Kai berjalan senang membawa bungkusan yang diberikan oleh anneth untuknya dan juga nenek di rumah.
"Nenek! " teriak kai ketika sampai di depan sebuah rumah panggung yang dinding-dindingnya masih terdiri dari papan dan anyaman bambu, tetapi masih dengan warna cat yang terang karena beberapa waktu yang lalu tetangganya memberikan sisa cat untuk rumah milik nenek kai agar terlihat lebih cerah dan tentu saja kai yang mengecatnya sendiri dinding luar rumahnya itu dengan warna biru langit itu.
"Nenek! " kai membuka pintu lagi-lagi dengan teriakannya, dia melayangkan seluruh pandangannya ke setiap penjuru rumah yang hanya memiliki satu ruang tidur itu.
"Ada apa teriak-teriak? " sang nenek muncul dari arah dapur.
"Nenek sedang apa? " kai membantunya berjalan, walaupun tubuhnya sudah mulai membungkuk tapi dia masih terlihat sehat.
"Nenek mau masak air untuk kamu mandi " jawabnya, "karena kamu pulang sore sekali, pasti dingin kalau mandi sore-sore "
"Tidak perlu nek " kai membantunya untuk duduk di sebuah kursi kayu yang alasnya pun tanpa busa.
"Aku bisa sendiri nanti " sambungnya.
Kai lalu menyimpan bungkusan tersebut di samping nenek dan membukanya.
"Nenek lihat aku diberi makanan " dia menunjukan kue donat kepada neneknya, "ini enak sekali makanlah "
"Dari siapa? " sang nenek menerima kue yang di sodorkan oleh kai, dan memakannya.
"Dari teman baruku anneth " jawabnya, "dia tinggal di rumah yang besar di seberang pasar itu nek! "
"Yang sudah lama kosong " lanjutnya.
Nenek menganggukkan kepalanya, "baik sekali temanmu itu "
"Itu buatan ibunya " jelas kai, "dia memang baik walaupun sedikit cerewet "
Senyuman lebar terlihat diwajah nenek yang telah begitu jelas dengan kerutan-kerutannya.
"Katanya baik, tapi kok disebut cerewet "
"Nanti kamu ajak dia kesini " ucap nenek, "nanti nenek buatkan dodol kacang merah yang enak "
"Apa dia mau kalau aku ajak kesini nek? " tanya kai ragu-ragu.
"Diakan temanmu, walaupun dia orang serba kecukupan kalau kamu sebut baik dia tidak akan malu diajak ke gubuk ini "
Kai tersenyum dengan anggukan kepalanya, "iya, nek. Nanti aku ajak anneth kesini "
Nenek melanjutkan mengunyah donat miliknya, kedua matanya tertuju pada bungkusan hitam yang lebih besar dari bungkusan kue donat.
"Itu apa? " tanyanya.
Kai menoleh ke arah bungkusan yang tersimpan di meja, "oh, iya aku lupa. Ibu anneth juga memberikan kita beras dan mie instan "
"Banyak sekali " ucap neneknya dengan wajah yang tersenang, "baik sekali mereka "
Kai memperlihatkan wajah penuh kebahagiaannya juga pada neneknya itu, satu tangannya mengambil dua bungkus mie instan kuah dan ditunjukan pada nenek.
"Malam ini kita makan dengan mie instan kuah, kita belum coba rasa ini " ucapnya dengan penuh bahagia.
"Iya terserah kamu "
"Aku akan nyalakan dulu apinya "
Kai berjalan ke arah dapur yang terletak di bawah rumah. Posisi hawu yang lebih rendah membuatnya harus duduk di kursi kayu kecil buatan kakek ketika masih hidup dulu.
Disamping hawu tersimpan tumpukan kayu bakar yang sudah dipotong-potong olehnya.
Kai membawanya beberapa kayu bakar dan dimasukan kedalam hawu, menyalakan korek api dan membakarnya.
"Hati-hati nanti kamu terbatuk! " teriakan neneknya memperingatkan kai untuk pelan-pelan ketika meniupkan songsong ke dalam hawu agar apinya cepat membesar.
"Iya, nek. Tenang saja! " kai menjawabnya dengan sedikit berteriak karena sedang berada di dapur.
Kai mencoba mengambil nafasnya sebelum meniupkan songsong benda berbentuk pipa yang terbuat dari batang bambu ke dekat hawu.
Api mulai membesar, kali ini dia berhasil. Hanya tiga kali meniupkan songsong tersebut api sudah dapat menyala.
Dia beranjak dan mengambil panci, disimpan diatas perapian dan menambahkan air kedalam pancinya.
"Nenek mau pakai cabe tidak? " teriak kai, ketika menunggu air mendidih menuangkan bumbu mie ke dalam piring seng yang bergambar bunga ditengahnya, mereka tidak memiliki mangkok jadi terpaksa menggunakan piring seng yang biasa dipakai untuk makan.
"Nanti jika karnaval satu muharam aku akan ajak anneth melihatnya " ucap kai menunggu air yang berada di dalam panci mendidih.
"Dia pasti suka! " dengan senyum penuh bahagia, kai memasukan dua keping mie instan ke dalam air yang mendidih.
Setelah kurang lebih tiga menit kai selesai memasak mie, dan membawanya ke tengah-tengah tirai yang tergelar di bawah di sudut ruangan rumah. Mereka biasa makan di tempat itu sambil mendengarkan dongeng wayang golek si cepot, selain menjadi tempat untuk makan kai juga tidur di atas tikar tersebut karena rumah nenek hanya memiliki satu kamar. Dia biasa menggelar kasur yang berisi kapuk buatan nenek sendiri untuk alasnya tidur.
"Kita makan nek! " seru kai pada nenek dengan bawaan terakhirnya, sepiring nasi putih untuk mereka makan berdua.
Nenek tertawa melihat kai yang muncul dari arah dapur.
"Kenapa nek? " tanya kai teraneh.
"Lihat wajahmu itu " jawabnya masih dengan tawanya, "cemong karena tadi meniup songsongnya terlalu keras! "
Kai segera berjalan ke arah lemari pakaian yang kacanya telah di penuhi oleh bintik-bintik hitam karena terlalu usang.
Dia segera membersihkan noda-noda hitam di pipi dan hidungnya. Sambil tertawa malu karena walaupun berhasil dia masih terlihat cemong.
"Kamu mandi saja dulu " ucap nenek, "nanti kita makan setelah kamu mandi, jadi setelah itu kita bisa berangkat ke surau untuk berjamaah maghrib disana "
"Baiklah, nek " kai celingak-celinguk di depan kaca, setelah beberapa detik dia berjalan mengambil handuk mandi miliknya dan menuju ke kamar mandi.
"Sekalian kamu isi bak nya " ucap nenek, "supaya nanti subuh kamu tidak perlu menimba air lagi "
"Siap! " kai berteriak karena dia sudah berada di dalam kamar mandi yang dinding-dindingnya sudah banyak di tutupi oleh tambalan-tambalan triplek karena anyaman bambunya mulai bolong, dan genteng diatasnya bila sedang hujan pasti akan bocor.
Dia menarik ember hitan yang telah diikat dengan tali berbahan karet berwarna hitam, dia melepasnya ke arah bawah sampai ember hitam itu menyentuh air di dasar sumur.
"Sepertinya air sumur sedang banyak " ucap kai dapat melihat ke dasar sumur dengan pantulan cahaya air dari dalam.
Setelah dia yakin ember telah di penuhi oleh air, dia menariknya perlahan ke atas agar air yang sudah berada di dalam ember tidak banyak yang terbuang dan ketika sampai di tangan ember tersebut telah terisi penuh.
Dengan susah payah kai harus menarik ember yang berisi air, dia mengeluarkan seluruh tenaganya. Timbaan yang pertama ini sudah membuat nafasnya sedikit cepat, dan dia harus mengisi bak mandi.
Tapi karena pekerjaan ini sudah menjadi kesehariannya, kai menikmatinya dia tidak mengeluh sedikitpun. Dia selalu bersyukur karena dia dan nenek masih memiliki sebuah rumah, tidak seperti beberap orang yang terkadang harus tidur di emperan toko di pasar atau juga di surau desa karena tidak memiliki tempat tinggal..