webnovel

When The Heart Speaks

Lana Riversong, memutuskan pergi meninggalkan kampung halamannya, Santa Monica, demi melupakan masa lalunya dan memulai hidup yang baru di New York. Tiga tahun berlalu, Lana yang seorang mantan cheerleader NFL ini harus rela menjalani hidup barunya sebagai seorang waitress di salah satu restauran ternama di kawasan Madison Ave. Suatu hari, rekan kerja sekaligus sahabatnya yang bernama Amber mengajaknya untuk menonton konser band-band besar dunia di festival musik musim panas tahunan terbesar di New York. Mulanya Lana enggan untuk ikut, sampai akhirnya sahabatnya tersebut memohon-mohon kepadanya dan menyuapnya dengan menggratiskan tiket yang sudah dibeli olehnya. Akhirnya Lana pun setuju untuk ikut. Lana tidak pernah menduga bahwa datang ke festival musik itu akan menjadi semacam mimpi indah sekaligus mimpi buruk baginya. Karena di sana, takdir kembali mempertemukannya dengan seseorang yang menjadi penyebab utama kehancuran hidupnya di masa lalu. Di sinilah semuanya bermula. Lana dan Mike—yang sekarang sudah menjadi bintang rock terkenal—bertemu dan berbicara kembali setelah tiga tahun lamanya. Mike akhirnya meminta Lana untuk bertemu lagi dengan dirinya setelah dari festival musik itu. Dua hari kemudian, mereka berjalan-jalan di kota New York seraya membicarakan masa lalu. Menguak apa yang tidak pernah diketahui keduanya selama ini. Mike yang mengungkap alasan sebenarnya mengapa dirinya memutuskan Lana, dan Lana yang menjelaskan mengapa dirinya berhenti dari karir pemandu sorak profesionalnya. Semua itu mengejutkan keduanya. tapi masalah kian rumit setelah seseorang yang tidak terduga muncul, belum lagi bocornya pemberitaan mengenai mereka berdua yang terendus media. Menjadikan Lana dan Mike harus kembali menghadapi rintangan untuk bersatu. Akankah mereka bisa benar-benar bersatu kembali pada akhirnya? Atau, apakah Lana lebih memilih merelakan masa lalu dan menyambut masa depannya?

Irma Rose · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
39 Chs

Chapter 4

Pada awal masa sekolahku di SMP, aku bukan anak yang terbilang populer di sekolah. Aku hanya anak rata-rata yang tidak pernah melakukan tindakan spektakuler. Namun, aku pun bukan termasuk anak culun atau kutu buku, karena aku memiliki banyak teman dan mengikuti program gymnastic, yang mana di sekolah tersebut adalah program paling favorit. Kadang kala aku pun melakukan hal-hal yang melanggar aturan seperti; merokok, menindik pusarku, dan kenakalan-kenakalan lainnya. Tapi di dalam lingkungan sekolah, aku adalah anak yang berkelakuan baik dan mengikuti semua peraturan.

Image-ku sebagai anak yang tidak terlihat dan biasa-biasa saja, berakhir ketika aku memasuki kelas 8.

Saat itu siang hari di kelas Mr. Bertolet, aku merasa bosan dengan ocehannya tentang salah satu puisi karya E. E. Cummings. Ketika aku diam-diam mengetik pesan untuk temanku Cassandra di ponselku mengenai apa yang akan kami lakukan di akhir pekan, tiba-tiba sebuah gulungan kertas mendarat di atas mejaku. Awalnya aku tidak menghiraukannya, aku meneruskan saja mengetik. Akan tetapi, ketika ada suara berisik dari arah belakangku, aku langsung tahu siapa yang melakukannya. Akhirnya kubuka gulungan kertas itu dan mendapati tulisan ceker ayam yang mengatakan kalau aku pecundang dari keluarga miskin dan ibuku pelacur.

Brittany, si cewek populer yang mengandalkan kekayaan orang tuanya sebagai alat untuk menindas orang-orang, menatapku dengan tatapan menantang lalu melakukan gerakan potong leher. Dia masuk program yang sama denganku, perhatiannya teralih kepadaku karena aku selalu mendapatkan pujian dari para pelatih. Dia merasa tersaingi. Dari sanalah awalnya aku menjadi sasaran penindasannya.

Selama beberapa bulan aku tidak pernah menggubrisnya, namun ketika gulungan kertas mendarat di atas mejaku pada siang hari itu, aku tidak terima. Kesabaranku habis.

Dengan tangan gemetar karena marah, kutulis balasan untuknya, menantangnya untuk bertemu denganku di halaman belakang sekolah sehabis jam pelajaran selesai. Lalu melemparkan gulungan kertas kembali kepadanya. Kedua mata kami bertemu, dan kali ini akulah yang melakukan gerakan potong leher untuknya.

Setelah bel berbunyi, di atas tanah kering halaman sekolah, kami menjatuhkan tas masing-masing dan berdiri berhadapan-hadapan. Kami saling tatap penuh kebencian sembari mengukur keberanian satu sama lain, menantang siapa yang akan menarik pelatuk terlebih dulu. Tanpa berkata-kata kami pun saling serang, saling melayangkan tinju, cakaran, tendangan. Aku tidak pernah berkelahi selama hidupku, tapi kala itu aku seakan sudah terlatih melakukan hal tersebut.

Dikarenakan kegiatan kami yang terlalu berisik dan menarik perhatian, sebagian besar anak-anak pun menonton pertunjukan yang kami lakukan. Mulanya hanya beberapa orang kemudian kerumunan menjadi semakin besar dan tak terkendali. Bukannya melerai, mereka malah menyemangati kami. Karena kerumunan itu pula lah yang pada akhirnya mendatangkan staff security sekolah dan para guru.

Ketika mereka memisahkan kami berdua, aku baru sadar betapa parahnya luka-luka yang kusebabkan pada tubuh Brittany. Kedua matanya lebam, bibirnya robek, ada memar di kaki dan lengannya, dia pun tidak bisa berdiri karena pinggangnya sakit akibat tendangan dariku. Dia menangis seperti anak anjing yang terluka. Aku ketakutan tapi perasaan bangga akan diriku sendiri lebih mendominasi. Akhirnya, hanya aku seorang diri yang digiring ke kantor kepala sekolah, karena Brittany terlalu pengecut untuk menghadapi hukuman.

Selama berjalan menuju ruangan kepala sekolah, dengan perasaan takut, aku bertanya-tanya dalam hati; apa yang akan terjadi, apakah aku akan dikeluarkan dari sekolah, seberat apa hukumanku, apa mereka akan memberitahu ibuku, apa yang akan Mom katakan jika dia tahu aku berkelahi, apa Mom akan kecewa kepadaku. Beribu macam pertanyaan berkecamuk di dalam kepalaku. Tapi aku tidak menangis maupun lari. Aku berhasil menghadapi semua itu.

Sama halnya dengan apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Ketika si kru bertampang sangar itu menggiringku dan Amber menuju ke arah backstage—di mana segala jenis perlengkapan band ada di sana, bermacam pertanyaan muncul di dalam pikiranku. Aku pun merasa takut dan gugup. Namun ketakutanku tidak sama seperti yang kurasakan ketika aku kelas 8 dulu. Ketakutan yang ini lebih besar berkali-kali lipat dibandingkan pada waktu itu. Namun kali ini ada semacam dorongan yang membuatku ingin dibawa kemari. Ada sesuatu yang membuatku seperti menemukan jalan atas apa yang kuharapkan selama ini.

Aku berusaha untuk mengalihkan pikiranku kepada hal lain. Sementara kedua kakiku bergerak mengikuti si kru yang entah akan membawa kami ke mana, kulihat ke sekitar.

Backstage, di mana kesibukan sebenarnya terjadi. Kau tidak akan menyangka betapa brutalnya keadaan di belakang panggung ketimbang di depan sana. Semua orang; dari panitia sampai petugas keamanan berseliweran ke sana kemari, bekerja tanpa henti dari sebelum sampai sesudah acara. Keadaan ini juga kadang membuatku kembali mengingat masa lalu, saat aku masih mendapatkan tempatku di backstage bersama mereka.

"Kita mau dibawa ke mana sih?" tanya Amber yang sedari tadi bergelayut pada lengan kananku.

Dia juga memperhatikan sekitar. Walaupun dia sedang bingung namun ada rasa senang yang kulihat dari pancaran matanya.

"Seingatku, kita tidak berbuat kesalahan, kan?" ucapnya lagi.

Kami melintasi lapangan luas berumput yang di seberangnya berjejer tenda-tenda yang setahuku menjadi tempat tinggal sementara untuk para personel band.

"Kita akan segera tahu apa yang terjadi," jawabku ragu-ragu.

Sebenarnya aku belum tahu apa tepatnya, tapi aku pun tidak mau sok tahu. Aku takut dengan apa yang kupikiran, nyatanya bukan itu yang sebenarnya terjadi. Tapi entah mengapa aku memiliki keyakinan bahwa apa yang kupikirkan, mungkin itulah yang benar-benar akan terjadi.

Si kru membawa kami ke salah satu tenda semi permanen itu, lalu kami bertiga memasukinya. Kami berada di sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat dua buah sofa dan di seberangnya ada televisi, di sisi dinding berjajar lemari-lemari bongkar pasang.

Si kru berbalik kepada kami. "Kalian tunggu di sini, aku akan memberitahu seseorang."

Setelah berkata demikian, dia pun menghilang ke lorong di sudut kiri ruangan.

Amber menghempaskan diri ke sofa. "Aku masih bingung, mengapa kita dibawa kemari?" katanya sambil menelusuri ruangan dengan kedua matanya.

Aku gelisah dan sangat gugup, sampai aku tidak bisa duduk. Aku berjalan bolak-balik di hadapan Amber untuk menurunkan rasa gugup dan gelisahku.

"Kau tahu, tadi sepanjang kita berjalan kemari, aku membayangkan sesuatu. Aku berharap dibawanya kita oleh si pria botak galak itu ke sini untuk bertemu salah satu band," katanya lagi, kali ini nadanya ceria.

Aku menghembuskan napas kencang.

Asumsi Amber sama persis seperti apa yang sedang aku pikirkan. Kalaupun benar, bagiku ini akan menjadi semacam urusan pribadi. Bukan urusan antara idola dan penggemar. Bukan pula bagi-bagi tanda tangan dan merchandise. Aku tidak menjawab.

"Seandainya apa yang kubayangkan benar, menurutmu siapa yang akan muncul untuk kita temui?"

Aku malas untuk meladeni pertanyaan dari Amber, kurasa kali ini bukan saat yang tepat untuk bermain tebak-tebakkan. Karena bagiku jawabannya sudah jelas. Aku menyadari bahwa, di sini Amber adalah satu-satunya orang yang sama sekali tidak tahu apa pun. Wajar saja dia berkata begitu. Tapi aku benar-benar tidak bisa berpikir hal lain kecuali rasa gelisahku akan menghadapinya. Apa yang akan kukatakan kepadanya nanti.

"Tapi, apakah kita berdua seistimewa itu sampai dibawa kemari hanya untuk bertemu dengan mereka? bahkan tiket yang kubeli bukan tiket platinum," lanjutnya.

"Aku hanya berharap sesuatu yang buruk tidak akan menimpa kita berdua malam ini." Setelah mendesah beberapa kali, dia pun berhenti berbicara dan hanya duduk diam di sofa.

Ya, aku juga berharap hal yang buruk tidak akan terjadi, terutama untukku.

Derapan langkah kaki terdengar dari ujung lorong, suaranya mengarah ke tempat kami berada. Jantungku mulai berdebar kencang. Aku menahan napas. Dia akan muncul, batinku. Akan tetapi, ketika sosok tinggi besar yang muncul dari lorong, otomatis kubuang napas yang sedari tadi kutahan. Lega sekaligus kecewa.

Si kru yang membawa kami kemari berkata. "Kau yang masuk, temanmu menunggu di sini!"

Amber menatapku, dahinya mengeryit seraya mengatakan 'apa!' tanpa bersuara. Sebenarnya aku ingin ditemani Amber, tapi di satu sisi aku merasa lega Amber tidak ikut bersamaku.

"Kau tidak apa-apa aku tinggal sebentar?" aku bertanya untuk memastikan kalau Amber tidak keberatan.

Dengan ragu-ragu dia mengangguk. Kemudian tatapannya mengarah ke si kru.

"Dia agak takut olehmu, jadi bisakah dia dibiarkan sendiri saja?" aku bertanya kepada si pria. Dia agak terkejut mendengarku, tapi kemudian menganggukkan kepalanya.

Setelah aku dituntun olehnya ke tempat tujuan dan berakhir di salah satu pintu tertutup di hadapanku, si kru pun berbalik pergi meninggalkanku sendiri. Sekarang aku hanya menatap pintu tertutup berwarna putih di depanku. Pintu yang akan membawaku ke berbagai macam kemungkinan.

Kemungkinan terburuk atau kemungkinan terbaik, aku tidak tahu. Aku pun tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang akan kuhadapi yang bersembunyi di balik pintu ini. Tapi ini seperti kejadian di kelas 8, aku tidak boleh lari. Aku harus menghadapinya.

Kuketuk pintu itu dengan ragu-ragu. Kupejamkan mataku seraya menajamkan indera pendengaran.

Tak lama berselang suara itu terdengar.

"Masuk!"

Dan firasatku pun terbukti benar.

Kubuka kembali kedua mataku, dan dengan satu tarikan napas panjang kuputar handle pintu, kemudian membukanya perlahan.

Dia sedang berdiri di sana.

Kami saling bertatapan selama beberapa saat. Aku sempat tidak mempercayai ini. Tapi inilah yang sedang terjadi.

Ketika aku tak kunjung bergerak dan hanya berdiri membeku di ambang pintu, akhirnya dia yang menghampiriku.

Michael Soga berdiri tepat di hadapanku sekarang, jaraknya hanya sebatas lengan. Dia terlihat tampan, rasanya seperti dahulu kala ketika pertama kali aku menyadari betapa tampan dirinya. Tidak banyak perubahan yang terjadi padanya setelah tiga tahun lamanya kami berpisah. Janggut itu, piercing di kedua telinganya, kulit tubuhnya yang kecokelatan karena terbakar matahari. Semua masih sama. Namun, seiring waktu yang telah hilang di antara kami berdua, dia terlihat lebih dewasa. Mungkin aku terlihat seperti itu juga di matanya. Aku tidak tahu.

Besar doronganku untuk memeluk tubuh kekarnya (yang sekarang tampak lebih kekar), membelai wajahnya, mengecup bibirnya. Tapi aku menyadari, bahwa keistimewaan itu telah terenggut dariku. Aku tidak memiliki izin dan wewenang kali ini. Sekarang, kami hanya sebatas teman lama yang bertemu kembali.

Aku bisa memastikan, pada saat aku menatapnya, ada kerinduan yang sama denganku tersirat di wajahnya. Tapi aku tidak mau harapanku melambung tinggi. Karena aku tahu bagaimana rasanya terjatuh dari ketinggian. Maka kusimpan saja untuk diriku sendiri.

Dia tersenyum.

"Hai," katanya. Kali ini dengan bersuara.