"Buat kamu sadar kalau aku ada di hadapan kamu itu susah!" ujar Caca misuh-misuh di depan seorang laki-laki berseragam SMA yang berwajah datar itu. "Ih Anka! Ngomong dong! Aku tahu kamu belum bisa move on dari Nabila, tapi please... Hargain aku yang selalu ada untuk kamu!" "You're not important to me." balas Anka tidak berperasaan.
•note: hmm... Lirik aku sekali aja bisa nggak sih? Aku tuh di sini! Di depan kamu!
Seorang laki-laki sedang duduk di atas motornya, dia menatap kerumunan di depannya dengan tatapan datar. Tidak ada ekspresi sama sekali yang dia tunjukan.
"An, ada cewek Lo noh cariin," tunjuk temannya pada seorang gadis yang tak jauh dari posisinya tengah melambaikan tangannya.
Anka mendengus, cowok tampan itu turun dari motornya kemudian pergi menghampiri gadis itu.
"Apa?" tanyanya sangat sarkas.
Gadis itu senyum-senyum dari tadi kemudian menyodorkan sebuah gelang hitam yang tipis.
Laki-laki itu mengerutkan keningnya, "apa?"
"Ini buat kamu, kamu pakai ya, biar orang-orang tahu kalau kamu udah ada pawangnya."
Caca, gadis imut dan mungil dengan pipi tembem serta mata bulat dan hidung kecil yang mancung. Sangat manis serta sangat menggemaskan.
Caca bukan nama aslinya, itu hanya sebuah nama panggilan saja yang sering teman-temannya gunakan untuk memanggilnya. Chandara Ermawansyah, itulah nama aslinya.
"Alay!" ketus Anka, tentu saja dia menolak pemberian yang menurutnya aneh dari Caca. Tidak bisa kah gadis itu diam saja atau bodo amat dengan hubungan yang terbentuk karena keterpaksaan ini?
Jika bukan karena orangtuanya, ia tidak akan pernah mau menyetujui hubungan ini.
Caca cemberut, "kamu, selama hampir setahun kenapa nggak pernah mau terima pemberian dari aku sih? Baik itu makanan atau aksesoris kayak gini?"
Laki-laki itu mengabaikan apa yang Caca ucapkan, Anka malah meninggalkan gadis itu untuk melanjutkan nonton balapan. bersama teman-temannya.
Melihat kepergian Anka, Caca jadi sedih. Gadis itu menghela nafas berat kemudian menggenggam gelang hitam itu erat.
"Nggak papa, berkali-kali penolakan nggak bakal buat aku nyerah gitu aja," gumamnya berusaha menyemangati diri.
Anka Saputra, laki-laki tampan dengan sejuta pesona. Dia bertubuh tinggi dan wajahnya yang terpahat sempurna membuat para wanita-wanita di luar sana menyukainya. Dia juga anak tunggal dari pembisnis sukses yang perusahaan dan usahanya ada dimana-mana.
Jika Anka punya jiwa playboy, mungkin sudah banyak gadis yang dia pacari. Tapi itu tidak, Anka adalah laki-laki setia pada satu wanita yang bernama Nabila.
Meskipun hubungan mereka telah selesai, dia tetap mencintai gadis itu dengan sepenuh hati dan segenap jiwanya.
Anka juga punya teman yang bernama Galih dan Kelvin. Keduanya memiliki sifat yang bertolak belakang. Galih yang berisik dan Kelvin yang kalem seperti Anka, namun lebih kalem dan Dingin Anka tentunya.
"Kenapa balik? Cewek Lo masih berdiri di sana, noh!" tunjuk Galih pada Caca yang masih berada di tempat.
"Kalau Lo nggak suka sama dia, kenapa nggak putus aja sih, An?" sahut Kelvin bertanya, laki-laki itu baru keluar dari kerumunan teman-temannya yang menyabut pemenang balapan sore ini.
"Semua karena bokap gue," jawabnya malas.
"Si anjir, bisa gitu ya? Eh, tapi kalau Lo nggak nurut bisa-bisa nanti Lo nggak bisa ikut nongki kan?" tanya Galih.
"Iya, dan gue nggak mau hal itu terjadi," jawabnya.
Sementara Caca yang berjalan mundur hendak pergi masih sempat-sempatnya melambaikan tangannya di udara.
"Daaa... An!"
Meski tidak berteriak, suaranya masih dapat didengar oleh segerombolan laki-laki yang ada di sana.
"Lo nggak antar dia pulang An? Kasihan loh cewek malam-malam pulang sendiri," ujar Galih yang dari tadi banyak omong dan paling sibuk.
"Malas!" sahutnya cepat kemudian memakai helm dan menghidupkan mesin motornya, lalu pergi dari tempat balapan itu dengan motor besarnya.
Galih dan Kelvin yang di tinggal mendengus kesal.
"Kebiasaan ya tuh anak, seneng banget ninggalin orang," dengus Galih.
Di pinggir trotoar jalan, Caca baru saja melihat motor besar seorang laki-laki melintas cepat melewatinya begitu saja.
"Hmm... Kapan ya aku bisa naik motor kamu, An?" ujarnya bergumam pelan, serta berandai-andai mengharapkan sesuatu yang mungkin dalam waktu lama baru ia dapatkan.
Caca, gadis itu sangat menyukai Anka, si cowok dingin dan super cuek minta ampun. Bagaimana tidak bisa menyukai Anka, kalau laki-laki itu saja ganteng dan punya damagenya yang luar biasa.
"Anka, kapan juga sih kamu bisa lupain Nabila? Setiap hari aku sedih lihat kamu yang diam-diam masih suka memperhatikan dia dari jauh," lanjutnya terus bergumam pelan.
Ternyata mencintai orang terlebih dahulu itu sakit ya? Apalagi jika cinta tidak dibalas dengan apa yang diinginkan.
Huhu rasanya ingin menangis dan menyerah saja, namun itu tidak mudah seperti yang di ucapkan oleh bibir. Kadang, mulut dan hati tidak selaras, dan tidak bisa di ajak kerja sama.
"Sadar nggak sih kalau Nabila itu cuma bisanya lukain kamu aja?"
Huft! Caca menghela nafas berat, membahas dan mengingat masa lalu Anka dengan Nabila membuat hatinya jadi sakit saja.
Dimana Anka yang sangat bucin sekali pada Nabila. Bahkan cowok itu tidak cuek kepadanya, sampai mereka sudah putus pun Anka masih terlihat sangat ingin dekat dan bicara lagi pada Nabila.
Tapi ya itu, Nabila gadis yang sangat bodoh karena melepaskan Anka dengan mudahnya.
Mentang-mentang cantik dan primadona sekolah, Nabila dengan mudahnya mendapat pengganti Anka, keduanya memang tidak bisa bersatu karena tidak mendapatkan restu dari orangtua Anka. Tapi baguslah, setidaknya ia masih punya harapan untuk mendapatkan hati Anka, dan mengganti posisi Nabila.
Biarpun harus bertumpah darah, Caca akan terus mempertahankan Anka bagaimanapun caranya. Camkan itu!
Sesampainya Anka di rumah, cowok tampan itu turun dari motornya kemudian membuka helmnya lalu menyimpannya di atas tangki bensin motor besarnya tersebut.
Rumah yang begitu besar dan luas bak istana, Anka berlari untuk segera masuk karena sebentar lagi hari mulai gelap.
Saat masuk ke dalam rumah, dia di kejutkan dengan suara bariton yang cukup keras memanggil namanya.
"Anka!"
Dia menoleh ke arah sumber suara, wajahnya yang datar semakin di buat datar lagi.
"Dari mana saja kamu? Papa dapat kabar kalau kamu nonton balapan?!"
"Iya, Anka nonton balapan," jawabnya jujur. Persetan jika harus mendapatkan pukulan nantinya.
Saputra, papanya Anka menghela nafas berat, "kamu bisa tidak dengerin omongan papa sekali aja, tentang geng motor kamu yang tidak berguna itu?"
Damn! Tidak berguna? Kata siapa?! Di sana dirinya bisa menemukan ketenangan dan paham artinya keluarga yang sesungguhnya.
"Papa nggak bisa atur-atur aku soal itu!" ucapnya.
"Tapi selama kamu masuk geng itu, kamu jadi jarang pulang ke rumah atau kumpul keluarga!"
Anka tertawa kecil, "papa lagi nyinggung diri sendiri? Papa sendiri ada nggak waktu buat Anka? Mama? bahkan mama sibuk sama butiknya di luar kota."
Saputra terdiam, pria paruh baya itu memijit pelipisnya.
"Papa kerja buat kamu Anka! Apa yang kamu mau papa selalu kabulin,"
Ah sudah lah! Anka memilih melewati papanya begitu saja untuk ke kamarnya di atas.
"ANKA! PAPA BELUM SELESAI NGOMONG!"
Seolah tuli, Anka masuk ke dalam kamarnya, kemudian menutup pintu dan tak lupa untuk menguncinya agar pria tua itu tidak masuk sembarangan ke dalam zona pribadinya.
Anka bersandar di belakang pintu, "mau di mengerti, tapi nggak mau mengerti," ujarnya.
[Sudah direvisi✓]
[jika tidak ada kata 'sudah di revisi' di akhir bab, berarti bab tersebut belum di revisi]