Qin Lang berusaha dengan sekuat tenaga untuk melawan penjahat yang tiba-tiba datang menyergap kediaman Jiang. Ketika dia menyadari tuannya sudah meninggal, air matanya menetes dan emosinya memuncak. Andai saja dia bisa membelah bumi dengan emosi sebesar itu, dia akan melakukannya.
Ingatan tentang kematian ibunya kembali terngiang di kepalanya membuat semua kepedihan berkumpul di dada dan kepala. Seketika dia rubuh dan terduduk andai saja teriakan Jiang Ning tidak menyadarkannya.
"AYAH!" teriak gadis itu dengan suara nyaring dan pilu.
"Nona Jiang?"
Qin Lang terkejut menyadari suatu mukjizat terjadi di tengah bencana. Dia tidak tahu harus bersyukur atau lebih banyak bersedih pada satu waktu. Satu hal yang membuatnya kembali sadar adalah janjinya pada Tuan Jiang kalau dia akan melindungi anaknya dan memastikan Xiu Lan bertanggung jawab pada gadis yang lemah itu.
"Aku akan menjalankan tugasku, Tuan meninggal bukan berarti janjiku mati bersamanya. Aku akan memegang teguh janji ini selama aku masih bernyawa!" teriak batin Qin Lang sambil terus meneteskan air mata kepedihan.
Selama beberapa tahun terakhir ini, selain kematian ibunya, kepergian Tuan Jiang ini adalah yang paling menyedihkan baginya. Dia jarang menemukan orang baik dan sekarang harus kehilangannya lagi.
Suara pedang kembali menyadarkan Qin Lang dan dia bergegas mengambil pedang milik Jiang Feng dan membawanya untuk membantai manusia sialan yang merusak kebahagiaan orang itu.
"Xiu Lan! Kalian pergi," teriak Qin Lang.
Xiu Lan yang berusaha melindungi Jiang Ning dengan bertarung sekuat tenaganya, menggelengkan kepalanya.
"Tidak tanpamu!" teriak Xiu Lan.
"Aku akan datang, aku tidak akan mati," teriak Qin Lang.
Dengan segenap kekuatan yang dia miliki, dia membawa Xiu Lan dan Qin Lang ke arah hutan sementara beberapa penjaga di kediaman Jiang yang masih hidup terus bertarung sampai titik darah penghabisan.
"Kalian pergi, aku akan menyusul," kata Qin Lang sambil memberikan sebuah peta jalan kepada dua manusia yang lebih muda darinya.
Xiu Lan menggeleng sambil meneteskan air matanya. Dia terlihat sedih jauh di lubuk hatinya. Baru kali ini Qin Lang melihat sahabatnya itu menangis dan bersedih sedalam itu. Biasanya dia sangat ceria dan selalu bersemangat. Bahkan, ketika Qin Lang berada di titik nadir dalam hidupnya, Xiu Lan adalah penyemangat hidupnya. Satu-satunya yang dia miliki dan selalu ada.
"Tidak banyak waktu, kita bisa mati kalau bersama. Orang-orang di kediaman Jiang harus diselamatkan. Kalau berpisah ini hanya sementara dan dengan begini kita aman dan selamat," kata Qin Lang mencoba menjelaskan dengan alasan yang paling rasional.
"Bagaimana aku bisa hidup tanpamu?"
Xiu Lan berucap lirih dan kembali menangis pilu.
"Aku dan kau sudah berjanji akan menjaga Nona Jiang, bagaimana kita bisa menjaga dan menepati janji kalau lemah seperti ini? Apa kau lupa kerasnya ombak sudah mengajarkan banyak hal?"
Qin Lang menepuk pundak Xiu Lan dan mengingatkan pria itu bahwa dia sudah memiliki tanggung jawab lain sekarang. Mulai detik ini, sejak kematian ayahnya, gadis muda itu seratus persen menjadi tanggung jawab Xiu Lan.
"Kakak bagaimana kami bisa pergi tanpamu?" ucap Jiang Ning setelah tangisannya reda.
"Jangan khawatir, Nona Jiang, aku akan menyusul. Aku dan Xiu Lan sudah terbiasa hidup dengan menerjang kematian. Dia pasti bisa menjagamu," ucap Qin Lang dengan sigap walau sejenak dia sempat terpesona oleh suara gadis itu. Amat lembut dan indah.
Terpesona tentu saja bukan langsung cinta. Dia terkejut dengan keindahan suara yang terpendam selama ini.
"Baiklah," ucap Jiang Ning mengangguk pelan.
"Kakak, apa kau berjanji akan datang?"
Xiu Lan kembali merengek seolah dia adalah anak berusia tujuh tahun yang dulu.
"Kenapa kau merengek? Saat kita berdua dijual kau bahkan tidak sesedih ini," ucap Qin Lang.
"Itu karena kita bersama," ucap pria yang lebih muda.
Qin Lang melepaskan kalung dari lehernya. Itu adalah pemberian Tuan Jiang, satu-satunya giok berwarna biru muda yang indah.
"Bawa ini, aku akan selalu bersamamu," ucap Qin Lang.
Jiang Ning menatap pedang ayahnya di tangan Qin Lang dengan tatapan sendu.
"Nona ... ini," ucap Qin Lang begitu menyadari pandangan gadis itu menyiratkan kepedihan yang mendalam.
Jiang Ning menghapus air matanya dan berucap, "Kakak bawalah bersamamu dan kembali padaku, pada kami dengan itu," jelas Jiang Ning.
Qin Lang agak ragu walau dia mengangguk dengan pelan. Bukan ragu bisa kembali atau tidak, tetapi dia ragu apakah dia pantas memakai pedang yang legendaris itu.
Jian nama pedang itu. Warnanya putih bersih seperti kristal. Gagangnya terbuat dari giok hijau yang mahal dan kuat. Sekali tebas tentu saja akan memisahkan antartulang.
"Bawalah dan berjanji kembali pada kami," lirih Jiang Ning lagi dan akhirnya meyakinkan Qin Lang kalau dia hanya perlu kembali dan menghabisi orang-orang jahat di dalam sana.
"Baiklah, kita berpisah di sini sementara dan berjanji untuk saling menemukan," ucap Xiu Lan kembali ceria.
Dia berusaha tersenyum walau hatinya masih sakit. Pertama kali dalam hidupnya dia harus kehilangan seseorang yang sangat berarti. Qin Lang mengatakan kalau sekarang Jiang Ning harus menjadi seseorang yang paling berarti dalam hatinya.
Setelah mengangguk, Qin Lang kembali ke kediaman Jiang. Untung saja dia orang itu sudah berhasil kabur, beberapa orang sudah menyusul ke arah hutan dengan membawa parang dan pedang.
"Cari mati kalian!!!" teriak Qin Lang dengan teriakan yang keras.
Sejak lama dia memendam emosinya selama ini dan inilah saatnya melepaskannya.
Dendam dan kepedihan yang disebabkan oleh ayahnya dilepaskan untuk saat ini.
Namun, tak selamanya emosi itu bisa membantu, terkadang malah melemahkan. Tak kuat melawan lagi, Qin Lang akhirnya dilumpuhkan setelah kehabisan banyak energi.
"Anak ini kita apakan?" tanya seorang pria dengan wajah bengis pada seseorang yang menggunakan topeng hitam.
"Dia lumayan juga! Bawa saja kepada Tuan," ucap pria itu.
Qin Lang terdiam karena sudah lelah dan saat ini dia pasrah mati, tetapi belum bisa mati karena masih berutang janji.
"Kau beruntung tidak mati," ucap pria berwajah bengis itu. Di wajahnya terlihat beberapa sayatan dan bekas luka, begitu pula di leher dan tangannya.
Kalau diperhatikan, pria ini sudah berkali-kali ditolak oleh kematian.
"Aku tidak butuh dikasihani," ucap Qin Lang.
"Huh?!"
Seseorang menyiram dia dengan arak membuat luka di wajah, bibir dan tubuhnya terasa perih.
"Kau masih beruntung nyawamu diampuni! Tidak bisakah kau bersyukur?"
Seorang pria bertubuh kecil dengan pakaian serba hitam mendegus kasar dan mengejek Qin Lang sebagai manusia yang tidak tahu terima kasih.
"Persetan dengan terima kasih!"
Qin Lang meludah beberapa kali membuat para penjaga emosi dan hendak memukuli dia. Sayangnya dihentikan oleh pria yang bertopeng itu. Sepertinya, dia adalah bos di sini. Lalu siapa tuan mereka?