa Vanka memang ada masalahnya sama keluarga kamu. Dan lebih baik sih aku nggak dengar kabar secara lengkapnya. Im nothing for those problem," kata Adimas yang beneran tidak mengerti apa yang menjadi masalah sebenarnya dari hubungan Vanka dengan keluarga Lisya. Dia pun menolak mengetahuinya juga dari sahabat perempuannya itu.

"Iya, I know, Dim. Kamu nggak harus tau sama masalah itu secara lengkap. Tapii….," ucapan Lisya menyeretnya kepada kebingungan yang dia rasakan. Antara dirinya merasa jika Adimas tau kesalahannya itu, apa yang akan terjadi juga? Akhirnya suaranya terputus dengan tidak disengaja. Menandakan Lisya sebenarnya ingin bercerita selengkapnya ke Adimas. Namun sayangnya, dia tidak mau membuka topeng dari bagaimana sebenarnya semua sudah salah ke Vanka. Dia merasa kesalahannya itu tidak bernilai lebih, apapun itu.

"What, Lisya? Kok suaramu kepotong? Kamu lagi sibuk dengan pikiranmu sendiri? Apa kamu lagi nggak bisa fokus? Kalau iya, kita udahan dulu aja telefonnya. Besok kamu ada waktu kapan bisa telefon sama aku lagi? Aku usahain bisa telfon kamu," jawab Adimas ingin memberi pilihan ke Lisya dengan menenangkan dirinya dari kegamangan akhir dia menjawab obrolan terakhir kalinya.

"Nggak,, nggak usah deh. Mmm,, tapi memang sih sekarang sudah malam, Dim. Aku pulang besok jam delapan pagi serombongan keluarga aku pakai mobil masing-masing. Kayaknya aku harus siap-siap packing buat check out besok," ujar Lisya yang membutuhkan ruang lebih agar dirinya tidak memikirkan masalah yang seharusnya tidak terlalu dipikirkan terlalu dini.

"Okeh,, aku bisa telefon kamu lagi malam besok. Kamu bisa tutup telfonnya kalau kamu mau, Lisya," ujar Adimas yang menyuruh Lisya untuk awal menutup telefonnya.

"Bentar,, aku mau bilang ke kamu nih. Aku juga ada kabar yang buat kejutan juga ke kamu. Aku mau bilang besok malam aja deh. Oke, Dim. Makasi ya mau nerima telefon aku. Syukur aja kamu lagi main di luar juga dan belum tidur malam. Aku tidur duluan ya, Dim. Jangan sampe kemaleman ya main ngafenya. Sekarang hampir jam dua belas nih," kata Lisya yang mengatakan selamat malam ke Adimas karena dirinya sudah ingin tidur juga.

"Oke, bye. Night night, Lisya. Aku tutup ya telefonnya," ujar Adimas seraya dia menutup telefonnya saat itu. Terdengar suara panggilan yang sudah ditutup dari seberang. Dan Lisya pun mengulas senyum, dengan hatinya yang berat. Dia berpikir sampai kapan dia bisa bercerita ke Adimas tentang bagaimana masalah keluarganya dengan Vanka yang ada hubungannya dengan dirinya itu.

Dia beranjak kemudian dari balkon, dan mulai melihat ke sekeliling kamarnya untuk memutuskan secara awal berkemas barang-barang bawaanya itu agar besok harinya dia sudah tinggal bersiap-siap dengan mendandani penampilannya. Kebaikan Lisya juga, saat itu dia juga mengemas barang milik Adeknya, Syika.

Dengan harapan dia tidak lagi memikirkan bagaimana dengan keadaan dia yang selalu tidak bisa memberi kabar ke Adimas jika dia punya salah ke Adeknya. Akankah itu bisa berputar balik ke Vanka? Supaya dia yang bisa seperti dirinya saat ini. Memikirkan tentang apakah dia punya salah ke dia, bukan dirinya yang memikirkan salah ke Vanka.

Tapi setidaknya, Lisya tau. Vanka sudah merasa menggangu dirinya. Mungkin itu adalah hal positif yang bisa diterimanya saat ini. Lisya masih berkemas saat itu. Sampai dia masih saja memikirkan lagi tentang semua hal yang mengacu kepada kesalahannya ke Adeknya, Vanka.

Dia tau jika kesalahannya hanya karena dia benci dengan Vanka. Tapi dia tidak mengira jika keluarganya bisa sampai salah menilai Vanka. Dan yang membuatnya semakin khawatir adalah karena mereka menyalahkan Vanka atas kesalahan dia. Semua keluarga mengira jika Vanka lah yang selama ini membenci Lisya.

Bahkan karena itu dia tidak ingin semua masalahnya ini diketahui oleh orang luar selain keluarganya, namun setidaknya Adimas adalah sahabatnya dari kecil yang jika dikira kedekatannya pihak keluarganya dengan keluarga Lisya dikatakan sangat dekat. Dan entah mengapa Adimas memang sudah sedari dulu dekat dengan Lisya. dan dia memilih bercerita sedikit tentang perasaannya ke Vanka. Alih-alih memang dia merasa kalau Vanka menggangunya.

Lisya yang mulai kembali ke dunia nyata setelah dia berpikiran banyak hal itu, masih memerlukan beberapa menit kembali agar dia bisa mengembalikan fokusnya. Tidak lama kopernya sudah terisi oleh barang-barang bawaannya. Sebelum dia mau berkemas koper Adeknya, Syika. Dia kembali membuka ponselnya dan mengirimi pesan ke Mama.

Pesan dari Lisya ke Mama :

"Mama, sudah tidur? Lisya mau bicara dengan Mama lain waktu,"

"Lisya mau tanya, apa Lisya boleh cerita ke orang luar masalah Vanka dengan keluarga? Lisya mau cerita ke Adimas,"

"Mungkin besok malam, kita bisa diskusi ya Ma,"

Pesan Lisya saat itu terkirim, tapi sepertinya Mama sudah tidur saat ini. Karena tidak ada pilihan lainnya, akhirnya Lisya pun melanjutkan berkemas barang bawaan Syika. Dia kembali menenangkan dirinya dari semua pilihan sulit baginya.

下一章