webnovel

Malam yang Merubah Segalanya

Bagi Salsabila, lebih baik diperlakukan dengan dingin oleh Alan ketimbang sikap hangat yang penuh pura-pura ditujukan untuknya. Bukan karena ada kecenderungan masokis, hanya saja Vanessa tidak ingin punya harapan kosong terhadap pria itu. Sudah cukup tumpukan-tumpukan kosong yang diberikan oleh Alan padanya dahulu.

Apa yang Salsabila kira madu manis dalam hubungannya ternyata tak pernah ada yang tulus dilakukan oleh pria itu untuknya. Hm … jadi apa yang sebenarnya Salsabila harus harapkan dari seorang pria bernama Alan?

Bahkan setelah malam itu, malam yang Salsabila pikir akan menjadi tolak balik hubungannya dengan Alan, nyatanya malam itu adalah kesalahan dan akan menjadi mimpi buruknya yang tak bisa dilupakan seumur hidupnya. Salsabila ingat betul malam itu, umur pernikahan mereka masih satu tahun, tergolong masih pengantin baru. Saat itu Salsabila masih terhanyut dalam mimpi ketika sebuah ketukan keras di pintu kamar yang mengagetkannya. Ketukannya keras sekali sehingga sulit diabaikan. Belum lagi racauan-racauan dibalik pintu yang terus memanggil namanya.

"Sa! Bangun, Sa!" teriak Alan dari luar pintu.

Meskipun berat, Salsabila tetap bangun dari pembaringannya untuk membuka pintu dan menanyakan apa gerangan yang pria itu inginkan sehingga menggedor-gedor pintunya di jam dua dini hari seperti ini. Saat Salsabila sudah berhasil membuka pintu, belum sempat ia menanyakan keperluan pria itu, Alan langsung menabrak tubuh Salsabila. Alan memeluk tubuh Salsabila erat sekali, hingga ia merasa tubuhnya akan remuk seketika. Kebisingan itu tentu mengundang perhatian para pekerja, mereka masih melihat keduanya dari daun pintu namun langsung pergi saat melihat Alan tengah memeluk Salsabila. Badan Salsabila mengikuti ke mana Alan bergerak, termasuk saat dia mundur, menutup pintu di belakangnya, kemudian menguncinya.

Alam bawah sadar sudah mengirimkan tanda peringatan bahaya. Tetapi semua itu belum sempat membuat Salsabila melakukan perlawanan, saat tiba-tiba Alan mencium Salsabila. Tubuh Salsabila seketika mematung saat kedua tangan Alan menangkup pipinya dan semakin memperdalam kecupannya di bibir Salsabila. Ketika sadar kalau apa yang mereka lakukan salah, Salsabila menggeliat resah. Ini bukan Alan. Kesadarannya menghilang entah ke mana, karena kalau dalam keadaan sadar, Alan tidak akan pernah melakukan hal seintim ini pada Salsabila.

Tetapi Salsabila jelas kalah tenaga, pria itu terlalu kuat untuk dilawan meskipun alkohol sedang mengambil alih kesadarannya. Ketika Salsabila berusaha menyadarkannya dengan bergerak resah dan memanggil namanya, Alan justru menjejalkan bibirnya lagi, lagi dan lagi … semakin dalam. Ini bukan lagi gesekan antara dua bibir, ini melibatkan lidah. Pria itu melumat bibir Salsabila dan mengajak lidahnya menari bersama miliknya. Runtuh sudah pertahanan Salsabila, sehingga dia ikut membalas perang bibir yang dilakukan oleh Alan.

Salsabila jelas bukan lawan imbang untuk pria yang pandai membuat lemas hanya dengan sebuah ciuman. Jadi Salsabila membiarkan Alan menguasai permainan bibir itu dan hanya mendesah pasrah. Tubuh Salsabila hanya pasrah merespon remasan dan belaian dengan gerakan sensual yang semakin merangsang tubuhnya. Astaga! Salsabila bahkan tidak tahu sejak kapan tangannya sudah bergelayut di tengkuk Alan, bibirnya yang ikut mencecap, atau apa pun yang Salsabila lakukan saat itu.

Meskipun terhanyut, Salsabila masih sadar dan tidak menolak ketika jemari Alan membuka helai demi helai pakaian yang dikenakan oleh Salsabila. Alan terlalu mabuk sehingga tidak menyadari kegugupan yang dirasakan oleh Salsabila. Dengan matanya yang sudah diselimuti nafsu, Alan kembali mencium Salsabila, membelai, menyentuh di mana pun dia inginkan. Kadang lembut, dan kadang juga berubah kasar. Hingga kemudian terjadilah. Setelah membuat Salsabila terhipnotis dengan sentuhannya, Alan masuk ke dalam diri Salsabila melakukan dimensi penyatuan badan secara utuh. Salsabila mendesis kesakitan, mengerang, dan terakhir gemetaran dalam pelukan Alan. Tidak lama pria itu pun ikut mengerang dan menarik tubuh Salsabila ke dalam pelukan yang hangat.

Hanya napas keduanya yang beradu berisik setelahnya. Salsabila pikir saat itu Alan sudah menyadari bahwa Salsabila menginginkan pria itu menjadi suami seutuhnya. Mencintai dan menerimanya dengan tulus. Tetapi mimpi itu terlalu tinggi dan kebetulan pria itu sendiri yang telah menyadarkan Salsabila dari mimpinya yang ketinggian.

"Jangan lupa seperti biasa, bangunin aku dua jam lagi, Meira!" ujar Alan sembari berguling ke samping Salsabila.

Meira? Perempuan itu?

Salsabila merasa sudut matanya basah ketika menyadari bahwa ini adalah kesalahpahaman. Alan salah mengira bahwa dirinya adalah wanita itu. Salsabila pun salah menilai Alan. Semuanya memang salah, bahkan apa yang baru saja ia lakukan ini juga adalah kesalahan.

Mabuk yang menuntun pria itu mendatangimu, Salsabila. Bukan hatinya.

Kenapa bercumbu dengan Alan tidak membuatnya juga ikut tertular mabuk oleh alkohol dari mulutnya? Kenapa hanya Salsabila sendiri yang menyadari kesalahan ini sekarang? Kalau saja Salsabila juga ikut tertular mabuk, mungkin semua ini tidak terlalu menyakiti hatinya. Setidaknya Salsabila tidak akan mengingat setiap detail yang mereka lakukan malam itu. Sampai akhir pun, Salsabila hanya akan menjadi orang ketiga antara hubungan Alan dan Meira.

****

Alan yang terus memikirkan kejadian malam terkutuk itu, membuatnya tidak bisa tenang. Dia butuh penghiburan diri, dan obat yang paling mujarab untuk ini adalah wanita itu, Meira.

Dan di sini Alan sekarang, di depan rumah yang beberapa tahun lalu ia beli dengan mengatasnamakan Meira. Ya, sekarang dia tengah berada di depan rumah wanita yang sangat dicintainya, menunggu untuk dibukakan pintu setelah menekan bel berkali-kali dengan tidak sabaran.

"Aku pikir kau sudah bahagia bersama istrimu, Mas." Itu adalah kalimat sambutan yang dilontarkan oleh Meira setelah membuka pintu.

"Kenapa kau berkata seperti itu?" tanya Alan setelah berhasil duduk di atas sofa.

Meira hanya mengedikkan bahu. "Karena kau sudah terlalu jarang mengunjungiku. Tetapi tak apa, mungkin kau sudah mulai melupakanku dan mulai mencintai istrimu, itu lebih bagus."

Alan tertawa kecut. Lebih tepatnya menertawai dirinya yang mungkin terlihat begitu konyol saat ini. Dia datang untuk mencari hiburan di sini, bukannya datang berdebat tentang siapa wanita yang ia cintai. Jelas-jelas Alan merasa terabaikan. Seolah-olah saat ini dirinya tidak begitu penting di mata wanita itu lagi.

Mengabaikan topik yang dipilih Meira, Alan mendesis pelan. "Aku menikah karena kamu, Meira." Alan kembali menatap Meira. Wanita itu menolak bersitatap dengan palingkan wajah ke sisi kanan. "Karena permintaanmu!" tegas Alan kembali. "Karena penolakanmu, sekarang statusku sudah menjadi suami orang. Kamu puas, Meira?"

Meira diam, pertanyaan Alan yang bernada pelan namun penuh aroma luka sama sekali tidak mengusik ketenangannya. Perempuan itu lebih memilih menjahit bibirnya dalam bungkam.

Alan bergeser, meniadakan spasi yang menjaraki keduanya, diraihnya tangan Meira dalam genggaman tangan dinginnya. "Semua yang kamu mau sudah aku penuhi. Bahkan setelah tiga tahun kita kembali bersama, kenapa kau baru mempertanyakan hal ini?"

Meira terus bungkam. Sepertinya sangat sulit mengeluarkan kata-kata untuk membantah pernyataan Alan yang dilontarkan.

Melihat diamnya Meira, Alan membawa tangan Meira ke dadanya. Sengaja membuat wanita itu merasakan debaran jantungnya. "Kamu bisa rasakan ini, Meira?" tanyanya. "Degup ini … masih milik kamu, Sayang. Sama sekali tidak bisa tergantikan sekalipun itu Salsabila ataupun wanita yang lainnya."

Alan memang sangat mencintai Meira. Pernikahannya dengan Salsabila pun karena permintaan Meira untuk menikah dengan wanita lainnya. Meira terlalu sering menolaknya, membuatnya sakit hati. Sehingga saat bundanya menyodorkan wanita untuk dinikahi, Alan langsung mengiyakan. Tanpa ia sadari imbas yang akan didapatkan dalam pernikahan yang dipenuhi kepalsuan dan kepura-puraan itu. Mereka hanya akan saling menyakiti satu sama lain.