webnovel

Kapak Melayang

Suara peluit itu terdengar sangat nyaring, sebagian mahkluk tertarik dan mengikuti arah suara itu. Jefri dan yang lain merasa terselamatkan. Mereka menghabisi mahkluk yang tersisa dari balik pagar. Setelah selesai melumpuhkan semua mahkluk itu, mereka berkumpul di halaman.

"Siapa yang meniup peluit tadi?" tanya Jefri.

"Entahlah, tapi kita terselamatkan karena peluit itu," jawab Indro dengan terengah. Terik matahari membuat kepalanya yang sudah tak berambut, terlihat sangat mengkilap. "Lebih baik berteduh dan istrihat," ujar Indro.

Mereka semua setuju, lantas berjalan sempoyongan ke teras rumah. Ada orang yang mengintip dari balik kaca, ketika terlihat oleh Indro dan yang lain, orang itu lantas menutup tirai dengan cepat.

"Hahhh!" Boni langsung merebahkan dirinya di lantai keramik. "Enaknyaaaaa!" lanjutnya dengan merentangkan tangan di lantai.

Wanita itu menyodorkan minuman ke Anya, Anya menyambutnya dengan senyum. Ia membagikan minuman ke yang lain juga, semua mengucap terima kasih yang membuat wanita itu merasa senang.

"Ahhhhhhh!" Boni mendesah kencang karena saking segarnya, setelah berkutat di bawah sinar matahari.

"Ada makanan Mbak?" tanya Boni ke wanita itu dengan hati-hati.

Wanita itu merogoh tas dan mengeluarkan temuannya bersama Anya. Sebungkus roti ukuran besar keluar, dengan berbagai macam rasa di dalamnya. Mata Boni berbinar terang, mulutnya terbuka lebar seakan ingin mengeluarkan air liur sedangkan tangannya ingin segera meraih roti itu.

"Plak!" Tangannya dipukul Jefri.

"Sama yang lain juga, jangan kamu makan sendiri!" sergah Jefri.

"Iye iye tau!" sahut Boni jengkel. Dia mengomel. "Pelit!"

"Hishhh!" timpal Jefri. Mereka memang seperti tikus dan kucing.

Roti itu diambil oleh Jefri, lantas membaginya sama rata.

"Nih, bagian kau!" Jefri memberi bagian Boni. "Udahhh, nggak usah cemberut," sergahnya.

Boni menekuk wajahnya yang masih berkeringat.

"Nggak mau nih? Ya udah." Jefri hendak memasukkan kembali roti itu ke dalam plastik, namun tangan Boni dengan cepat merebutnya.

"Dihh," ejek Jefri.

Boni mengerucutkan bibirnya dan memunggungi Jefri. Ketika tak sengaja melihat kaca jendela yang berada di teras, terlihat beberapa orang dan anak kecil yang sedang memperhatikan mereka dari dalam. Boni tertegun sejenak, lantas kembali menghadap yang lainnya dengan perlahan.

"Kayaknya kita jadi tontonan deh," lapornya.

Jefri dan yang lain menoleh, mereka mendapati orang-orang itu masih memperhatikan dengan pandangan takut dan tak suka.

"Sudah, abaikan saja. Kita tahu apa yang mereka pikirkan," saran Indro, kemudian melanjutkan memakan roti rasa coklatnya.

Anyapun tak memperdulikan mereka. Dia tahu, orang-orang itu ingin mengusir mereka karena sudah masuk ke halaman rumah tanpa izin dan membuat mahkluk itu datang. Dia makan dengan lahap roti rasa nanasnya.

"Kita akan ke mana setelah ini Om?" tanya Jefri.

Indro menelan makanannya dan menghabiskan sebotol air mineral dalam sekali tenggak.

"Ahhhhh!" desahnya lega. Dia menjawab pertanyaan Jefri sembari menutup botol. "Yang pasti bukan di sini."

Indro kemudian berjalan menuju pagar, mengintai jalan yang terlihat lengang. Di kejauhan ia melihat ada beberapa orang yang baru berubah. Lantas dia kembali menuju rombongannya.

"Gimana Yah?" tanya Anya setelah minum dari kaleng soda.

"Ada yang baru berubah, bisa dipastikan jumlahnya akan bertambah," jawab Indro.

"Kita udah nggak punya mobil," ujar Jefri dengan sedih.

Indro menatap jendela kaca yang tertutup tirai itu. Lantas menuju pintu dan mengetuknya pelan.

"Yah, mereka tidak akan membantu kita," sergah Anya.

Indro tetap mengetuk pintu dan bertanya. "Kami tak meminta bantuan, kami hanya ingin bertanya," seru Indro.

Anya dan yang lain berdiri, merasa bingung dengan apa yang dilakukan oleh Indro.

"Dok dok dok! Kami tahu kalian dengar, jadi jawab saja pertanyaan kami dari dalam," lanjut Indro.

Hening, Anya dan yang lain merasa kalau itu adalah hal yang sia-sia.

"Kami ingin tahu, di mana jalan selain jalan depan ini yang bisa menuju ke jalan perbatasan desa?" tanya Indro.

Sunyi, tak ada jawaban.

"Sud--" Anya ingin menahan bapaknya namun ada yang menyela.

"Lewat gang di samping rumah, lurus saja dan belok kanan," jawab seorang pria dari dalam rumah dengan cepat.

Indro merasa senang, dari wajahnya bisa terlihat kalau itu cukup untuknya.

"Kalau boleh, saya hanya meminta satu bantuan saja dari kalian dan tak akan kembali lagi. Apa kalian punya ban candangan? Ban mobil kami meletus. Sebagai gantinya...." Indro mengambil tas dan mengeluarkan satu ukuran besar roti dan 2 minuman kaleng.

"Om, itu persedian kita!" sergah Boni tak rela.

"Sttt!" tegur Indro cepat.

"Kami akan memberikan ini untuk kalian. Jadi tolong, berikan kami ban cadangan, karena kami tak bisa pergi tanpa ban itu," pinta Indro.

Tak ada jawaban, hening. Indro menunggu dengan sabar. Anya dan yang lain ikut berharap akan mendapatkan bantuan dari orang-orang itu. Akan tetapi, setelah menunggu cukup lama, tak ada jawaban yang terdengar. Indro menunduk pasrah, usahanya gagal.

Dia berjalan lunglai. "Ayo, kita pergi saja," ajaknya.

Anya mengelus punggung sang bapak. "Ayah sudah mencoba," ujar Anya dengan tatapan lembut.

Indro mengangguk, ketika berada di tengah halaman. Suara pintu rolling door yang berada di samping rumah, terbuka.

"Greekk!!" Dan ada sesuatu yang menggelinding berwarna hitam. Sesuatu itu menyentuh kaki Boni. "E e ya salam!" seru Boni terkejut.

Sebuah ban mobil terhenti. Mereka semua terlihat tak percaya namun menatap senang satu sama lain.

"Terima kasih!" seru mereka bersautan.

Indro mengalungkan ban itu di tubuhnya.

"Kami tinggalkan makanan di meja! Kunci pintu gerbang setelah kami pergi," pesannya setelah meminta wanita yang bertugas membawa tas itu menaruh makanan di teras, lantas pergi.

Mereka merasa sedikit bahagia, namun tetap berhati-hati ketika sudah berada di jalan kembali. Sepanjang jalan, kondisinya hampir sama. Sepi dan ada beberapa orang yang mengintip dari jendela depan.

Di pertigaan jalan, mereka menemukan beberapa mahkluk yang berada di sana. Tombak Boni sudah tak punya mata pisau, sedangkan ada 4 orang mahkluk yang akan menghambat perjalanan mereka.

"Bon, kunci salah satu dari mereka dengan tongkatmu. Setelah kami selesai, akan kami bantu," ujar Indro memberikan solusi.

Boni ragu, karena alat pertahan dirinya tak sekuat tadi.

"Ayo!" indro memberikan aba-aba untuk berada di posisi masing-masing. Sedangan wanita yang ikut dengan mereka terdiam di tempat.

Indro memerintahkan untuk menusuk bagian belakang kepala mahkluk itu dengan bahasa tubuh. Jefri dan Anya mengerti. Setelah siap mereka menusuk dengan kuat.

"JLEB! JLEB! JLEB!" Semua beres, tinggal punya Boni.

Mahkluk yang dikunci Boni dari belakang, nampak sangat agresif dan beringas. Boni kewalahan. Mahkluk itu berputar-putar hingga membuat Indro dan yang lain kesusahan dalam membantu Boni.

"Bon! Pegangi dia yang bener!" seru Jefri.

"Udahhh!!!! Tenaga mahkluk ini ... kuat sekali, aku ... udah nggak kuat!" serunya dengan mengikuti gerakan mahkluk itu yang tak mau diam.

"Bantu pegangi Jef!" titah Indro.

Jefri bingung harus memegang bagian yang mana karena mahkluk itu tak berhenti bergerak. Boni sudah kelelahan, dia terjatuh. Mahkluk itu dengan cepat ingin menerkamnya.

Jefri sudah melancarkan tombak, namun tiba-tiba sebuah kapak melayang.

"Wingg!!! JLEBBB!"

"HAH? Kapak siapa ini?"