webnovel

2. 3

Di sepanjang jalan Zidan terus diseret tanpa tahu tujuan dan maksud. Dia hanya bisa diam, karena tidak diberikan waktu untuk bicara.

"Huh kita aman," lega Cana akhirnya berhenti.

Dengan nafas tersengal-sengal Zidan mulai bertanya, "Apa yang membuat kita harus lari?"

"Zen, aku dengar kursi roda Zen." Cana berusaha untuk berbicara dengan benar.

"Zen? Sial kenapa dia juga hadir. Apa Si Lumpuh itu juga akan memasuki Dunia Yutaf."

"Entahlah." Cana memejamkan mata. "Ikut aku, ini semakin dekat untuk bertemu dengan Si Perampok itu."

"Si Perampok?" Zidan semakin tak habis pikir.

Hanya melewatkan beberapa pintu akhirnya mereka berdua sampai di tempat yang dituju. Pintu kayu yang mengkilap ini adalah tempat yang sedari tadi Cana cari, tempat di mana Si Perampok bersembunyi, tempat dimana Calix itu ada.

Tak perlu mengetoknya, pintu itu langsung di buka lalu masuk tanpa perlu mengucapkan apapun. Cana tahu hanya ada satu orang di dalam ruangan ini, walaupun bukanlah sebuah kamar, tapi ini adalah tempat di mana Calix berada untuk beristirahat dari keramaian 'Ruang Kerja'.

"Calix, kembalikan apa yang telah kau ambil." Cana tak perlu basa basi, ia langsung mendekat dan bicara ke inti.

Seorang pria yang tahu ada orang masuk, tetapi dia tidak memperdulikannya. Dengan sebatang rokok terselip di jari-jari tangan ia terus menikmati angin dan luar jendela. Bahkan rambutnya yang sedikit pajang itu kini telah di kuncir, sudah berapa lama tidak menemuinya, dia banyak berubah.

"Apa kau mendengarkan ku? Cepat kembalikan kunci gudang itu sekarang." Cana kali ini benar-benar berdiri di belakangnya.

"Minggu lalu Ibu menelponku, dia kata kau tidak pernah mengangkat panggilannya selama ini." Calix mematikan rokoknya dan kembali menutup jendela.

"Kunci gudang ku." Cana tidak terpengaruh.

"Aku juga sibuk memanggilmu tapi kau tak pernah jawab, setiap aku pulang kau tidak pernah ada, dan sekarang tiba-tiba kau datang kemari hanya karena kunci gudang menghilang." Calix berbalik dan menatap Cana. "Sampai kapan kau bermain di gudang itu, Ayah sudah tiada."

"Dia masih hidup!" potong Cana dengan lantang. "Dia hanya belum ditemukan, dia masih hidup, aku kata dia masih hidup, maka dia hidup, dia itu hidup." Kata hidup terus terulang membuat pikiran Cana semakin kacau.

"Kau gila.."

"Ya aku gila, dan orang gila itu sekarang datang untuk mengambil barang miliknya. Kembalikan kunci gudang itu." Cana tidak peduli, dia hanya ingin kunci gudang miliknya kembali.

"Punglah, sebaiknya kau luruskan kembali pikiranmu itu." Calix kembali berbalik.

Brak, bruk, semua barang di atas meja berjatuhan kebawah, Cana membalikan semua isi yang ada, semua yang ada di depannya di putar baliknya. Dia terus mencari di mana kunci itu di sembunyikan.

"Cana kau." Calix bergerak dengan cepat untuk menghentikan Cana.

Setiap langkah menghentikan Cana, Calix terus kembali di serang olah Cana. Ia menjadi kacau dengan begitu mudah, apalagi hal yang berharga miliknya hilang, itu membuatnya lebih gampang tersulut emosi. Ia terus mencari dan Calix terus berusaha menghentikan Cana untuk lebih jauh menghancurkan isi ruang kerjanya.

"Ya Cana!" bentak Calix pada akhirnya memegang kedua tangan Cana.

Cana akhirnya terdiam, akal sehatnya mulai bekerja dengan baik kembali. Suara yang menenangkan membuatnya sadar akan di mana kini ia berada. Tetapi, Cana kembali berputar, dari mana suara yang samar itu keluar.

"Anting?" gumamnya.

Yang benar saja, suara yang begitu memenangkan itu keluar dari anting panjang milik Calix, mereka berbunyi dengan indah saat Calix bergerak.

"Di mana kunci ku?" Lagi-lagi Cana menanyakan hal yang sama.

Calix mengikat kedua tangan Cana kebelakang dengan dasinya. "Gudang itu aku tutup."

"Berikan kunci itu!" Dengan kuat Cana menginjak kaki Calix yang masih terbungkus pantofel hitam yang mengkilap.

Bugh! Satu pukulan dari sebuah tongkat mendarat indah di punggung Cana. Rasanya benar-benar sakit lalu meninggalkan sensasi panas diakhir.

"Apa kau datang untuk berkelahi dengan kakakmu," ucap pria yang duduk di kursi roda.

Perawakannya tenang dan tegas, tampak dari luar sudah jelas bahwa dia adalah orang yang berilmu. Kursi roda miliknya mulai bergerak dan memutar kehadapan Cana.

"Zen?" desis Cana melihat kearah Zidan.

Tidak tahu apa yang terjadi, tapi yang jelas Zidan sudah terduduk sambil menggosok-gosok betisnya. Tampaknya dia sudah lebih dulu di serang oleh Zen.

"Cepat jelaskan apa yang terjadi." Zen menarik kerah Cana dengan ujung tongkatnya.

Cana tercekik lalu tersungkur tepat di hadapan Zen. Tongkat kayu itu terus menahan pundak Cana supaya tidak berdiri, Zen sesekali juga memukul pelan kedua pundak itu.

"Cepat jelaskan," tidak ada nada yang nyaring, Zen berkata dengan nada datarnya.

"Dia mengambil barang ku," jawab Cana mengangkat pandangannya.

Mata Zen bertemu. "Karena itu?" Tangannya mulai menggapai poni Cana yang menutupi matanya.

"Ap.."

Krek... Poni itu di potong dengan lurus dan pendek.

"Apa yang kau lakukan bangsat!" Cana merangkak mundur hingga ke kaki Calix, Headphone miliknya ikut terpental bersama.

"Seperti itu lebih terang, mata hijau itu hanya ada padamu. Bukankah itu cantik." Zen tersenyum miring sambil kembali memasukan guntingannya ke dalam jas.

Sepasang mata hijau milik Cana kini bercahaya dan membulat, hijau yang nyata, hijau muda yang begitu berkilau seperti permata. Terkadang hal seperti itu bisa saja membuat orang jatuh hati pada saat melihatnya.

"Rambut, tidak rambutku." Cana terus memegang rambutnya yang telah terpotong itu. "Apa yang kau lakukan!"

"Memotongnya," jawab Zen dengan entengnya.

"Calix cepat! Usir penasehat keluarga gila itu cepat, capat usir dia, dia akan membuatku semakin hilang akal di sini, lihatlah dia telah memotong rambutku yang berharga," oceh Cana sambil menunjuk-nunjuk Zen.

Calix menghela nafas panjang. "Sudah, kita harus turun," lerai Calix sambil memasang headphone Cana yang sempat terpental tadi.

"Calix! Kuncinya!" pekik Cana saat mendapatkan Calix langsung pergi meninggalkannya sendiri bersama Zidan dan Zen.

Zen terkekeh dan bergerak menutup pintu ruangan itu dengan rapat. Dia tersenyum dengan raut wajah ada maksud tertentu. Tongkat itu tampaknya akan bekerja kembali.

"Apa? Apa yang akan kau lakukan?" Zidan bergerak mundur bersama dengan Cana.

"Hanya menghukum kalian." Senyum Zen sudah seperti penjahat saja kali ini. "Aku dengar dari para Nona kalian mengganggunya, menghinanya, bahkan melecehkannya. Kalian berdua memang pria yang tidak terhormat."

Cana dan Zidan saling bertukar pandang. "Apa kau percaya dengan trio merah itu, mereka itu rubah, mulut gila, pembohong," bela Zidan dengan caciannya.

"Pria mencaci wanita, itu bukanlah tindakan pria terhormat." Zen semakin mendekat.

"Zidan, kau bangsat."

Pada akhirnya hanya ada pelukan persahabatan yang harus dilakukan untuk melindungi diri dari tongkat kematian itu, punggung siapa yang akan lebih kena terlebih dahulu itulah 'Kenikmatan'.