webnovel

Yara di Yanaka

Yara di Yanaka

Bagian 1. Pemakaman

Panas! Itu hal pertama yang kurasakan saat keluar dari pintu selatan Stasiun Yamanote Nippori. Kuikat rambut panjangku ke atas. Gerahnya tak terkira. Sepertinya aku salah telah memilih musim panas sebagai waktu kepindahanku ke Tokyo, Jepang. Ah, atau Papa dan Mama yang salah memilih waktu untuk bercerai. Aku menggelengkan kepala, mengusir semua ketidaknyamanan yang hampir setahun belakangan mengakrabiku.

Saat melewati pintu kaca, kepalaku menoleh ke kiri dan kanan, mencari petunjuk apapun yang bisa mengarahkanku keluar dari sini. Seharusnya Kak Yardan menjemputku, tapi dia sedang berada di prefektur Niigata untuk tugas kuliahnya, semacam magang atau apa, yang membuatku harus tinggal seorang diri di apartemennya selama tiga bulan. Namun, itu lebih baik ketimbang aku harus memilih salah satu dari dua manusia egois yang hanya memikirkan diri mereka sendiri.

Aku mengusap setitik air mata yang jatuh ke pipiku. Aku tak mau tinggal dengan Papa atau Mama. Tak akan lagi.

Kuteruskan langkah mencari huruf-huruf yang kukenal di antara barisan tulisan Jepang di semua tempat. Ugh! Apa di sini tak ada alfabet? Aku sama sekali tak mengerti bahasanya dan aku terlalu malas untuk bertanya.

Aha! Aku menyeringai senang ketika melihat poster kuning bertuliskan Yanaka di ujung koridor. Akhirnya! Semangatku bangkit lagi. Kupercepat langkah mengikuti panah petunjuk yang mengarah ke kiri sambil menyeret koper kecilku. Tak berapa lama, aku telah keluar dari stasiun.

Kupikir area ini ramai seperti bagian Tokyo lainnya. Namun, ternyata Yanaka terbilang sepi. Aku membuka buku catatan untuk melihat alamat apartemen yang diberikan Kak Yardan. Setelah mengecek buku panduan yang sempat kubeli di stasiun, aku menemukan petunjuk bahwa untuk sampai ke sana, aku harus berjalan agak jauh dari sini.

Kulihat cuaca sangat cerah. Rasanya sayang sekali untuk dilewatkan. Jadi kuputuskan untuk melihat-lihat dahulu salah satu tempat yang terkenal di sini: Yanaka Cemetery. Sebuah taman pemakaman dengan pepohonan sakura di dalamnya.

Keringat mengalir di pelipis dan punggung saat aku berjalan perlahan menjauh dari stasiun. Kutebak suhunya di atas 36 derajat celcius. Oh, astaga! Tali ranselku sampai terasa mengiris pundak. Rasanya, Jakarta saja tidak pernah sepanas ini. Namun, aku tak mau mengalah pada cuaca panas. Sambil bersenandung kecil, aku tetap menikmati pemandangan sekitar.

Jalan raya terlihat sangat lengang. Hanya satu atau dua mobil dan truk yang melintas. Selebihnya hanya beberapa penduduk lokal yang menggunakan sepeda saja. Bahkan, jalur pejalan kaki pun tidak ramai. Aku bisa santai menarik koper tanpa mengganggu orang lain.

Beberapa toko tradisional yang kulintasi terlihat sangat menarik. Aroma sedap masakan tercium saat melewati kedai makanan. Hanya saja, karena aku belum bisa berbicara dalam bahasa Jepang, kupikir sebaiknya aku mencari toko yang lebih besar. Pasti ada yang bisa berbahasa Inggris di sana. Jadi, sementara aku akan bertahan dengan air mineralku saja.

Ternyata tak butuh waktu lama dari Stasiun Nippori untuk sampai di Yanaka Cemetery. Aku berbelok dan berdecak kagum saat memasuki komplek pemakaman. Bersih sekali. Ini benar kuburan atau taman wisata? Pantas saja tempat ini sangat terkenal.

Aku berjalan perlahan memandang makam demi makam yang terlihat rapi dan apik. Berbeda dengan makam yang pernah kulihat di tempat lain, batu nisan di sini tinggi, berbentuk persegi panjang, dengan tembok pendek terbuat dari batu. Beberapa terlihat lebih megah dari yang lain. Katanya, makam yang batunya lebih tinggi dan temboknya lebih megah adalah makam seseorang yang lebih penting semasa hidupnya.

"Ini dia!" seruku ketika sampai di Cherry-blossom Avenue, sebuah jalan yang ditanami deretan pohon sakura di sepanjang sisinya. Sedikit kecewa karena sayangnya sekarang masih musim panas, tak apalah. Toh, masih banyak waktu untuk menunggu sakura berbunga. Sekarang nikmati saja dedaunan hijau pepohonan ini.

Aku menghela napas pelan dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Sebuah bangku taman yang paling jauh dari jalan raya menjadi pilihanku. Sekali lagi aku mengecek peta panduan. Untuk sampai ke 2 Chome, distrik apartemen Kak Yardan berada, aku masih harus berjalan cukup jauh. Huft ... sudahlah, duduk dulu saja sebentar.

Tak terasa hari mulai beranjak sore. Matahari tak lagi seterik tadi, pun batang-batang makam dan pepohonan mulai terlihat lebih panjang, dan perutku mulai lapar. Iya, lapar. Air mineral dalam botol yang kubawa tinggal setengahnya saja. Aku jadi teringat kedai-kedai di sepanjang jalan yang kulewati tadi, tapi tak tahu bagaimana harus bicara pada penjualnya. Sial.

+ Kalo Adek laper terus enggak bisa belinya, di apartemen Kakak udah ready mie cup banyak, kok, Dek.

Pesan dari Kak Yardan membuatku tertawa seorang diri. Kok, bisa kebetulan sekali. Aku menggelengkan kepala dengan geli. Sepertinya bukan keputusan buruk aku pindah ke sini. Kak Yardan, kan, sangat sayang padaku.

Aku baru berhenti terkekeh ketika telingaku mendengar suara tawa rendah yang mengikuti suaraku. Eh, apa aku salah dengar? Spontan aku melihat sekeliling. Tak ada siapapun di sini.

Setelah memastikan tak ada suara apa-apa, aku mengangkat bahu dan memasukkan botol air ke dalam ransel. Suara tawa itu kembali terdengar. Aku menoleh cepat ke arah suara, tapi hasilnya sama. Tak ada siapapun!

Saat diperhatikan, bayangan nisan-nisan mulai sampai ke arahku. Matahari juga sudah beranjak jingga. Bulu kudukku mulai meremang. Segera kupakai ransel dan kujulurkan tanganku untuk menarik koper. Namun, gerakanku terhenti ketika suara tawa itu terdengar lagi. Begitu rendah, dingin, dan ... dekat.

Perlahan, aku memutar tubuhku dan mendapati seorang wanita bertubuh tinggi, sangat tinggi, sedang menunduk menatapku. Rambutnya yang panjang jatuh membingkai wajahnya. Ujung helai hitamnya tergerai berantakan di atas mantel cokelat panjang. Mantel? Di musim panas?

Aku bergeming, balas menatapnya dan mendapati diriku memandangi garis-garis di ujung matanya yang berkerut aneh dan menghilang di balik masker besar dan kotor yang dikenakannya.

Kutelan ludah gugup. Saat melakukannya, wanita itu memiringkan wajah dan maju selangkah mendekatiku. Reflek, kakiku bergerak mundur. Suara decitan roda koper terdengar saat tanganku menarik benda itu bersamaku.

Aku berdeham. "G-good afternoon, ehm, M-miss?"

Alih-alih menjawab, dia memiringkan kepalanya lebih dalam. Terdengar suara berkeretak aneh saat dia melakukannya.

"Watashi wa kireidesu ka?" ujarnya parau.

Aku menggeleng cepat. "Sorry, I can't speak Japanese. Ca-can you speak English?"

Dia semakin menunduk. Wajahnya sekarang hanya sepenggalan tangan dari wajahku.

"Watashi wa ... kireidesu ka?" Suara rendahnya seolah membuat suhu udara turun beberapa derajat.

Jantungku bertalu. Dengan tangan gemetaran, kubuka ponsel pintar dan aplikasi terjemahan. Tombol transkripsi telah kutekan ketika dia kembali mengulang pertanyaan yang sama.

[Apakah aku cantik?]

Keringat dingin ganti menetes di pelipisku. Kenapa dia bertanya begitu? Aku harus menjawab apa? Saat aku kebingungan, suara geraman terdengar darinya.

"A-aku," gagapku, "Anda ... Anda-"

"Wa ... tashi wa ... kireidesu ka?" Nadanya terdengar seperti ancaman ketika kerut aneh di garis matanya semakin nyata saat matanya memelototiku.

"A-aku …." Cepat kubisikkan kata yang ingin kuterjemahkan pada ponsel, lalu kujawab wanita itu lantang. "Haik. Anata wa kirei na!"

Kakiku bagai terpaku di atas aspal. Aku sudah mengatakan bahwa dia benar cantik. Seharusnya cukup, bukan? Dari sisi maskernya, kulihat kulitnya berkeriut aneh. Dia kembali melangkah mendekatiku, satu tangannya mencengkeram pangkal lenganku.

Ketakutan menguasai tubuhku. Pikiranku berteriak untuk lari secepat aku bisa, tapi kakiku tak mampu bergerak walau cuma satu sentimeter. Dadaku kemungkinan berlubang karena jantungku berdetak sangat kencang. Sementara mataku membelalak, tak mampu mengalihkan pandang darinya yang dengan perlahan menggunakan sebelah tangannya lagi untuk membuka tali di telinganya. Dalam sekejap mata, maskernya terbuka.

Wanita itu menyeringai sangat lebar, karena mulutnya robek dari telinga kiri sampai telinga kanan. Luka mengerikan terlihat di tepian robekan itu, sementara air liur menetes bebas dari bawah gigi yang mengatup.

Suara derak kembali terdengar dari lehernya ketika dia kembali memiringkan kepala ke arah yang berlawanan.

"Watashi wa mada kireidesu ka?"

Aku tak lagi punya keinginan untuk menjawab, jadi aku cuma terpaku. Namun, saat dia mengeluarkan sebuah pisau besar dari balik mantelnya, seketika kontrol tubuhku kembali. Aku menjerit, menjerit, dan terus menjerit sekuat tenaga.

Entah kaget atau apa, tapi dia terdiam. Lalu, tanpa pikir panjang, aku menggunakan jeda itu untuk mengayunkan koperku tepat ke kepalanya. Sedetik kemudian, aku mulai berlari.

Suara jeritan mengerikan lalu terdengar darinya. Aku tak peduli. Bahkan, aku tak mau menoleh untuk mengeceknya. Tadi, aku sempat melihat kantor polisi di tepi jalan besar, jadi aku mengayunkan kakiku secepat aku mampu.

"Watashi waaa kireidesu kaaa?" Teriakannya terdengar, anehnya, sangat memilukan, saat dia ... tidak! Dia berlari kencang sembari mengacungkan pisaunya tepat di sebelahku!

"Tidaaak! Ie! Ie! Pergiii!"

Jeda sedetik saat dia mendadak mengurangi kecepatan mendengar ucapanku. Cukup untukku meningkatkan kecepatan dan berlari menerobos jalanan yang mulai gelap, memasuki kantor polisi yang terang benderang. Pintu terbanting keras di belakangku.

Napasku masih tak beraturan saat kusadari dua orang berseragam polisi sedang memandangiku kaget. Salah satunya perlahan menggerakkan tangannya ke pentungan hitam di pinggang.

Aku menggeleng cepat. "No! Erm, ie! Ko-konnichiwa!" Aku membungkukkan badanku ke arah mereka. Aku tak bisa mengambil resiko dipaksa keluar lagi dari sini. Tidak mau!

"A ... there's a ... evil. Ghost. Out there. Ghost!" paparku gugup sambil menunjuk ke luar pintu. Sial! Harusnya aku mengambil kursus bahasa Jepang dulu sebelum pindah.

Mereka melirik ke belakangku. Salah satu polisi yang lebih muda bergegas menghampiri jendela dan melihat ke luar. Aku menatapnya cemas, dia cuma menggeleng.

Ketika aku menoleh, polisi yang lain sudah membawakanku segelas air. Wajahnya terlihat aneh saat dia menepuk pundakku dan berbisik lirih.

"Kuchisake-onna ...."

* * *

Keterangan:

Watashi wa kireidesu ka = Apakah aku cantik

Haik = iya

Anata wa kirei na = kamu cantik

Watashi wa mada kireidesu ka = apakah aku masih cantik

Ie = tidak

Kuchisake-onna = wanita bermulut robek

*

Glosarium:

Kuchisake-onna adalah kisah hantu yang sudah melegenda di Jepang. Ada banyak versi mengenai hantu ini. Sebagian bilang bahwa dia terkena malpraktek saat operasi plastik. Ada juga yang mengatakan bahwa dia adalah seorang istri samurai yang berselingkuh. Suaminya marah mengetahuinya, dan merobek mulutnya dari telinga ke telinga. Setelah melakukannya, dia berkata, "Sekarang, apakah kau masih cantik?"