"Beneran, kamu jangan mau," sejak tadi Arka mengikuti Kanaya kemanapun, untuk memastikan Kanaya tidak akan menerima pernikahan Febian.
"Iya, enggak. Sudah aku bilang berulang-ulang kali tadi kalau aku cuma bercanda," tutur Kanaya merasa lucu dengan sikap Arka.
Arka hanya menggaruk belakang kepalanya dengan nyengir malu. Merasa ia sangat berlebihan.
"Kalau dengan perasaanku bagaimana?" Ekspresi wajah Arka berubah serius.
Kanaya menghentikan aktifitasnya, ia menoleh ke arah Arka.
"Aku belum bisa jawab, Kak. Kakak tau kan keadaanku sekarang, aku lagi mikirin masalah uang, dan aku belum ingin memikirkan cinta. Nanti kalau aku sudah selesai dengan urusan hutang-hutang itu, Kak Arka bisa tagih dan mungkin bisa memberi ruang untuk berfikir."
Arka mengangkat sudut bibirnya untuk tersenyum, setelah sekian lama ia menunggu akhirnya sebuah harapan sepertinya sudah di depan mata. Kalau saja Kanaya mau, pasti Arka sudah melunasi semuanya untuk Kanaya. Namun, Kanaya kala itu pernah marah saat Arka hendak melakukan hal tersebut. Arka tentu tidak ingin perempuan yang ia sayang menjauh darinya.
****
"Hah? Gibran tidak tau kalau kamu nggak jadi nikah?" Ratu terkejut saat Kanaya menceritakan tentang Gibran.
"Iya, aku taunya juga tadi. Aku pikir dia sudah tau segalanya, tapi ternyata dia tidak tau apapun."
"Terus, kamu sudah jujur?"
Kanaya menghela nafas panjang, lalu ia memindah posisi duduknya ke sofa di dekat ruang tengah rumah Ratu.
"Belum. Mungkin ini jauh lebih baik, Tu. Aku tidak mau Gibran terus larut dengan masa lalu. Sepertinya aku sama Gibran bukan jodoh," rasa putus asa seolah sudah Kanaya rasakan, ia rasanya tidak ingin mengambil langkah yang salah.
"Bagaimana bisa kamu bisa tau Gibran bukan jodoh kamu. Kamu tidak bisa berfikir sependek itu, Nay," Ratu tentu tidak setuju dengan keputusan Kanaya.
"Apa, Tu? Aku merasa bukan wanita yang pantas buat Gibran. Lagi pula, kamu tau tentang beban hidup yang sekarang masih aku tempuh. Gibran sekarang kaya, aku tidak mau orang berfikir aku sedang memanfaatkanya."
"Sejak kapan Kanaya yang aku kenal memikirkan omongan orang lain?"
Kanaya diam. Memang benar apa yang di katakan oleh Ratu, sebelumnya ia tidak pernah memikirkan ucapan ataupun pemikiran orang tentangnya.
"Aku bukan orang yang baik buat dia, Tu."
****
Gibran membuka matanya pelan, lalu ia menyipitkan kembali karena silaunya cahaya pagi yang masuk ke kamarnya. Kedua mata Gibran terbuka sempurna saat melihat jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul 8.00 Wib. Laki-laki itu membangunkan tubuhnya dengan cepat untuk menuju kamar mandi. Langkahnya ia percepat berharap masih mendapatkan ampun dari sang bos pemilik kantor.
Gibran berpatut di cermin setelah selesai mandi dan memakai pakaian kantornya. Gibran merasa bodoh karena tadi malam ia pulang cukup larut. Padahal, Rio dan Rian sudah mengingatkan akan hal itu. Nyatanya Gibran sama sekali tidak mengubris perkataan kedua sahabatnya itu.
****
Kanaya tadi malam meminta saran kepada Ratu untuk keputusanya mencari pekerjaan lain. Ratu mendukung keinginan Kanaya untuk mencari kerja. Selama Kanaya bekerja ia akan menjaga toko foto copy Kanaya untuk paruh hasil. Apalagi Ratu juga membutuhkan pekerjaan setelah keluar dari kantornya kala itu.
Kanaya tersenyum dengan pakaian rapi di tubuhnya. Ia sangat senang memiliki sahabat seperti Ratu yang selalu membantunya selama ini. Ratu bukan lagi sahabat, melainkan saudara bagi Kanaya. Dengan baju warna biru lengan panjang, celana panjang warna hitam, rambut panjang yang di ikat perempuan itu siap untuk datang ke kantor tujuanya bekerja.
Kanaya berjalan untuk menuju jalan raya, ia mencari angkot untuk menghemat uang yang ia miliki agar cepat bisa menyelesaikan masalah hutang keluarnya tersebut.
"Nay, kamu mau kemana?" tanya Arka yang datang tiba-tiba.
"Aku mau lamar kerja, Kak," dengan senyum bahagia yang perempuan itu kembangkan, ia menunjukkan sebuah map yang berada di tanganya.
"Kerja? Kamu serius mau kerja? Kenapa nggak minta bantuan aku? Aku kan bisa masukin kamu di kantor aku, Nay," laki-laki itu tentu mengomeli Kanaya karena tidak meminta pendapatnya.
"Stop! Aku tidak mau bergantung terus dengan Kak Arka. Aku mau tanggung jawab dengan diri aku. Aku mohon, jangan sering-sering bantu aku, Kak."
Arka menghela nafas berat, ia hanya ingin menjadi orang yang berguna bagi Kanaya. Itu saja yang Arka harap. Namun, Arka sepertinya harus meneriman kenyataan kalau Kanaya adalah wanita hebat.
"Baiklah, aku antar ke kantor tujuan kamu aja, boleh? Please ..." setidaknya Arka bisa menjadi pendukung, kalaupun ia tidak membantu.
Kanaya tersenyum. "Yaudah, iya."
Arka semakin bersemangat saat mendapat jawaban yang ia harap dari Kanaya.
****
"Beneran ini, Nay? BUDI JAYA LUHUR?" Arka membaca papan kantor itu untuk memastikan tempat tujuan Kanaya benar.
"Iya, ini kok. Makasih ya, kak Arka."
Kanaya turun dari mobil sembari melambaikan tangan ke arah Arka.
"Nanti aku jemput, Nay," ujar laki-laki itu.
"Nggak perlu, Kak."
Kanaya segera melangkah masuk untuk interview. Arka hanya menatap kepergiaan Kanaya yang semakin menghilang dari pandanganya.
****
"Gibran, kamu masih di rumah?" Pak Abraham sampai menelvon laki-laki itu karena tidak pernah telat, dan kali ini untuk pertama kalinya ia pukul 8.00 belum datang.
"Aku hari ini libur dulu, Pak," balas Gibran.
"Kamu sakit?"
"Enggak, Pak. Aku hanya butuh istirahat. Capek aja."
"Oh, yaudah kalau kamu baik-baik saja. Aku tutup ya telvonya."
"Iya, Pak. Terimakasih."
"Assalamualaikum ..."
"Waalaikumsalam."
Entah apa yang menjadi beban pikiran Gibran. Sudah mandi dan bersiap, tetapi ia justru berubah pikiran untuk tidak masuk kantor.
****
"Kamu diterima?" Rasa senang menyelimuti Ratu tatkala mendengar keterangan dari Kanaya.
"Tapi ..."
"Tapi apa?" Ratu langsung mendekat untuk memastikan segalanya baik-baik saja.
"Office girls."
"Hah? OB? Nay, yang benar saja. Kenapa kamu terima?" Rasa bahagia yang tadinya Ratu rasakan berubah jadi rasa tidak setuju.
Kanaya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, seolah benar apa yang di katakan Ratu.
"Kamu pernah kuliah jurusan ekonomi. Sekarang kamu jadi office girls? Yang benar saja, Nay?"
"Aku pikir, sembari cari kerjaan lain, aku kerja itu dulu gitu, Tu. Aku sudah bingung mau kerja apa. Toko kadang ramai kadang juga sepi."
"Yaudahlah, sudah terlanjur juga. Nanti aku akan tanya-tanya temanku. Siapa tau ada kerjaan buat kamu dan aku."
Kanaya memeluk Ratu dengan senyum yang ia kembangkan.
"Kamu satu satunya sahabat terbaikku."
****
"Lo, masih aja mikirin Kanaya?" Kesal Rio saat tau Gibran hanya membahas nama Kanaya saja sejak tadi.
"Iya, Gib. Move on lah ... laki-laki macam apa kamu nggak bisa move on dalam waktu tiga tahun."
BACA TERUS KISAH GIBRAN
JANGAN LUPAN MASUKKAN KOLEKSI YA ...
NANTIKAN PART SELANJUTNYA
JANGAN LUPA SUBSCRIBE DAN VOTE YA ...
SALAM
NURKHUSNA.