Audi bergeming tatkala pintu kamar yang ia tempati beberapa hari belakangan ini, perlahan terbuka. Suara derit pintu membuatnya menahan nafas, menantikan sosok yang akan masuk ke kamar itu. Jantungnya berdegup kencang, tangannya mendadak dingin. Matanya terpenjam untuk sesaat lalu kembali terbuka saat suara berat seorang pria menyapanya.
"Sudah bangun?" sapa Bram ramah, meletakkan sebuah kotak makan dan segelas air mineral di meja tak jauh dari tempat Audi berdiri.
Audi bergeming. Kedua netranya terfokus pada wajah Bramastyo yang kini berjalan ke arahnya. Kedua alisnya nyaris saling bertautan satu sama lain. Ia merasa terkejut. Pria di depannya itu benar-benar mirip dengan pria yang ada di mimpinya barusan. Sangat mirip. Sama sekali tidak ada cela di antara keduanya, layaknya kembar identik.
Bramastyo berdeham. Ia merasa gugup ketika dirinya mengetahui jika mata cantik "adiknya" sedang menatapnya dengan penuh selidik. Perasaan gugup yang tidak seharusnya terjadi ketika sang adik menatap penuh rasa ingin tahu pada sang kakak.
"Kenapa? Kenapa melihat kakak seperti itu?" Bramastyo balas menatap Audi.
"Kau siapa?" Pertanyaan Audi membuat Bramastyo seketika juga menghentikan langkahnya, menatap Audi dengan tatapan tidak mengerti.
"Apa maksudmu? Aku jelas kakak kesayanganmu, dan kau adalah adik kesayanganku. Bukankah itu sudah cukup jelas? Apakah kau masih meragukan kenyataan itu?" Bramastyo menatap Adelia dengan seribu satu tanda tanya dalam pikirannya. Mengapa tiba-tiba adiknya bertanya seperti itu?
Adelia tertegun. Kakak? Sejak kapan dirinya mempunyai kakak? Yang ia tahu dan yang terekam dan teringat jelas dalam pikirannya bahwa ia hanya memiliki satu adik laki-laki dan satu adik perempuan. Ia sama sekali tidak ingat jika ia pernah atau memiliki kakak laki-laki, terlebih lagi perawakan dan wajah tampan Bramastyo sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan dirinya.
"Hei!" Bramastyo setengah berteriak mencoba menarik kembali Audi dari lamunannya. "Kau ini kenapa? Apa ada seseorang yang sudah mengganggumu di sekolah?" Bramastyo mendekat ke arah Audi lalu mendudukkan tubuhnya tepat di samping Audi.
Gerakan Bram yang seperti ini membuat Audi sontak menjauh dari Bramastyo. Ia langsung menghadapkan dirinya ke arah Bramastyo lalu menjaga jarak duduk di antara mereka berdua.
Sekolah? Batin Audi menatap serius Bramastyo. Bukankah dirinya sudah lulus SMA? Audi menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengapa semua hal yang ada di sekelilingnya saat ini, sama sekali tidak sesuai dengan kenangan yang ia miliki.
"Ak-Aku... Bukannya aku sudah lulus SMA, mengapa aku bisa sekolah lagi?" gumamnya bingung, yang tanpa sadar terdengar oleh Bramastyo.
Lulus SMA? Giliran batin Bramastyo yang berperang sendiri. Sebenarnya apa yang sedang dialami adik semata wayangnya, satu-satunya gadis yang ia cintai setelah sang mama.
"Kamu itu kok akhir-akhir ini suka bicara ngawur? Sikapmu juga terkadang aneh. Hari ini suka tempe, eh besok hari sudah ganti menjadi tahu. Kamu sekarang duduk di kelas dua SMA. Bagaimana mungkin kamu sudah lulus? Jangan ngaco ya Sayang!" Bramastyo menatap lekat wajah Audi. Dadanya kembali berdesir. Mengapa setiap kali dirinya menatap wajah sang adik, ada perasaan aneh yang mulai menyelusup masuk ke dalam hatinya?
Sedangkan Audi sibuk dengan kebingungannya sendiri. Kelas dua SMA? Audi menelan ludahnya. Apakah dirinya baru saja tergelincir dalam mesin waktu doraemon?
"Maaf. Tampaknya ada yang salah di sini," ucap Audi yakin. Ya. Dirinya kini sangat yakin jika ia sedang berada di tempat yang salah.
"Salah gimana? Sekarang kamu sudah berada di tempat yang benar. Aku kakakmu dan tidak ada yang bisa merubah itu. Titik!" Bramastyo mengucap itu dengan keyakinan penuh.
"Bukan. Kamu salah. Aku- Aku bukan adikmu!" seru Audi. "Ada yang salah di sini," ucap Audi dengan rasa bingung yang terlihat jelas di wajahnya.
Bramastyo mendengus kesal. "Tidak ada yang salah di sini. Kamu adalah adikku. Jadi, berhentilah merasa bimbang dan ragu."
Audi melihat ke segala arah. Ia berharap menemukan sesuatu yang bisa ia jadikan alat untuk menegaskan jika pernyataannya bukanlah sebuah omong kosong. Pandangannya jatuh pada tumpukan album foto di sebuah rak buku yang tertata rapi di sudut kamar.
Audi mendekati rak itu dan mulai mengambil satu per satu album yang ada di rak. Ia mulai mencari-cari gambar seseorang, yang ingin ia tunjukkan pada pria yang baru saja mengaku sebagaia kakaknya.
"Apa yang sedang kau cari?" Bramastyo mendekati Audi lalu duduk di samping gadis itu.
"Foto," jawab Audi singkat tanpa memperhatikan Bramastyo sedikit pun. Jari jemarinya yang lentik alami terus saja membuka lembar demi lembar album foto berwarna ungu kebiruan.
Sejurus kemudian, jari lentik Audi berhenti tepat di sebuah foto yang menampakkan seorang anak kecil dengan rambut yang dikuncir kuda. Ia mengamati dengan seksama wajah gadis itu. Cukup lama Audi menatap gadis dalam foto itu, hingga akhirnya tangan Bramastyo terulur dan mengambil alih album foto itu.
"Sudah malam. Lebih baik kamu mandi. Pikiran yang tenang akan bisa mengurai masalah satu per satu." Bramastyo mengambil semua album foto yang sebelumnya dilihat oleh Audi.
"Tung-tunggu!" seru Audi saat Bramastyo hendak meletakkan album-album foto itu ke tempat semula. Dengan setengah berlari, Audi mengambil kembali satu album dari tangan Bramastyo. Ia membuka dengan cepat lembaran foto itu dan menghentikan gerakannya pada lembar ke delapan, lembar dengan sebuah foto gadis kecil dengan rambut ekor kudanya, yang tersenyum manis menatap kamera.
Audi mengangkat album itu, menunjukkan pada Bramastyo foto yang ia maksud. Jari telunjuknya yang lentik mengarah pada satu foto yang sejak tadi menarik perhatiannya.
Bramasto menatap foto yang ditunjuk Audi. Mengernyitkan keningnya, Bramastyo menatap gadis kecil yang tengah tersenyum dengan dua gigi ompongnya di bagian depan.
"Apa yang membuatmu bingung? Apa kamu sudah lupa siapa yang sudah membuat dua gigimu itu ompong?" Bramastyo terus menatap foto gadis kecil itu. Foto itu diambil tepat satu bulan sebelum Adelia hilang. Sejenak, Bramastyo kembali pada kejadian delapan tahun yang lalu. Kejadian menghilangnya Adelia di suatu pagi yang membuat mamanya harus berurusan dengan rumah sakit, dan mulai mengkonsumsi obat anti depresi.
"Itu-Itu gadis itu, tidak sama denganku..." ucap Audi. bergetar. Ia berharap Bramastyo bisa melihat foto itu lebih detil. Ada perbedaan mencolok antara dirinya dengan gadis kecil di foto itu dengan dirinya.
"Tsk. Kamu ini. Mengapa dengan foto sendiri saja tidak bisa membedakan," sungut Bramastyo menutup kembali album itu. Ia tidak ingin kembali mengingat kejadian buruk itu. Baginya, saat ini adalah saat ini. Tidak perlu mengingat masa lalu. Biarlah masa lalu terkubur dengan sejuta kenangan yang menyertainya. Ia sudah bertekad untuk melupakan kejadian itu, setelah dirinya berhasil menemukan Adelia. Audi yang mirip dengan Adelia.
"Bukan! Aku bukan adikmu!!" seru Audi dengan suara lebih keras. Dirinya sudah tidak tahu bagaimana lagi memberitahu pria di depannya itu. "Tolong aku! Aku bukan adikmu yang hilang. Ada yang keliru di sini," ucap Audi dengan penuh permohonan.
"Yang kamu lihat hanyalah bayangan adikmu, Adelia yang bersemayam di tubuhku. Tolong aku! Bantu aku! Ada jiwa lain yang ikut masuk ke tubuhku dan ia membuatku tampak seperti Adelia, adikmu yang hilang."
Bramastyo terkejut.
"Bantu aku sebelum roh itu kembali masuk ke dalam tubuh ini," ucap Audi lirih. Mata Audi mulai menutup perlahan. Sosok asing mulai memasuki tubuh Audi.
"Adel!!" Bramastyo berlari menangkap tubuh Audi sebelum tubuh itu jatuh menyentuh lantai.