webnovel

MCMM 4

Sudah bisa terbaca kah siapa cowok itu?

Yuk lanjut bacanya biar nggak penasaran

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading ♥️

Setelah pengantin naik di pelaminan, para pendamping pengantin berfoto bersama. Tentunya dengan masing-masing pasangan, kecuali Gladys yang baru kali ini bertemu dengan cowok yang menjadi pasangannya. Ah, kenapa sih gue yang masih jomblo ini disuruh jadi pendamping. Sumpah, nyebelin pake banget, omelnya dalam hati. Tapi demi hasil foto yang bagus, Gladys rela berpose dengan pasangannya yang entah siapa namanya. Sebelum mereka turun dari panggung, Erick sempat menahan Gladys.

"Dys, kenalin ini Banyu. Salah satu sobat gue." Erick memperkenalkan pria yang menjadi pasangannya tadi. "Sana lanjutin kenalannya di bawah. Gue dan Qori mau jadi raja dan ratu semalam dulu ya. Gue doain berikutnya kalian yang disini."

"Shut your mouth, Rick!!" Desis Gladys ketus. Ia merasa kesal mendengar ucapan Erick.

"Kenapa kesal?" tanya Banyu saat mereka turun dari panggung.

"Nggak pa-pa. Capek aja musti pura-pura senyum terus." Jawab Gladys ketus dan memasang muka jutek.

"Kenapa harus pura-pura. Memangnya nggak bahagia melihat mereka menikah. Kita ke sana yuk," ajak Banyu sambil menunjuk pasangan lain yang berkumpul di meja yang disediakan khusus buat mereka.

"Hai bro, kemana aja lo," sapa Ghiffari saat Banyu dan Gladys duduk. Banyu menyambut hangat uluran tangan Ghiffari.

"Assalaamu'alaikum. Biasa bang, sok sibuk." Sahut Banyu.

"Wa'alaikumussalam. Kok tadi telat?" tanya Gibran yang kebetulan duduk di samping Gladys.

 "Tadi gue laporan dulu." jawab Banyu sambil tersenyum. Gibran mengangguk-angguk tanda mengerti apa yang Banyu maksud dengan laporan.

"Nyu, elo sudah kenal belum sama adik cewek kita satu-satunya, Gladys?"

"Tadi Erick sempat ngenalin sekilas. Belum kenalan resmi." jawab Banyu sambil melirik Gladys yang masih dengan muka juteknya. 

"Dek, kenalin nih pasangan kamu malam ini. Dia salah satu sobatnya Erick." ucap Ghiffari kepada Gladys. 

Gladys hanya melirik ke arah Banyu yang sudah mengulurkan tangannya. Dia membuang pandangnya saat matanya bertabrakan dengan mata Banyu yang ternyata memperhatikan dirinya. Di saat bersamaan Banyu juga membuang pandang saat mata mereka bertabrakan. 

"Hei, jangan pasang muka jutek gitu dong, adikku yang cantik." Gibran menjawil tangan Gladys. "Cepat keriput lho kalau cemberut melulu. Nanti kagak ada yang mau sama elo."

Dengan cepat tangan Gladys memukul lengan Gibran. Tak hanya itu, jemari mungilnya juga mencubit pinggang sang kakak.

"Ouch... ouch... dek... sadis banget sih lo. Yang, lihat nih aku disiksa sama Gladys." Gibran mengadu pada Vania, kekasihnya, yang duduk di sampingnya.

"Kamu juga sih yang jahil. Sudah tau adiknya galak, kok ya masih juga digodain." sahut Vania sambil mengelus lengan Gibran yang langsung menyender manja di bahu kekasihnya.

"Oh ya Nyu, adik gue ini emang terkenal galak dan manja. Namanya Gladys Mariana Praditho. Umurnya tahun ini 24 tahun, tapi masih setia menjomblo. Sama kayak elo gitu." Gibran memperkenalkan Gladys kepada Banyu.

"Dek, kasian tuh tangan Banyu sudah pegal dari tadi lo cuekin," tegur Ghiffari

Dengan malas-malasan Gladys menyambut tangan Banyu. Didengarnya pria itu menyebutkan namanya. "Banyu Bumi Nusantara."

"Sudah tau kan siapa nama gue? Tadi bang Gibran sudah sebut nama gue."

"Iya, aku sudah dengar. Gladys Mariana. Nama yang cantik, seperti orangnya," sahut Banyu sambil melepaskan tangannya. "Sayang cantiknya ketutup sama sikap ketus dan pura-puranya."

"Whoooooaaaa.... mantap Banyu. Skak mat, dek!" Ledek Gibran sambil tertawa ngakak sehingga membuat beberapa tamu menoleh ke meja mereka.

Mata Gladys membulat mendengar ucapan Banyu. "Ngomong apa lo barusan?!"

"Aku bilang, sayang cantiknya kamu ketutup sama sikap kamu yang ketus dan pura-pura. Perlu aku ulang lagi?" Tanya Banyu santai sambil menyesap air putih yang disediakan pelayan catering.

"JANGAN SEMBARANGAN NGOMONG YA!! BARU KENAL SUDAH SEMBARANGAN KOMEN!!"

"Sudah dek... malu tuh diliatin orang. Nggak enak sama om Robert dan tante Zahra. Ini kan acaranya Erick, bukan acara lo." Ghiffari berusaha menenangkan Gladys yang sudah berdiri sambil mengangkat telunjuknya menunjuk-nunjuk Banyu.

"BANG, GUE NGGAK SUKA SAMA NIH ORANG! DARIPADA GUE BETE LIAT NIH ORANG, MENDINGAN GUE PERGI DARI SINI!!" Gladys beranjak meninggalkan meja, diikuti pandangan mata yang lain. Semua yang duduk semeja dengan mereka bahkan beberapa tamu lainnya memperhatikan putri bungsu Praditho Hadinoto bergegas pergi.

Banyu langsung berdiri dan menyusul Gladys. Dirinya merasa tak enak karena telah menyebabkan adik sahabatnya marah seperti itu, bahkan membuat keributan kecil tadi. Gibran dan Ghiffari saling berpandangan.

Banyu masih sempat melihat Gladys keluar menuju kolam renang. Ia mempercepat langkahnya untuk menyusul Gladys. Di pinggir kolam renang dilihatnya Gladys duduk sambil mencelupkan kakinya. Gaun yang dipakainya diangkat hingga lutut.

"Sorry. Aku nggak bermaksud membuat kamu marah." Ucap Banyu setelah berdiri di belakang Gladys.

"Ngapain lo kesini? Mau bikin gue tambah marah? Atau mau membuktikan ucapan lo tadi?" Ucapnya ketus.

Banyu membuka sepatu dan kaos kakinya. Kemudian ikut duduk di samping Gladys setelah sebelumnya menggulung pipa celananya.

"Aaah, aku baru tau kenapa kamu kesini. Ternyata nyelupin kaki bisa bikin adem sampai ke kepala ya."

"Sana lo jauh-jauh dari gue!" bentak Gladys sambil beringsut menjauh dari Banyu.

"Hmm.. aku rasa semua orang punya hak ke sini. Aku juga nggak akan mendekati kamu. Aku ke sini cuma mau minta maaf. Biar bagaimana aku sudah menyinggung perasaan kamu, walau apa yang aku omongin tadi itu nggak salah."

Mata Gladys membulat mendengar ucapan Banyu. Ditolehnya pria yang baru dikenalnya malam ini. Nih orang minta maaf kok kayak gitu, omelnya dalam hati. Lalu ia kembali membuang pandangannya ke arah lain.

"Aku nggak salah kalau bilang sikap ketus kamu menutupi wajah cantik kamu. Coba deh kamu lebih ramah dan rajin tersenyum dengan tulus, pasti semua orang akan bilang kamu lebih cantik. Lagipula senyum itu juga ibadah lho."

"Tau ah, nggak usah sok ngajarin deh."

"Aku nggak ngajarin, kamu kan bukan anak sekolahan. Dari pertama aku berdiri di samping kamu tadi, aku bisa lihat kamu kesal entah sama siapa. Dan kamu bersikap ketus ke Erick, aku dan abang-abang kamu. Lalu tadi kamu sendiri kan yang bilang kalau capek pura-pura senyum."

"Nggak usah sok tau!" Sentak Gladys. "Hak gue untuk kesal, marah,pura-pura atau ketus pada siapapun. Gue juga nggak berkewajiban beramah-ramah terutama sama elo."

"Tapi setidaknya kamu bisa pasang muka ramah dengan ikhlas, bukan berpura-pura di acara pernikahan ini. Mereka kan sahabat dan saudara kamu. Bukannya malah marah-marah dan membuat keributan kecil kayak tadi."

"ITU KAN GARA-GARA ELO! SUDAH DEH, NGGAK USAH SOK NASIHATIN GUE."

"Hmm.. terserah kamu aja deh. Yang pasti aku minta maaf kalau memang kamu nggak terima omonganku tadi. Aku nggak mau cari musuh. Aku harap kalau kita ketemu lagi, hubungan kita lebih baik lagi."

"Cih, siapa juga yang mau ketemu lagi sama elo!! Pergi sana. Ogah banget gue ngeliat muka lo yang sok ganteng itu. Jangan ganggu gue!!"

"Aku nggak akan pergi sampai kamu mau maafin. Kalau kamu nggak mau liat mukaku yang menurutmu sok ganteng ini, buruan maafin aku."

"Minta maaf kok maksa. Ya sudah, gue maafin elo. Sana pergi!"

"Maafinnya nggak tulus. Tapi nggak papa deh. Yang penting kamu sudah maafin aku. Orang ganteng pergi dulu ya. Jangan lama-lama merendam kaki. Sudah malam, nanti kamu masuk angin. Apalagi baju kamu cukup terbuka."

Banyu berdiri, kemudian dia membuka jasnya dan memakaikannya di bahu Gladys. Setelah itu dengan bertelanjang kaki, Banyu kembali masuk ke dalam hotel. Meninggalkan Gladys yang masih terbengong-bengong karena perbuatannya.

"Hey.. ini jas lo kenapa ditinggal? Gimana gue balikinnya?" Teriak Gladys pada Banyu yang terus berjalan tanpa menoleh.

"Kamu titip aja ke Gibran atau Erick." Balas Banyu sambil melambaikan tangan tanpa berhenti dan berbalik badan.

"Dih, nih orang nggak jelas banget sih. Baru kenal, sudah berani mengkritik, sok nasihatin, sekarang malah ninggalin jasnya ke gue. Apa maunya sih tuh orang? Amit-amit deh kalau gue sampe ketemu lagi sama orang kayak gitu."

Walaupun ngomel panjang pendek, Gladys menuruti omongan Banyu untuk tidak berlama-lama merendam kakinya. Udara malam ini mulai terasa menggigit. Ah, untung ada jas milik Banyu, batin Gladys. Dia pun memakai kembali heelsnya, merapikan gaunnya dan kembali masuk ke dalam hotel. Saat kembali ke meja, dilihatnya Banyu sudah tidak keliatan.

"Masih marah?" Tanya Gibran. Kakaknya yang satu ini memang paling menyebalkan. Nggak akan berhenti mengganggu sampai Gladys marah atau menangis.

"Tau ah. Bang,  gue titip jas teman lo ya." Gladys menyerahkan jas Banyu kepada Gibran.

"'Ogah. Elo aja yang simpan. Nanti kalau ketemu baru lo balikin ke dia."

"Dih, siapa juga yang mau ketemu lagi sama dia. Ogah banget gue ketemu tukang kritik kayak gitu. Cuma bikin emosi aja."

"Hati-hati kalau ngomong dek. Siapa tahu suatu hari takdir mempertemukan kalian atau kamu membutuhkan dia atau mungkin juga kamu jatuh cinta sama dia." Ghiffari menasihati adiknya yang masih terlihat kesal.

⭐⭐⭐⭐

下一章