webnovel

MCMM 5

Aah.. baru ketemu aja sudah berantem

Penasaran? Terus baca dan jangan lupa vote dab komennya ya

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading Guys♥️

"Nyu, kamu pagi ini nggak jualan?" Tanya Aminah saat melihat Banyu hendak masuk kamar setelah kembali dari masjid. "Sudah jam 5 lho."

"Jualan bu. Ini lagi mau siap-siap. Sekalian nyiapin buku." Jawab Banyu sambil menghampiri ibunya yang sedang masak dan memeluknya dengan sayang.

"Kamu sudah mulai mengerjakan tugas akhir? Apa kamu nggak repot? Belanja, jualan, kuliah, mengerjakan tugas. Kamu fokus kuliah saja dulu, Nyu. Biar cepat selesai."

"Sayang bu kalau nggak jualan. Nanti nggak dapat duit buat bayar kuliah."

"Kamu nggak usah mikir biaya kuliah. Ibu masih sanggup biayain kamu dan adik-adikmu."

"Nggak papa bu. Banyu bisa kok bayar kuliah sendiri. Hasil jualan sayur lumayan kok bu. Belum lagi kalau ada orderan jadi supir. Selain itu Erick dan Gibran kan juga suka kasih proyek ke Banyu. Semester ini Banyu juga dapat tawaran menjadi asisten dosen. Insyaa Allah cukup. Ibu fokus ke adik-adik saja."

"Tapi nanti tugas akhir kamu lama selesainya, Nyu. Seandainya saja ayahmu dulu nggak...."

"Nggak usah sebut-sebut lelaki itu. Banyu nggak merasa punya ayah." Ucap Banyu dingin.

"Tapi bapakmu bilang, kamu boleh menghubungi dia kalau kamu butuh biaya atau pekerjaan."

"Nggak! Sampai kapanpun Banyu nggak akan minta tolong dia. Ibu juga nggak usah minta tolong apapun ke laki-laki itu. Doain aja kuliah dan semua usaha Banyu berjalan lancar, biar ibu nggak usah terima setrikaan dan jualan kue lagi. Ibu cukup mengajar saja. Doain aja supaya rezeki Banyu selalu lancar, jadi Banyu bisa membiayai ibu dan adik-adik."

Aminah, ibunda Banyu, mengelus kepala anaknya yang masih memeluknya dari belakang. Hatinya merasa sedih sekaligus bangga memiliki anak seperti Banyu. Anak yang selalu bisa diandalkan dalam segala situasi. Di usianya yang hampir 26 tahun dia baru akan menyelesaikan kuliahnya. Bukan karena dia bodoh, tapi dia terlambat kuliah karena ketiadaan biaya. Sejak SMA Banyu sudah mulai berjualan. Waktu itu dia menjadi asistennya mas Toto, tukang sayur keliling. Lulus SMA, Banyu lebih memilih berjualan sayur keliling dengan motor butut yang dipinjamkan oleh mas Toto, untuk mengumpulkan uang kuliah. Ia tak ingin membebani ibunya. Di usia 22 tahun barulah Banyu bisa mendaftar kuliah.

"Ibu selalu menyelipkan nama kalian dalam doa ibu. Setelah Allah, kalianlah hal terpenting dalam hidup ibu."

"Terima kasih ibuku sayang yang selalu tegar dan selalu mencintai kami walau kami sering membuatmu marah." Banyu mengeratkan pelukannya.

"Iya sayang. Oh ya, tadi Aidan bareng kamu ke masjid?"

"Iya bu. Habis shalat subuh tadi, Aidan ngaji dulu sama ustadz Arman. Makanya baliknya nggak bareng. Oh ya bu, Bila sudah shalat subuh?"

"Sudah, tuh sekarang lagi tilawah di kamar."

"Alhamdulillah kalau begitu. Bu, Banyu berangkat dulu ya." Banyu mencium tangan ibunya. "Pulang jualan nanti, Banyu langsung ke kampus."

"Nyu, jangan lupa ini bekalmu." Aminah memberikan tempat bekal kepada Banyu. "Itu sengaja ibu banyakin lauknya. Biar kalau nanti mau makan siang, kamu tinggal beli nasi aja."

"Makasih ya bu. Ibu juga jangan lupa sarapan dan jangan sampai kelewat makan siang. Oh iya bu, Banyu hampir lupa. Ini ada sedikit rezeki buat adik-adik." Banyu memberikan dua lembar uang lima puluh ribu kepada Aminah. Kemudian ia pun pergi berjualan.

⭐⭐⭐⭐

"Dys, bangun sayang." Cecile berusaha membangunkan putri semata wayangnya. "Sudah hampir terang lho. Nanti kamu telat shalat subuh."

"Masih ngantuk, mi." Gladys kembali bergelung dalam selimut. Udara dingin yang masuk lewat jendela malah membuatnya semakin malas bangun.

"Dys, ini sudah hampir setengah 6 lho. Kamu nggak subuhan?" Tanya Cecile sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Gladys. "Atau kamu mau dibangunin sama bang Gibran?"

Mendengar nama Gibran disebut Gladys langsung membuka mata dan duduk. Dia paling sebal kalau sampai Gibran yang membangunkan. Kakaknya yang satu itu benar-benar raja tega. Dia nggak segan-segan mengangkat tubuh Gladys ke kamar mandi kemudian menyalakan shower dengan Gladys di bawahnya.

"Iya.. iya Gladys bangun. Tapi jangan panggil bang Gibran kesini." Gladys langsung ke kamar mandi dan berwudhu.

"Mami, keluar dulu ya. Awas kalau kamu tidur lagi."

"Iya mi." Sahut Gladys dari dalam kamar mandi.

"Diajeng, Gladys sudah bangun?" Tanya Pradito pada Cecile.

"Sudah, schatz. Pake diancam dulu baru dia mau bangun." Cecile tertawa kecil mengingat kelakuan anak bungsunya.

"Pasti mami bawa-bawa nama aku deh," ucap Gibran yang baru keluar dari kamar.

"Bang, kenapa tadi nggak ke masjid sama papi?"

"Hehehe.. kesiangan mi. Maklum semalam begadang sampai jam 3."

"Ngapain melek sampai jam segitu, bang?" Tanya Praditho sambil memakan tuna sandwich yang dibuatkan oleh istrinya. "Main game lagi hmm?"

"Nggaklah pi. Tadi malam itu Gibran lagi menyelesaikan proposal tender yang akan dimasukkan hari ini. Jam 3 baru selesai."

"Kenapa bukan sekretarismu yang bikin?" Tanya Cecile. "Biasanya dia kan yang nyiapin proposal."

"Iya mi. Tapi kemarin dia nggak masuk kantor. Ayahnya masuk rumah sakit."

"Pagi mi... pagi pi..." Ghiffari si sulung duduk di samping Cecile. Dia langsung mencomot potongan buah yang ada di meja makan.

"Ghif, kamu hari ini ada acara apa?" Tanya Praditho kepada putra sulungnya.

"Nggak ada acara khusus pi, cuma meeting sama anak-anak untuk persiapan wedding minggu depan. Kenapa, pi?"

"Tolong nanti selesai meeting kamu mampir ke kantor papi ya. Ada buyer papi yang lagi cari WO buat acara pernikahan putrinya. Dia mau ketemu kamu dulu sebelum mengajukan WO kamu ke anaknya."

"Siap, pi."

"Jeng, nanti suruh Gladys mampir ke boutique. Ada desain baru yang harus dia pelajari. Kemarin tim desain sudah siapkan, tapi anakmu itu malah nggak muncul."

"Kemarin itu dia ke rumah mami. Dia disuruh nemenin mami arisan di tempat budhe Winda." Yang disebut mami oleh Cecile adalah Gantari Sastrodirjo, wanita jawa yang menikah dengan Oliver van Schuman, pendiri hotel chain Van Schuman. Gantari adalah ibunya Cecile.

"Oh, pantas saja pas ketemu kemarin sore mukanya ditekuk. Pasti habis dikenalin sama teman-teman budhe Winda." Gibran terkekeh membayangkan adiknya harus bertemu dengan teman-teman budhenya. Apalagi kalau bukan urusan jodoh. Sial banget nasibmu dek.

"Iya, kemarin dia cerita Eyang dan budhe Winda ngenalin dia ke teman-teman budhe yang punya anak lelaki. Bahkan budhe Lala katanya mau jodohin anak tunggalnya, si Rico, sama Gladys."

"Budhe Lala yang dulu tetangga eyang di kampung, mi?" Tanya Ghiffari. "Kalau nggak salah si Rico kan sudah tua, mi. Usianya sudah di atas 32. Dia kan Tax Senior Manager di perusahaan papi."

"Emang iya, Schatz?" Praditho mengangguk sambil tetap asyik memperhatikan tabletnya. "Schatz... tolong lihat aku dong kalau diajak ngomong."

"Iya sayang... ini aku lagi lihat berita tentang politisi yang ditangkap karena korupsi. Kebetulan aku kenal sama dia. Kami satu almamater," jawab Praditho. "Tadi kamu nanya apa, Diajeng?"

"Tax Senior Manager di perusahaan itu anaknya mbak Lala?"

"Rico? Iya. Aku juga baru tau belum lama ini. Kebetulan mbak Lala dan mas Barry mampir ke kantor buat jemput Rico. Memangnya kenapa?"

"Anaknya gimana? Baik nggak? Sudah punya pacar belum? Ganteng nggak? Cocok nggak kalau dijodohin sama Gladys?" Cecile memberondong Pradito dengan pertanyaan. "Kalau memang oke, kita jodohin saja gimana?"

"Ya ampun diajeng. Nanyanya satu-satu dong. Rico Fernando. Hmm.. seperti kata Ghiffari, usianya sudah di atas 32 tahun. Dia sudah duda, cerai, anak satu."

"Oh duda. Nggak jadi deh."

"Emangnya kenapa mi, kalau duda?"

"Hmm.. nggak papa. Cuma ribet aja kalau duda cerai. Musti berurusan sama mantan istri segala."

"Nggak jadi nih ngejodohin Gladys sama Rico?" Ledek Gibran.

"Apaan nih sebut-sebut nama Gladys?" Tanya Gladys yang baru keluar dari kamar dengan mengenakan celana pendek dan kaos kedodoran. Rambutnya hanya dicepol asal saja. "Mi, Endah mana?"

"Endah lagi mami suruh bantuin mbok Siti bersihin sayuran. Mami hari ini mau masak soto ayam kesukaan papi. Kenapa?"

"Gladys mau suruh dia siapin sarapan dan baju buat hari ini."

"Siapin sendiri dong, dek." Ucap Ghiffari sambil mengacak rambut Gladys. "Jangan manja."

"Tau nih, kebiasaan banget sih. Apa-apa Endah melulu. Gimana kalau nanti elo sudah nikah, masa Endah juga yang lo suruh urus keperluan suami lo." Celetuk Gibran.

"Yee.. kalau urusan suami ya urusan gue lah." Sahut Gladys sambil menaikkan sebelah kakinya ke atas kursi.

"Dek, kakinya." Tegur Praditho tanpa menoleh. "Cah wedhok duduknya harus sopan. Jangan kayak tukang becak di warteg."

"Iya tuh pi, si Gladys emang kayak preman." Sambar Gibran. "Mana ada orang tua yang mau punya mantu kayak elo kalau kelakuan lo kayak gitu. Manja, jutek, gak sopan, galak, pemalas pula."

"Reseh lo bang." Balas Gladys sambil menurunkan kakinya karena kali ini Pradito sudah menatapnya tajam. "Kata siapa nggak ada yang mau. Kemarin pas antar oma aja ada teman-teman budhe Winda yang mau jodohin anaknya sama gue."

"Itu karena mereka belum tau elo aslinya kayak apa. Kalau tau pasti sudah disuruh cerai sebelum dikawinin." Gibran tertawa ngakak karena omongannya sendiri.

"Abang, jaga omongan." Tegur Praditho. "Jangan gangguin adikmu terus."

"Iya tuh pi. Bang Gibran senang banget deh gangguin Gladys." Gladys langsung mengadu kepada papinya.

"Tapi apa yang abangmu bilang itu benar, dek. Kamu harus berubah. Nggak bisa terus-terusan mengandalkan Minah. Suatu saat kamu akan jadi istri dan ibu yang harus mengurus keluarga."

"'Ah papi kok jadi belain bang Gibran sih. Urusan rumah tangga mah gampang. Tinggal gaji pembantu apa susahnya." Ucap Gladys santai.

"Ya ampun nih anak kalau dikasih tahu orang tua selalu aja punya jawaban." Ucap Cecile gregetan dengan sikap putri semata wayangnya.

"Dek, mami mau ngejodohin elo dengan duda anak satu. Siap-siap aja ya." Ledek Gibran sebelum dia kabur kembali ke kamarnya.

"Abaaaang!!" Gladys bangkit mengejar Gibran.

Cecile dan Praditho geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Gibran dan Gladys.

⭐⭐⭐⭐

下一章