webnovel

2019 Meander

Manja ini itu serba Mama dan Papa sama sekali itu bukan tipe seorang Ragista Zenith Castin. Ragis sudah biasa hidup dengan segala kemandiriannya. Siapa yang mengajarkan Ragis mandiri? Orangtuanya? Big now. Kehidupan perihnya yang mengajarkan gadis cantik bertampang jutek itu bersikap mandiri. Mama dan Papanya lebih menyayangi kakak perempuannya yang berbeda 22 tahun dengannya. Bahkan Ragis seperti seseorang yang tak di anggap anaknya oleh kedua orangtuanya. Walau demikian Ragis tetap kuat menjalani kehidupan karena ia yakin ia bisa hidup mandiri. Lalu bagaimanakah cara Ragis mendapatkan cinta sejati yang katanya di masa SMA itu tempat seseorang menemukan cintanya? Note : Dilarang plagiat cerita ini. Kalian tidak tahu perjuanganku menggali plot cerita ini. Silahkan masukan ke perpustakaan pribadi, dan selamat tertawa dan menangis bersama. #Start : Oktober 2020 #Tikanurhaa

Tikanurhaa_ · 现代言情
分數不夠
6 Chs

TWO || Salting

"Dari jauh aja pesonanya kelihatan. Apalagi kalau deket?"

=RAFKA WARDHANA BACHTIAR=

*****

"Mari pulang marilah pulang marilah pulang ke Rahmatullah," celetuk Anjas dengan mengubah lirik lagu.

"Jangan dulu lah Jas, gue belum sukses, belum punya Aquarium gede buat ikan cupang, belum nikah, belum nganu, belum—" ucapan Wisnu terpotong Anjas.

"Belum makan daging bebek lima warna lo ya?" Anjas.

Memang bel pulang sudah berbunyi 2 menit yang lalu. Tapi tidak semudah itu Anjas bisa pulang, karena hari ini memang dia jadwal piket.

"Eh ... Eh ... Mau ke mana lo Anjas?" cegah Amella dengan tegas saat melihat Anjas mau kabur.

"Mau pulang lah, emang lo gak denger bel pulang?"

"Heh enak aja lo ya, piket dulu." Amella menjewer telinga Anjas hingga merah dan menariknya agar ia mau piket. Wisnu malah mencari kesempatan menatap manik mata Amella. Amera yang merasa aneh jadi salting.

Rafka dan Wisnu dan yang masih berdiri di depan Amella dan Anjas hanya menyaksikan pertengkaran mereka.

"Uhukuhuk." Wisnu berakting seolah dirinya batuk. Nyatanya ia menahan tawa.

"Gausah akting lo beruang kutub, gue gak bodoh."

"Ih ngapain coba gue harus cape-cape nyapu sama ngepel? kan tadi udah ngehapus papan tulis. Dah ya bye." Anjas mengajak kedua kawannya untuk pulang.

Sedangkan Amella berkacak pinggang dan menatap kepergian Anjas dengan tatapan kebencian.

"HEH ANJAS LIHAT AJA BALASAN DARI GUE BESOK PAGI!" Amella teriak dengan kesabaran yang hampir habis.

*****

"Ragis, dengerin gue ya. Lo hari ini masak yang banyak, yang enak. Jangan sampe keasinan atau kurang asin." Zulia menghentikan langkah Ragis begitu sampai ke rumahnya.

Ragis memang pulang berjalan kali. Mau naik angkutan umum pun ia tak punya uang untuk ongkosnya. Keringat di sekujur tubuhnya sudah membasahi pakaian seragamnya.

"Lo mandi dulu, bau. Nanti kalo udah mandi langsung masak. Jangan lama-lama. Karena bakal ada tamu spesial."

"Tapi—"

"Gak usah ada tapi-tapian. Gue gamau denger. Habis masak lo nyuci baju tapi jangan di mesin cuci, ntar lo-nya keenakan."

"Tapi—"

"Sekali lagi lo bilang 'tapi' gue jedotin kepala lo." Zulia memang sangar. Nada bicaranya yang bedas itu menggema ke seisi rumah.

Keluarga Ragis bisa dibilang keluarga berada. Papanya pemilik pabrik obat ternama, dan mamanya pemilik toko buku terbesar yang ada di Indonesia.  Sedangkan Zulia—kakaknya hanya diam di ruamah, enak-enak tanpa mau bekerja.

"Emang mau ada si—"

"Gausah banyak tanya. Cepetan laksanain!"

Ragis berlari ke kamarnya di lantai atas dengan perasaan berkecamuk. Dari kemarin lusa ia belum makan nasi. Hanya makan kwetiaw, dan itupun di traktir oleh Amella dan minumnya di tlaktir sama Tina pas tadi istirahat di kantin sekolah. Ragis merasa beruntung punya teman yang baik seperti mereka berdua.

Sesampainya dalam kamar, Ragis menangis sejadi-jadinya. Menuangkan rasa sakit dalam hatinya. Sebenarnya Ragis itu anak siapa sih? Setega itu kah orangtua dan kakaknya selalu memperlakukannya seperti babu.

"CEPETAN RAGISTAAAAA!"

'Kan, kehidupan Ragis sama sekali tidak tenang. Bahkan dari kecil, Ragis tidak pernah merasakan sebuah kebahagiaan. Dulu Ragis disiksa habis-habisan oleh mamanya di jalan raya hanya karena dirinya muntah ke celana mamanya.

Buru-buru Ragis menyeka airmatanya dan masuk kamar mandi. Cukup 5 menit Ragis mandi, dan ganti baju lalu kembali ke dapur untuk melaksanakan perintah Nona Zulia.

*****

"Yaampun Gis, itu kenapa bibir lo luka-luka gitu?" Amella panik setengah kaget.

"Terus itu muka lo merah-merah gitu kayak orang abis berantem tau," sambung Tina.

"Jujur sama kita lo kenapa bisa kek gini sih, Gis?"

Hari ini di KIHS (Kendati International High School) memang tidak ada jadwal pelajaran. Tiap hari rabu diisi dengan jadwal literasi di lapangan khusus literasi. Dari pagi hingga jam pulang sekolah. 

"G-gue—"

"Tuh 'kan, bibir lo gemeteran gitu. Jujur dong sama kita lo kenapa?" Amella memaksa Ragis untuk jujur.

"Gapapa Mel, gue cuma—"

"Misi-misi ada tiga pangeran sekolah mau lewat!" seorang cewek menabrak Ragis, dan kedua kawannya. Terpancar raut kebahagiaan di mukanya.

"Siapa?" Ragis menyahuti.

Gadis itu menunjuk ke arah depan. Pandangan Ragis dkk menuju ke arah mereka. Rafka, Anjas dan Wisnu. Ketiganya berjalan dengan tanpang santuy.

"Sorry yap," ucap cewek itu mulai terbangun.

"Eh tunggu nama lo siapa?" Amella mengeluarkan Iphone-nya dari dalam saku.

"Yunia," sahut gadis itu. Dan Amella langsung saja mencatat namanya dalam catatan di Iphone-nya.

Siapapun yang berbuat masalah sama Amella, ia selalu mencatat namanya. Mau masalah kecil ataupun besar.

"Lain kali hati-hati," sambung Ragis dengan tampang juteknya.

Gadis itu hanya tersenyum. Lalu mengeluarkan ponselnya. "Kak, bagi nomor hp-nya dong."

"WHAT?" pekik Amella. "Wait ... Wait ... Lo minta nomor siapa?"

"Nomor lo."  Yunia menunjuk ke arah Ragis.

Ragis menunjuk dirinya sendiri. "Gue?"  Yunia manggut-manggut mantap.

"Buat?"

"Gue ngefans aja sama lo, cantik soalnya mirip idola gue yang suka muncul di Tv," sahut Yunia.

Ragis hanya diam. Mau senyum pun bibirnya kaku. Bahkan ia bicara pun rasanya sakit.

"Tapi ... Itu kenapa bibir kakak luka-luka git—"

"Yaudah mana ponselnya." Langsung saja Yunia memberikan ponselnya.

"Udah di save," kata Ragis.

"Makasih. Gue duluan ya," Yunia langsung melenggang tanpa menunggu balasan dari ketiganya.

*****

Rafka, Anjas dan Wisnu keluar kelas dengan senang hati. Pasalnya hari ini full free class. Tidak ada pembelajaran sedikitpun.

Ketiganya berjalan dengan tampang cool. Kemeja putihnya yang dikeluarkan, membuat tampilan mereka makin kece. Dari depan sana, terlihat Ragis dan kedua temannya yang juga sama sedang berjalan dan mengobrol.

Seorang gadis dengan tampang polos berjalan ke arah mereka. Rafka menghentikan langkahnya. "Yun!"

"Rafka?" gadis itu menghentikan langkahnya.

"Kenapa Raf?"

"Lo tumben sendirian gak sama si Oca?" Rafka tahu tabiat Yunia. Gadis itu dekat dengan Oca.

"Oca gak sekolah, gue sendirian jadinya." Yunia memanyunkan bibirnya.

Yunia merupakan sodaranya Rafka. Jadi mamanya Yunia  itu tak lain adiknya mama Rafka.

"Yun, g-gue mau minta tolong," ucap Rafka dengan sedikit canggung.

"Apaan?"

Rafka mengucapkannya tepat di telinga Yunia. Agar tak dapat di dengar oleh Wisnu dan Anjas.

"Raf lo ngomong apaan si? Gak bagi-bagi lo ya." Wisnu berceloteh seperti anak TK yang kehilangan pensil.

"Adadeh. Kepo lo pada." Rafka merapikan rambutnya.

"Laksanain yang bener Yun," suruh Rafka.

"Siap pak bos," sahut Yunia lalu beranjak untuk melaksanakan aksinya.

"Dari jauh aja pesonanya kelihatan. Apalagi kalau deket?" gumam Rafka dalam hati. Tatapan cowok itu terus saja terpaku pada seseorang gadis di antara mereka bertiga. Siapakah?

"Cabut gih." Rafka mengajak kedua temannya untuk balik arah.

"Lah kita kan mau ke kantin bu Ndas." Anjas protes.

"Gak. Ntar aja agak siang," ucap Rafka.

Keduanya hanya manggut pasrah. Yasudah, kalau sudah seperti ini keduanya tidak bisa melawan Rafka.

__♥♥♥♥♥To be continued♥♥♥♥♥__