Luci tidak akan sudi disentuh oleh Evan, sama sekali.
Oleh karenanya ketika wajah Evan sudah semakin mendekat pada wajah Luci, gadis itu pun membenturkan kepalanya kepada kepala Evan.
Alhasil Evan pun mengerang sembari memegangi kepalanya.
"Argh, kau .. argh," erang Evan.
Saat Evan mengerang, Luci melihat ada celah untuk kabur. Apalagi CEO itu sudah tidak lagi mencengkeram sebelah tangan Luci, karena sebelah tangan Evan memegangi kepalanya sendiri.
Luci pun segera bangkit dan mendorong tubuh Evan dengan kekuatan penuh. Berhasil! Evan mundur dan terjengkang, sampai tubuh Evan berguling dan jatuh di ranjang.
Luci buru-buru berlari untuk menuju tembok yang mengelilinginya itu.
Jemarinya yang lentik meraba dinding bercat putih itu. Luci ingin mencari tombol yang tadinya ditekan oleh Evan agar dinding penyekat di sini bisa hilang.
Tapi gagal, Luci tidak bisa menemukannya. Kemudian gadis itu pun kembali berlari untuk mencari-cari remote di sekitar ruangan itu.
Tapi tidak ada satu pun remote bahkan di dalam laci sekali pun. Dan sialnya beberapa laci meja terkunci.
Sementara itu Evan yang tadinya merasa kesakitan akibat dihantam oleh kepala Luci kini mulai murka.
Wajahnya berkobar dengan sangat mengerikan. Apalagi ketika merasakan kepalanya masih nyut-nyutan.
"GADIS SIALAN! KEMARI KAU!" sembur Evan dengan beringas. Evan pun melompat dari ranjang dan berjalan dengan debum kaki yang berat dan dalam, ketika mendekati Luci.
Luci tau Evan tengah mendekat padanya, tapi itu tidak menyurutkan niat Luci untuk terus mencari sebuah remote atau tombol yang berada pada dinding.
Luci yakin pasti ada jalan keluar dari tempat ini. Hanya saja Luci belum tau di mana jalan keluar itu.
"Beraninya kau memukulku? HAH?" Evan menarik tubuh Luci dan menyeret gadis itu untuk menuju ranjang kembali.
Luci sempat merengek dan menolak. Gadis itu juga meronta dengan histeris.
"Tidak! Tidak! Lepaskan aku! Lepaskan!" teriak Luci. Tapi tetap saja Evan tidak akan membiarkannya pergi.
Sekarang tubuh Luci kembali menghantam pada ranjang kembali dengan kekuatan hentak yang maksimal.
Seolah Luci baru saja jatuh dari ketinggian lebih dari dua puluh meter dan pendaratannya di atas ranjang.
Evan menindih Luci kembali, mengapit gadis itu dan tidak membiarkan Luci untuk pergi, bahkan hanya untuk bergerak sedikit pun Evan tidak akan membiarkan Luci melakukannya.
Tangan Evan kembali mengunci pergelangan tangan Luci, agar gadis itu tidak bisa memberontak.
"Apa pun, akan kulakukan apa pun. Tapi aku mohon, jangan lakukan ini padaku. Aku mohon, Tuan," rengek Luci.
"DIAM! Atau kau akan membuatku semakin tersulut. Terima sajalah takdirmu yang harus berakhir di bawah tubuhku," kata Evan dengan kebengisan.
Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi Evan 'menggarap' bibir Luci. Aneh, padahal Evan sudah bertekad untuk tidak melakukannya lagi.
Tapi kenapa jika dengan luci Evan bisa dengan mudah melanggar tekadnya sendiri?
Bahkan sekarang pun Evan semakin jauh untuk melakukan aksinya.
Ciuman itu sudah semakin dalam dan berubah menjadi gigitan kembali.
Luci merintih, karena merasakan gigi CEO itu melukai bibirnya.
'Ini bukan ciuman, ini namanya kanibalisme. Dia mau memakanku!' teriak Luci dengan polos di dalam hatinya.
Luci ingin kabur dan memberontak tapi gadis itu tidak mampu.
Jangankan untuk memberontak, untuk bernapas saja Luci sudah mulai kesusahan.
Evan sama sekali tidak membiarkan Luci untuk menarik napas terlebih dahulu, akibatnya wajah Luci sudah hampir pucat karena kehabisan napas.
Evan pun mulai menggerakkan tangannya untuk turun, untuk menyentuh beberapa bagian pada tubuh milik Luci.
Gadis itu membelalak dan memberontak apalagi ketika tangan Evan sudah hampir menyusup di kaos miliknya.
Evan hampir kehilangan kendalinya. Bahkan CEO itu tadi sudah memiliki pikiran untuk benar-benar mengambil mahkota Luci, sampai akhirnya Evan berhenti.
Evan menghentikan tangannya kembali dan juga ciumannya.
'Kenapa aku melakukan ini? Kenapa? Aku sudah bertekad untuk tidak akan melakukannya dengan siapa pun.
'Dan gadis ini? Kenapa harus dia? Evan, sadarlah, Bodoh!' tegur Evan di dalam pikirannya sendiri.
Alhasil Evan pun bangkit dengan buru-buru dari tubuh Luci, karena merasa ada sesuatu yang hampir 'bangun'pada tubuhnya.
Dan sebelum itu terjadi Evan harus segera menghentikannya sebelum nantinya terlambat.
"Keluar kau! KELUAR!" teriak Evan mengusir Luci tanpa sedikit pun memandang pada Luci. Mata Evan sudah terguncang hebat.
Evan tidak menyangka dia hampir melakukan hal 'itu' lagi dengan perempuan, setelah Evan melakukannya pertama dan yang terakhir kali dengan seorang gadis sepuluh tahun yang lalu.
Luci pun masih bingung. Mungkin juga syok.
Tapi gadis itu akhirnya bangkit dari ranjang untuk keluar.
Tapi masalahnya sekarang adalah Luci tidak tau bagaimana caranya untuk keluar.
Jalan keluar masih belum ada. Di sekelilingnya hanya ada tembok yang mengepung Luci dengan Evan.
Evan yang mengira Luci sudah keluar pun akhirnya membalikkan tubuhnya.
Tadinya Evan ingin berbaring di ranjang dan tidur, agar gejolak di dalam dirinya bisa hilang begitu saja.
Tapi betapa terkejutnya Evan saat melihat Luci masih berdiri di ruangan itu, bukannya keluar.
"Ke – kenapa kamu belum keluar? KELUAR! KUBILANG KELUAR!" teriak Evan sembari menelan ludahnya sendiri.
Tubuh Evan sudah terguncang karena semakin lama 'sesuatu' pada dirinya itu semakin mau bangun.
Apalagi jika Evan melihat Luci, melihat tubuh gadis itu, padahal tubuh Luci masih dibalut oleh kaos oblong.
"Saya – saya tidak tau jalan keluarnya." Luci berkata gugup tapi juga jujur.
Evan hampir menepuk jidatnya sendiri, karena baru ingat bahwa pintu keluar belum dibuka oleh Evan.
Pintu keluar itu baru bisa dibuka jika tombol pada dinding ditekan.
Tapi masalahnya dinding itu memiliki pengaturan sidik jari.
Hanya sidik jari Evan dan Tuan John yang bisa diakses untuk membuka dan menutup pintu di ruangan itu.
"Aku akan membuka pintunya. Tapi kau jangan dekat-dekat denganku!
"Jangan menampakkan wajahmu di depanku! MENGERTI!" bentak Evan dengan garang. Padahal di dalam dirinya sendiri, Evan tengah menahan setengah mati.
Luci pun mengangguk bukannya menjawab, karena Luci msih terlalu takut dan terkejut. Luci tidak ingat kalau Evan tidak ingin melihatnya.
"Jawab! Kenapa diam!" berang Evan dengan wajah sudah berkeringat.
"I – iya, Tuan Evan." Luci dengan lantang menjawabnya.
Evan pun mengangguk lirih karena merasa Luci sudah paham apa yang dia inginkan.
Lalu Evan berjalan mundur dan agak miring, persis seperti jalannya kepiting.
Terkadang Evan masih juga melirik sedikit pada arah samping, pada arah di mana Luci berdiri. Evan harus memastikan bahwa matanya tidak bisa menemukan sosok Luci.
'Kenapa Tuan Evan jalannya aneh begitu?'tanya Luci di dalam hatinya.
Beberapa detik kemudian pintu sudah terbuka setelah Evan menekan sesuatu di dinding lalu menempelkan jempolnya pada sesuatu itu.
Melihat pintu terbuka Luci un buru-buru keluar, padahal Evan belum membalikkan wajah dan tubuhnya.
Alhasil Evan pun melihat sekilas sosok Luci.
Hal itu membuat Evan kembali tersengat geloranya, lelaki itu hampir saja terdorong oleh 'sesuatu' miliknya itu.
'Sesuatu' tersebut memaksa Evan untuk menarik Luci kembali dan melemparkan gadis itu ke ranjang kembali. Tapi untung Evan bisa menahannya.
"John, perjanjian ini tetap dilangsungkan. Siapkan dokumen pengikat!" teriak Evan dengan posisi masih berada di dalam kamar.
Evan pun tidak memandang kepada Tuan John saat berteriak tadi, karena Evan tidak mau melihat sosok Luci yang Evan yakini masih berada di situ.
"Baik Tuan," jawab Tuan John sembari membungkuk.
Di kantor milik Evan, lutut Luci pun lemas. Luci pikir dia bisa keluar dari jeratan Evan tapi ternyata tidak. Evan masih ingin melanjutkan perjanjian.
Sementara itu di dalam kamarnya, Evan kembali berbaring di atas ranjang. Pintu berupa dinding tadi sudah ditutup kembali oleh Evan. Dalam diam Evan mengatur napasnya sendiri.
"Apa aku membatalkan saja perjanjian ini? Gadis itu 'berbahaya untukku.
"Tapi aku tidak bisa mundur. Aku harus menggagalkan perjodohan yang diajukan oleh nenek," gumam Evan dengan napas tersengal.
***