webnovel

Ada Apa Denganya?

Brandon masih terdiam setelah mendengarkan setiap ucapan dari sang  adik. Tidak tega? Mungkin hal itu yang sedang di pikirkanya. Seburuk apapun Brandon, tentu ia tidak akan setega itu pada saudaranya.

"Yaudah, aku pergi. Jaga dirimu baik-baik." Laki-laki bertubuh kekar itupun pergi begitu saja dari hadapan Kanaya. Perempuan yang masih berdiri dengan wajah pucat itupun tidak menyangka ucapanya akan berpengaruh kepada Brandon.

Kanaya bernafas lega, tentu ia merasa senang melihat perubahan kakak sepupunya yang membaik. Kanaya berjalan menuju sofa untuk duduk, ia tersenyum kecil mengingat Brandon sudah kembali. Apalagi dia tampaknya sudah berubah jauh lebih baik. Mereka saat kecil sering bermain bersama, dan sekarang Kanaya justru takut padanya. Mungkin, karena Kanaya beberapa kali melihat Brandon mabuk dan meminta uang paksa orang tuanya kala itu.

****

Gibran duduk di bangku sebuah cafe dengan kemaja yang sangat berantakan, seperti bukan sosok Gibran yang biasanya. Gibran yang tampil rapi dan tidak akan membuang waktunya untuk kegiatan yang tidak penting.

"Ayo pulang, Gib!" ajak Rian saat melihat sang sahabat semakin berantakan.

"Iya, aku masih ingin disini."

"Ini sudah malam. Ini bukan kamu yang pulang dari cafe sampai jam segini," tentu Rio juga tidak ingin membawa pengaruh buruk pada Gibran. Meskipun ia sering pulang pagi, tetapi ia tidak mau membuat Gibran sama seperti dirinya.

Gibran masih tak bergumam, di sebelah kanan dan kirinya ada seorang perempuan yang mengajaknya berbicara. Bahkan, kedua sahabat itupun merasa aneh saat melihat Gibran justru menerima dengan baik setiap ucapan para wanita tersebut.

"Gibran kenapa?" tanya Rio pada Rian.

"Gue juga merasa aneh. Dia mabuk?" tebak Rian.

"Enggak lah. Mana mungkin. Kenapa dia begitu suka dengan para wanita itu, sejak kapan dia suka di dikerumunin wanita?"

"Mungkin ada sesuatu yang Gibran sembunyikan, dan dia juga nampaknya lebih berubah."

"KANAYA." Ucap keduanya dengan serempak, seolah itulah satu satunya seseorang yang berpengaruh pada diri Gibran selama ini.

****

Kanaya ingin sekali mencari pekerjaan sampingan. Namun, waktunya di toko foto copy sudah sangat menguras waktunya. Ia tentu tidak punya waktu luang untuk bekerja di tempat lain.

"Ayo aku antar, Nay," ajak seorang laki-laki pada Kanaya.

"Kamu ngapain disini?" balas Kanaya sedikit kaget.

"Mau --- lihat rumah kamu. Bukankah kita masih bisa berteman baik."

"Bisa, tapi sudah aku bilang, Gibran. Jauhi aku," ujar Kanaya. Entah apa yang membuat Kanaya begitu mantap meminta Gibran menjauh.

Gibran terdiam, lalu ia mengamati sekeliling. Laki-laki itu meneguk salivanya dengan sedikit berat, seolah tempat itu sudah tak layak huni. Tempat itu sebelumnya masih terlihat lebih baik dari sekarang, tetapi Gibran tidak mendatanginya dalam waktu tiga tahun sudah sangat berbeda di pandang oleh mata.

"Kamu ... masih tinggal disini?" tanya Gibran berusaha hati-hati dalam setiap kalimatnya.

"Iya."

"Kamu, nggak ikut suamimu? Bukankah suamimu orang kaya?" Entahlah, Gibran merasa ucapanya ada yang salah.

Kanaya langsung menoleh ke arah Gibran, kalimat itu menariknya untuk mendengarnya lebih teliti lagi.

"Suami?"

"Iya."

Kanaya belum menjawab apapun, lalu ia berfikir sejenak sebelum menjawab ucapan Gibran.

"Aku --- dia --- dia suka tinggal disini. Jadi, dia selalu mengikuti saja apapun itu mauku." Terang Kanaya dengan sedikit menekan setiap kalimatnya.

Laki-laki itu serasa di buat bungkam seketika, setiap ucapan tentang kehidupan Kanaya selalu berhasil mengiris sebagian hatinya.

"Oh ... emm ... dimana dia? Sekarang dia bekerja dimana?" Gibran masih berusaha biasa saja.

"Dia masih bekerja ke luar kota. Aku ke toko dulu, maaf aku tutup dulu pintunya." Kanaya menutup pintu kusam rumahnya dengan cepat. Sedangkan Gibran hanya meperhatikan setiap perbuatan Kanaya.

Kanaya melangkah pergi dari hadapan Gibran yang masih berdiri di depan pintu rumah Kanaya. Kanaya berhenti sejenak dengan memejamkan matanya pelan lalu membukanya kembali.

"Semua ini lebih baik, Gibran. Ada perempuan yang lebih baik dan lebih pantas untukmu. Mungkin itu bukan aku." ucap Kanaya lirih, mungkin hanya dirinya saja yang mendengar dengan kedua mata berkaca-kaca. Perempuan  cantik itupun melanjutkan langkahnya untuk menuju toko foto copy.

Gibran semakin merasakan hatinya tersayat, disini Gibran sadar dirinyalah yang salah, yang selalu saja menemui wanita bersuami.

****

"Tu, kamu sudah sarapan belum?" tanya Kanaya pada Ratu.

"Belum sih. Kamu sudah?"

"Belum. Kamu makan dulu, nanti gantian aku ya."

Ratu mengangguk untuk membeli makanan di luar.

Kanaya hari ini juga meminta Ratu untuk membantunya di toko foto copy. Mengingat kemarin ada preman mabuk, membuat Kanaya tidak berani sendirian di tempat itu. Entah sampai kapan Kanaya akan membutuhkan bantuan Ratu.

"Nay," sapa seorang laki-laki pada Kanaya dengan suara lembut.

Kanaya merasa tidak asing lagi dengan suara merdu itu, dengan cepat Kanaya menoleh untuk memastikan seseorang yang ia maksud tidak salah.

Kedua mata Kanaya berbinar saat melihat seseorang itu adalah dia.

"Kak Arka ..." Kanaya segera mendekat dengan senyum yang ia kembangkan ke arah laki-laki tampan tersebut.

"Nay," Arka menelentangkan kedua tanganya berniat memeluk Kanaya.  Namun, perempuan itu justru menyatukan kedua tanganya di depan Arka.

"Eh, maaf Nay. Aku rindu tau sama kamu," ujar laki-laki itu sungguh-sungguh.

Kanaya hanya tersenyum kikuk. Ia juga merasa malu dengan sikap Arka yang tak biasa.

"Duduk, Kak!"

Kanaya membawa Arka untuk duduk di kursi tempat menunggu pelanggan.

Arka menoleh ke kanan dan ke kiri, terlihat tidak ada orang selain mereka.

"Kenapa?" tanya Kanaya merasa aneh dengan sikap Arka.

"Enggak. Untung nggak ada orang," Arka tersenyum malu ke arah Kanaya.

Kanaya membalasnya dengan sebuah senyuman saja.

"Gimana disana?"

"Nggak enak, Nay."

"Kok gitu? Nggak enak kok sampai enam bulan?"

"Nggak enak, soalnya nggak ada kamu ..." setelahnya laki-laki itu tersenyum. Kanaya juga ikut tersenyum dengan tingkah Arka.

Kanaya menarik nafas panjang, lalu ia menghembuskanya beberapa kali.

"Ada apa?" Arka seolah selalu tau dengan perubahan Kanaya. Seperti tampak ada masalah yang membebaninya.

"Aku butuh pekerjaan, Kak."

"Kerja? Bukanya toko ini pekerjaan kamu."

"Hutang ibu dan bapak masih kurang, Kak. Aku bingung harus kerja apa lagi. Kalau hanya mengandalkan foto copy itu akan memakan waktu lama. Apalagi, Kak Arka tau nggak. Kalau Fabian itu sering bilang mau nikahin aku."

"Fabian, anaknya pak Handoko? Si rentenir itu?" mendengar namanya saja sudah membuat Arka kesal.

"Iya."

"Terus ... kamu mau?" Laki-laki itu tampak panik menanti jawaban dari Kanaya.

"Emm ... mau."

"HAH? JANGAN MAU LAH, NAY,"  Arka tiba-tiba bernada tinggi.

Kanaya tertawa setelahnya, membuat Arka bingung dengan sikap perempuan yang ada di hadapnya tersebut.

BACA TERUS KISAH GIBRAN

NANTIKAN PART SELANJUTNYA

JANGAN LUPA SUBSCRIBE DAN VOTE YA ...

SALAM

NURKHUSNA.

下一章