Evan melempar tubuh Luci di atas ranjang yang empuk itu.
Ranjanganya yang besar telah dilengkapi oleh seprai berwarna putih.
Di atas seprai ditaburi oleh bunga-bunga mawar yang harum. Selain itu sebenarnya di kamar itu sudah dipersiapkan wewangian yang harum-harum.
Sebelum Luci dilemparkan oleh Evan di atas ranjang, Evan sempat menekan sebuah tombol di dinding dengan menggunakan tubuh kokohnya yang jangkung.
Dan saat tombol itu ditekan, seketika ranjang itu disekati oleh dinding.
Tadinya Luci bisa melihat meja makan, sofa, dan ruang TV sekaligus.
Tapi setelah dinding muncul dari atas, semuanya sudah tidak terlihat lagi.
Ranjang itu sudah seperti ranjang yang berada di sebuah kamar seorang tuan kaya yang memiliki gaya hidup yang sangat elit.
Luci hampir beranjak dari ranjang untuk pergi, walaupun gadis itu tidak tau ke mana dia harus pergi.
Jalan di sekitar kamar itu sudah ditutup dan disekati oleh dinding-dinding.
Mungkin Luci bisa keluar jika menekan tombol yang ditekan oleh Evan tadi.
Tapi masalahnya sekarang adalah Luci tidak ingat pada dinding mana Evan tadi menekan tombolnya.
Tapi sebelum Luci benar-benar bisa beranjak, Evan sudah menahan tubuh gadis itu.
Lalu Evan pun membanting kembali tubuh Luci agar terlentang di atas ranjang. Bunga-bunga mawar sudah beterbangan ketika tubuh Luci tersentak di atas ranjang.
"Tu – Tu – Tuan Evan. Tuan Evan yang baik, jangan lakukan ini. S – s – saya mohon. Sa – saya mohon." Luci tergagap sembari beringsut untuk mundur dan menjauh.
Tapi ketika tubuhnya terus mundur, gadis itu menyadari bahwa dia hanya memasukkan dirinya ke dalam perangkap Evan lebih dalam lagi.
Karena tubuh Luci sudah membentur ujung ranjang, dan itu semakin membebaskan Evan untuk mengunci Luci.
Evan menindih Luci, walau Evan belum melakukan apa pun. Matanya yang tajam itu masih menguarkan aura yang sangat dingin.
Tapi di luar itu ada kobaran api yang dasyat yang ingin melahap Luci. Ada kemarahan di mata Evan, dan yang terpenting adalah ada luka di dalam mata CEO itu.
"Tu – Tuan Evan. Kumohon jangan. Jangan, Tuan." Luci semakin ketakutan saja.
Di dalam otak gadis itu sekarang dipenuhi oleh trauma dan juga masa lalu suram tentang Tuan Philip.
Tuan Philip dulu juga pernah hampir memperkosa Luci, tapi akhirnya bisa tergagalkan karena Luci untungnya bisa kabur dan melarikan diri.
Saat itu Tuan Philip membawa Luci di kamarnya. Tapi Luci beruntung karena kamar Tuan Philip tidak dikunci.
Luci pun berlari keluar kamar. Di luar kamar juga ada para body guard.
Entah karena Luci yang jago bela diri atau memang Luci yang mendapat keberuntungan, tapi pada akhirnya gadis itu tetap bisa meloloskan diri di tengah kejaran para body guard.
Luci masih ingat bagaimana wajah Tuan Philip ketika itu. Luci masih ingat betapa bernafsunya Tuan Philip kepada Luci.
Tapi Luci tidak bisa melihat nafsu itu di mata Evan. Evan tidak memiliki nafsu untuk 'menerkam' Luci.
Tapi tetap saja Luci takut. Walau bagaimana pun Evan itu adalah seorang CEO yang bisa melakukan apa saja kepadanya. Dan jangan lupa tentang julukan Evan yang psikopat itu.
"Tuan Evan. Saya – saya percaya Anda normal. Sa – saya percaya.
" Sekarang lepaskan saya. Saya mohon. Sa – saya mohon." Luci masih gemetaran dengan beribu keguguapan yang gagal dikendalikan olehnya.
Untuk yang ke sekian kalinya Luci harus berhadapan dengan seorang klien yang menginginkan tubuh Luci.
"Benarkah kau percaya bahwa aku ini normal?" Evan menyeringai.
Itu bukanlah pertanyaan yang sesungguhnya. Evan hanya ingin memancing Luci agar Luci lebih jatuh ke dalam perangkap Evan.
"Iya, tentu saja. Tentu saja Tuan. Tuan Evan adalah lelaki normal yang mana digilai oleh banyak wanita.
"Tuan – Tuan Evan sangat jantan. Iya, sangat jantan." Luci berkata seperti sedang mengatakan sebuah racauan orang yang sedang putus asa.
Tapi toh itu tidak salah, Luci memang sudah putus asa saat ini.
Luci tidak akan bisa lari dari tempat ini, kecuali jika dia bisa bernegosiasi dengan Evan.
Yeah, benar, Luci harus bisa meluluhkan Evan agar lelaki itu mau melepaskannya.
'Apa aku perlu membahas tentang perjanjian lagi ya?
'Hm, tapi jika aku membahas perjanjian itu, lalu Tuan Evan menuntutku untuk mau melanjutkan perjanjian, nanti nasibku bagaimana?
'Setelah perjanjian diresmikan, dia akan bebas menyentuh tubuhku tanpa seizinku.
'Tapi jika aku tidak menyetujuinya, dia akan mengambil hartaku yang berharga malam ini juga,' batin Luci.
Luci terlihat memikirkan semuanya dengan masak-masak.
Sepertinya situasi memang tidak berpihak kepada Luci. Sepertinya malam ini Luci harus berkorban. Jika tidak maka Luci bisa kehilangan segalanya.
'Hm, mana yang lebih baik? Disentuh seluruh bagian tubuhmu atau mahkotamu yang diambil?' Luci memikirkan dua pilihan itu.
Itu pilihan yang sangat sulit bagi Luci. Selama ini semua mantan pacarnya, bahkan Daniel – yang sampai sekarang masih Luci anggap sebagai pacarnya sendiri – tidak pernah menyentuh seluruh bagian tubuh Luci.
Apalagi Daniel. Daniel adalah lelaki yang religius.
Daniel tidak pernah menyentuh Luci lebih dari genggaman tangan.
Luci juga tidak pernah mencium bibir Daniel. Paling banter Luci hanya mencium pipi Daniel, tidak lebih.
Jika Luci yang bersama Daniel, maka Luci yang akan agresif.
Lalu sekarang ini, Evan Robert Hudan, seseorang yang bahkan bukan siapa-siapa Luci ingin melakukan apa pun kepada tubuh Luci.
Dan parahnya tanpa persetujuan Luci terlebih dahulu. Ini adalah keputusan gila, dan ini adalah pengorbanan yang mengerikan.
Tapi justru karena Evan orang asing, Luci jadi memiliki semakin banyak alasan untuk mengorbankan salah satu dari pilihannya.
Karena para orang asing biasanya akan bersikap tega melakukan apa pun kepada orang lain.
"Kau mengatakan aku jantan ya? Bagaimana kalau kita buktikan?
Seorang lelaki jantan itu lebih suka pembuktian dari pada omong kosong belaka." Evan mulai menanggalkan kemeja miliknya.
Lalu lelaki itu pun melepas kaos putih dalam yang melekat di tubuh lelaki itu.
Setelah kaos itu dilepas, terpampanglah sesosok tubuh berkulit bersih dengan tonjolan otot di lengan, dada, dan perut.
Perut Evan memiliki abs yang luar biasa kokoh.
Tidak disangka padahal dari penampilan luar, Evan terlihat jangkung dan biasa saja. Tapi di dalamnya ternyata Evan berotot juga.
Seorang CEO yang bengis dan psikopat yang dirumorkan itu nampak seperti lelaki biasa dengan tanpa pakaian resminya.
Bahkan ketampanan Evan bisa tercetak jelas dengan bantuan keindahan tubuhnya yang dirawat oleh olah raga yang teratur itu.
"Ti – tidak. Tidak Tuan Evan. Jangan! Jangan lakukan ini!" Luci pun beringsut lagi.
Tapi sayangnya tubuhnya sudah benar-benar tak bisa bergerak mundur. Alhasil Luci pun berusaha untuk bangun dan lari.
Tapi itu tidak mudah dilakukan karena Evan sudah lebih dulu mencengkeram kedua tangan Luci dan mengunci pergelangan gadis itu dengan kedua tangan lelaki itu.
Keadaan seperti ini persis seperti keadaan ketika di mobil Evan, yakni ketika tangan Luci dikunci oleh Evan dan setelah itu Luci pun diciumi dengan dalam.
Evan pun mendekatkan wajahnya kepada wajah Luci. Seringai masih terpampang jelas di wajah Evan, belum lagi ketika melihat bibir Luci bergetar ketakutan.
Sebentar lagi Luci akan merasakan kesakitan seperti yang Evan rasakan.
***