webnovel

When The Heart Speaks

Lana Riversong, memutuskan pergi meninggalkan kampung halamannya, Santa Monica, demi melupakan masa lalunya dan memulai hidup yang baru di New York. Tiga tahun berlalu, Lana yang seorang mantan cheerleader NFL ini harus rela menjalani hidup barunya sebagai seorang waitress di salah satu restauran ternama di kawasan Madison Ave. Suatu hari, rekan kerja sekaligus sahabatnya yang bernama Amber mengajaknya untuk menonton konser band-band besar dunia di festival musik musim panas tahunan terbesar di New York. Mulanya Lana enggan untuk ikut, sampai akhirnya sahabatnya tersebut memohon-mohon kepadanya dan menyuapnya dengan menggratiskan tiket yang sudah dibeli olehnya. Akhirnya Lana pun setuju untuk ikut. Lana tidak pernah menduga bahwa datang ke festival musik itu akan menjadi semacam mimpi indah sekaligus mimpi buruk baginya. Karena di sana, takdir kembali mempertemukannya dengan seseorang yang menjadi penyebab utama kehancuran hidupnya di masa lalu. Di sinilah semuanya bermula. Lana dan Mike—yang sekarang sudah menjadi bintang rock terkenal—bertemu dan berbicara kembali setelah tiga tahun lamanya. Mike akhirnya meminta Lana untuk bertemu lagi dengan dirinya setelah dari festival musik itu. Dua hari kemudian, mereka berjalan-jalan di kota New York seraya membicarakan masa lalu. Menguak apa yang tidak pernah diketahui keduanya selama ini. Mike yang mengungkap alasan sebenarnya mengapa dirinya memutuskan Lana, dan Lana yang menjelaskan mengapa dirinya berhenti dari karir pemandu sorak profesionalnya. Semua itu mengejutkan keduanya. tapi masalah kian rumit setelah seseorang yang tidak terduga muncul, belum lagi bocornya pemberitaan mengenai mereka berdua yang terendus media. Menjadikan Lana dan Mike harus kembali menghadapi rintangan untuk bersatu. Akankah mereka bisa benar-benar bersatu kembali pada akhirnya? Atau, apakah Lana lebih memilih merelakan masa lalu dan menyambut masa depannya?

Irma Rose · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
39 Chs

Chapter 17

Ketegangan yang berlangsung di antara kami berdua perlahan melonggar. Kali ini Mike dan aku membicarakan seputar makanan. Mike sungguh menikmati makan malamnya di sini, enchiladas yang dia pesan ludes tak bersisa di piringnya. Dia berkata akan mampir ke tempat ini kembali jika dirinya sedang berada di New York.

Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya.

Mike memesan lagi carlota, sedangkan aku tenggelam ke dalam wine. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang, pikirku. Maka dari itu aku membutuhkan dorongan untuk membuatku setidaknya merasa sedikit lebih ringan menghadapi ini semua—menghadapi keberadaannya kembali.

Setelah kami menyelesaikan makan malam dengan rukun dan damai, akhirnya Guadalupe datang menghampiri kami lagi. Dan langsung memberondong Mike dengan pertanyaan mengenai semua hidangan yang telah disantapnya. Mike memuji Lupe dengan tulus, yang mengakibatkan wanita itu tersipu-sipu senang. Dia pun berjanji kepada Lupe akan mampir kemari lagi. Lupe pun memekik bahagia.

Setelah selesai, Mike dan aku berdebat siapa yang akan membayar makan malam kami. Mike mempertahankan diri kalau dialah yang akan membayar, begitu pula dengan diriku. Ini adalah kebiasaan kami sewaktu masih berpacaran dulu yang terulang kembali. Tapi kali ini rasanya berbeda dari waktu itu. Karena sekarang, ada sebagian dari harga diriku yang terluka turut ikut serta.

"Kau bercanda, kan? Mana mungkin aku akan membiarkanmu membayar. Aku yang mengajakmu pergi keluar. Jadi semuanya dariku," katanya, sambil mengeluarkan dompet dari saku belakang celana jeans hitamnya dan mulai membayar.

"Kau pikir aku tidak mampu membayar ini semua? Jangan mengasihaniku," gerutuku, jelas harga diriku yang berbicara kali ini.

Aku terhenyak oleh omonganku sendiri. Begitu pula dengan Mike, karena dia langsung menaikkan kedua alisnya kepadaku.

Yang ada di dalam benakku saat ini adalah, sekarang dia sudah menjadi seorang rock star terkenal dan memiliki kekayaan yang tidak terhitung. Sedangkan aku, hanya seorang waitress yang mungkin dia pikir aku tidak memiliki banyak uang.

Aku tahu aku bertingkah seperti anak kecil. Tapi aku benar-benar tidak bisa menahan diri.

Dia menatapku sejenak, kemudian membuang napas. "Bukan begitu maksudku. Tapi Lana, aku ingin membayarnya. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan apa pun. Percayalah," katanya seakan bisa membaca pikiranku. Lalu dia tersenyum.

"Terserahlah," dengusku.

Lalu Mike menunjukkan wajah cemberut yang dibuat-buat kepadaku, sementara aku hanya bisa memutar bola mataku. Melihatnya bertingkah seperti itu membuat hatiku tiba-tiba bergetar. Mike yang suka menggoda, masih seperti dulu. Aku senang.

Tanpa sadar kami berdua pun terkikih geli. Apa sebenarnya yang sedang kami lakukan ini?

Guadalupe memeluk kami berdua saat kami berpamitan kepadanya. Dia mengingatkan Mike untuk datang kembali secepatnya. Ini lucu, karena Lupe belum juga mengetahui siapa itu Mike. Aku membayangkan dia akan mengalami serangan syok mendadak ketika Lupe mengetahui tentangnya. Mungkin Pedro yang akan memberitahunya, yang kurasa kemungkinan pemuda itu mendengarkan Infinty Dusk jauh lebih besar. Aku berani bertaruh, Pedro pasti tahu siapa Mike jika dia melihatnya.

Guadalupe mengedipkan sebelah matanya kepadaku ketika kami sudah berada di ambang pintu keluar. Aku tidak tahu apa maksudnya.

Mike memakai topi dan kacamata hitamnya kembali ketika kami berdua sudah berada di luar cafe. Aku menengadahkan kepala, melihat ke arah langit yang sekarang sudah sepenuhnya gelap di atas sana.

Dengan helaan napas panjang kami pun membaur dengan para pejalan kaki. Berjalan mengikuti arus kesibukkan kota New York. Aku tidak tahu akan ke mana tujuan kami selanjutnya. Karena aku benar-benar tidak mempunyai perencanaan yang pasti, selain tempat pertemuan kami tadi. Dan café Mexico, itu pun tanpa sengaja terlintas begitu saja di dalam kepalaku tepat ketika Mike menyebutkan makan malam.

"So.." kataku memulai percakapan.

Dari semenjak kami meninggalkan cafe milik Guadalupe, Mike terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Dia diam saja dan itu membuatku merasa khawatir.

Setelah beberapa saat dia terdiam, akhirnya dia berbicara. "Bagaimana kabar ibumu?" tanyanya tanpa terduga.

Aku menoleh kepadanya. "Oh, Mom dalam keadaan baik."

Pada kenyataannya, Mom berbicara dengan Mike di telepon tanpa sepengetahuanku seminggu setelah kepulanganku dari Los Angeles waktu itu—seminggu setelah dia memutuskanku. Mom merahasiakan itu dariku sampai pada saat ketika aku sedang mengepak pakaianku untuk kepergianku ke New York. Sebenarnya aku sudah menduganya dari ucapan Zoe kala dia memberitahuku kalau Mike menghubunginya.

Aku tidak terkejut ketika Mom berkata, "sebenarnya Mike berbicara denganku di telepon dan menanyakan bagaimana kabarmu." Aku hanya membuang wajahku darinya sambil mendengus.

Hubungan Mike dan ibuku terbilang sangat dekat. Mike dan aku berpacaran ketika kami berdua masih sama-sama duduk di kelas 11. Setiap hari Mike selalu berada di rumahku dari kami pulang sekolah sampai selesai makan malam. Bisa dibilang sebenarnya dia tinggal di rumahku, karena dia juga cukup sering tidur di sana ketimbang di rumahnya sendiri. Mom senang dengan keberadaan Mike di rumah kami, sampai Mom memberinya tempat khusus untuknya di sofa ruang tengah. Meskipun Mike selalu berakhir di tempat tidurku, tapi dia akan mengendap-endap kembali ke sofa sebelum Mom terbangun di pagi hari. Bagi Mom, Salah satu keuntungan kehadiran Mike di rumahku adalah dia tidak perlu repot-repot lagi memaksaku untuk belajar. Kau tahu, aku benci sekali belajar dan mengerjakan tugas sekolah. Tapi dengan adanya Mike, setidaknya aku memiliki semangat untuk mengerjakan hal tersebut dan itu membuat Mom bahagia luar biasa. Walaupun sebenarnya kami menghabiskan sebagian besar waktu dengan bercumbu dan sesekali bercinta di sela-sela belajar atau mengerjakan tugas sekolah. Tapi kurasa meski pada waktu itu Mom mengetahui apa sebenarnya yang sedang kami lakukan, dia tidak akan keberatan, sebab Mom sungguh menyukai Mike. Karena baginya, "Mike itu lelaki tampan yang sopan dan pintar, dia itu sosok calon suami ideal," katanya suatu ketika. Dan bagian terpentingnya ialah, dia telah membuat anak perempuannya yang keras kepala ini jatuh cinta dan merasakan kebahagiaan.

Meskipun pada akhirnya membuatnya hancur.

Mike menganggukkan kepalanya. "Aku merindukannya. Oh! Dan aku pun rindu Zoe." Lalu dia terkekeh.

Mike juga cukup dekat dengan adikku satu-satunya itu. Bila kami pergi ke pantai bersama, Dia selalu menemani Zoe bermain sepak bola, sementara aku menari bersama Cassandra.

Hanya Mike yang bisa membuat Zoe tertawa terbahak-bahak. Adikku itu memang anak yang agak aneh. Dia tidak mudah akrab dengan siapa pun, termasuk denganku. Dia sangat pemalu sampai kadang aku kesal dibuatnya. Kalau dia memiliki sedikit saja kepercayaan diri, mungkin dia bisa lebih daripada diriku. Zoe mempunyai banyak sekali potensi untuk menjadi cewek populer. Aku tahu dia dikagumi banyak lelaki, hanya saja Zoe lebih memilih sepak bola dan mengunci diri di dalam kamarnya dengan menguburkan kepalanya ke dalam kanvas dan cat air. Tapi aku bangga kepadanya, karena pada akhirnya Zoe bisa berkuliah di universitas impiannya di Pasadena, mengambil jurusan desain visual dan bekerja paruh waktu sebagai graphic designer.

"Mengapa? Karena sudah lama tidak berbicara lagi dengan mereka?" sindirku, aku benar-benar tidak bisa menyingkirkan sisi sinis dari diriku kepadanya malam ini.

Mike berhenti terkekeh seketika, meskipun aku tidak bisa melihat kedua matanya dikarenakan dia mengenakan kacamata hitam, namun aku yakin ada rasa bersalah di sana.

"Aku hanya tidak ingin membuat keadaan menjadi lebih buruk," jelasnya dengan suara yang begitu pelan.

"Oh wow! Buruk bagiku atau buruk bagimu?" tukasku.

Mike mendesah lelah, "Lana."

Dia berhenti berjalan seraya meraih lenganku untuk ikut menepi bersamanya ke pinggir trotoar. Kemudian dia melepas kacamata hitamnya. Lalu Menatapku tepat di kedua mata.

"Oke! kuakui. Aku tidak mau membuat keadaan menjadi tambah buruk, bagiku," jelasnya.

Aku menatapnya dengan bibir terkatup rapat, menahan rasa marah yang kembali membuncah di dadaku.

"Aku tahu, aku sungguh egois. Karena kurasa pada saat itu menghindari mereka juga adalah satu-satunya pilihan yang kupunya. Andai kau tahu bagaimana rasanya, aku menyiksa dan menyalahkan diriku sendiri karena hal ini," lanjutnya dengan suara bergetar.

Berbagai macam emosi terpancar dari kedua matanya. Mike benar-benar terlihat payah. Dia bisa saja menangis di hadapanku sekarang juga.

Walaupun ini menyakitkan tapi kuterima kejujurannya. Melihatnya tersiksa begini sedikitnya sudah mengobati rasa marahku kepadanya. Hari ini setidaknya dia telah membuktikan keraguanku selama tiga tahun ini, bahwa ternyata dia tidak acuh tak acuh mengenai kami. Aku cukup puas, well... setidaknya untuk sekarang.

"Maafkan aku, sekali lagi maafkan aku. Aku sungguh menyesal dengan semua yang telah kulakukan terhadapmu," suara Mike tidak lebih dari bisikkan.

Dia menunduk menatap kedua kakinya dan melanjutkan, "meskipun aku tahu, ucapan maaf tidak mungkin bernilai sebanding dengan apa yang telah kulakukan."

Lagi-lagi, amarah dan rasa kesalku menguap begitu saja.

Ingin sekali tangan ini menyentuh dan menghapus kerutan di antara kedua alisnya itu. Membelai wajahnya dan mengecup bibirnya, menenangkannya. Seperti kebiasaanku dulu setiap kali Mike dan band-nya akan naik ke atas panggung. Aku selalu mengecup bibirnya terlebih dahulu, untuk mengenyahkan rasa gugupnya. Namun kali ini aku tidak bisa melakukannya.

Melihatnya seperti ini malah terasa lebih menyakitkan dibandingkan beberapa saat yang lalu.

"Baiklah.." cicitku, tenggorokanku terasa kering sekali.

Aku berdeham. "Akan aku sampaikan kepada Mom dan Zoe kalau kau merindukan mereka," kataku, berusaha mengakhiri penderitaannya.

Sesungguhnya aku pun tidak merasa nyaman jika kami tidak akur seperti ini. Namun, kurangnya kontrol diri yang ada padaku terkadang suka lepas kendali sehingga semua kesakitanku yang terpendam selama tiga tahun ini meledak secara tiba-tiba. Kali ini aku akan berusaha untuk berdamai dengan diriku.

Mike mengalihkan pandangannya dari sepatu kepadaku, sehingga kami bisa saling menatap. Aku lega karena Mike tidak lagi tampak tersiksa seperti sebelumnya, meski sekarang dia menatapku dengan tatapan penuh kekhawatiran dan gugup. Mungkin dia sedang menunggu reaksiku selanjutnya; apakah aku akan melemparkan kesakit-hatianku ke hadapannya lagi atau memberinya simpati. Percayalah aku ingin melakukan keduanya sekaligus.

Namun, akhirnya aku bisa berdamai dengan sisi gelap diriku dan memberinya senyuman.

Ekpresi wajahnya berubah dengan segera, Mike terlihat seakan terbebas dari eksekusi mati. Lega luar biasa.

Lalu dia menghela napas panjang, "terima kasih."

Setelah itu, kami pun melanjutkan pengelanaan tanpa tujuan ini, menyusuri blok demi blok di kawasan Manhattan.

Mike menoleh ke arahku setelah beberapa saat kami terdiam. "Kau selalu berkomunikasi dengan mereka? You know, ibumu dan Zoe?" tanya Mike.

"Yep! Hampir tiap hari. Kau tahu bagaimana ibuku. Dia tidak akan begitu saja membiarkanku. Mom akan kelimpungan kalau aku lupa mengiriminya pesan singkat atau lupa menelepon."

Mike mengangguk-anggukkan kepala sembari terkekeh. "Ya, aku paham," ujarnya.

Aku menatapnya sejenak, Mike sedang tersenyum-senyum sendiri. Seketika aku jadi teringat ketika Mike dan aku baru saja jadian. Kira-kira tiga hari setelah Mike menciumku dan menyatakan cintanya padaku di ruang tamu rumahku itu, Mom berbicara panjang lebar kembali mengenai alat kontrasepsi dan tetek bengek seputar seks kepadaku sepanjang malam. Padahal aku sudah tidak membutuhkan penjelasannya lagi. Aku sudah kehilangan ke-naif-anku di usia 14 tahun, dan merahasiakannya dari semenjak itu. Aku agak bersalah kepadanya karena selama dua tahun lamanya, Mom masih menganggapku sebagai gadis polos yang belum pernah disentuh oleh siapa pun. Padahal jikalau Mom mengetahui kalau Jay—tetangga kami yang mahasiswa hukum—lah yang merenggut kepolosanku, aku yakin Mom akan membunuhnya. Namun aku pun ragu apakah Mom benar-benar tidak mengetahuinya atau berpura-pura supaya aku mengakuinya. Sampai detik ini, Aku tidak pernah tahu.

Mom juga memberikan wejangan dan ribuan pertanyaan kepada Mike setelah Mom mengetahui kalau kami berpacaran. Mom bertanya tentang seluk beluk keluarganya, riwayat kesehatan Mike dan lain sebagainya. Sama seperti yang selalu Mom lakukan kepada para mantan kekasihku. Mom juga menyuruhku untuk membujuk Mike supaya memeriksakan kesehatannya, dan hal tersebut membuatku kesal. Namun, setelah Mom mengetahui bahwa Mike dan aku belum melakukan hubungan seks selama hampir dua bulan berpacaran, Mom kemudian memutuskan kalau Mike adalah lelaki favoritnya. Dan langsung memintaku untuk mempertahankan hubungan kami sampai jenjang pernikahan. Yang sekarang hanya tinggal harapan kosong bagi Mom. Dan bagiku?

Sepertinya Mike sedang mengingat kenangan itu juga. Karena dia berkata, "aku ingat ketika aku datang ke rumahmu setelah… kita berpacaran. Ibumu dengan segera mewawancaraiku."

Dia tertawa. "Aku pikir kau tidak dibesarkan di keluarga penganut Straight Edge atau semacamnya," candanya, dan tawanya semakin keras.

Aku menyikut perutnya. "Dasar kau!" sergahku.

"Well, tapi begitulah ibuku. Dia memang cocok jadi Straight Edge." Aku pun ikut tertawa terbahak-bahak bersamanya.

Kami berdua tertawa di tengah-tengah keramaian dan kesibukkan kota New York. Ini memang membingungkan, beberapa menit yang lalu aku marah kepadanya dan Mike hampir menangis. Tapi sekarang, kami tertawa terbahak-bahak.

Lihat kami Mom, tiga tahun kemudian kami bertemu kembali dan menertawakanmu. Tidak pernah kusangka akan seperti ini jadinya. Aku memikirkan apa yang akan Mom katakan jika aku memberitahukannya nanti. Dia pasti tersedak. Aku yakin itu.

Beberapa saat kemudian, aku menghentikan tawaku. Dan Mike menyadari apa yang sedang kami lakukan, karena kemudian dia pun menghentikan tawanya.

Kuakui aku merasa senang.

Mike berdeham. "Dan bagaimana dengan Zoe?"

"Zoe, tetaplah Zoe. Dia akan lulus tahun depan dari universitas."

"Apa kau akan menghadiri acara kelulusannya?" tanyanya lagi.

Aku mengulur waktu sejenak dengan mengarahkan kami berdua ke 5th Ave, dan berbelok ke 47th St. Tidak terasa kami berjalan sudah sejauh ini.

"Aku tidak tahu," jawabku singkat.

Mike mengerutkan keningnya. "Mengapa?"

"Aku belum merencanakannya," jawabku sembari mengedikkan bahu.

"Apa maksudmu?" tanyanya, bingung.

Kuhela napas panjang terlebih dulu sebelum menjawab. "Aku belum menginjakkan kakiku kembali ke California."

Mike tidak merespon jawabanku. Dia membisu. Aku tidak berani melihat ke arahnya, karena aku takut hilang kendali lagi.

"Mengapa kau tidak pernah pulang?" kurasa aku mendengarnya berbicara.

Dengan ragu aku berpaling kepadanya dan mendapati Mike sedang menatapku, alisnya bertautan sementara menungguku menjawab.

Kualihkan tatapanku darinya ke gedung-gedung pencakar langit yang sekarang seolah-olah mengepungku, mengintimidasiku.

"Aku belum sanggup menghadapi apa pun yang ada di sana," kutekan gumpalan besar yang berada di tenggorokanku. "Aku belum siap menghadapi kenangan masa lalu.”

"Meski kau sekarang ada di sini. Kita bertemu secara tidak sengaja. Bercakap-cakap lagi. Ini di luar dari dugaanku. Aku masih belum bisa mempercayainya. Aku seperti sedang berjalan dalam tidur," jelasku dari lubuk hati yang paling dalam.

Dari semenjak aku bertemu dengannya di festival musik itu sampai pada detik ini, aku masih belum sepenuhnya percaya. Apakah semua ini nyata atau aku sedang bermimpi, dan terlalu terlena sehingga aku lupa bangun.

"Ini nyata, Lana," desahnya. "Aku pun merasakan hal yang sama. Dan kalau pun ini semua hanyalah mimpi....well, aku berharap aku tidak pernah terbangun lagi."

Mike tidak melihatku ketika berkata demikian. Pandangannya tertuju ke depan.

Hatiku seperti diremas-remas mendengarnya berkata begitu. Sebisa mungkin kutahan air mataku yang seketika menuntut untuk keluar.

Ya tuhan, aku memang masih mencintai pria ini.

Kami berjalan dalam diam kembali, sampai kami tiba di 6th Ave. Sejauh ini Mike masih dalam keadaan aman, keberadaannya tidak diketahui orang-orang. Walaupun banyak yang melirik beberapa kali ke arahnya.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" Mike memecah keheningan di antara kami.

Aku mengangguk, "tentu."

"Mengapa kau berhenti dari karir pemandu sorakmu, Lana?" dia menatapku dengan bimbang.

Namun setelah itu dia melanjutkan, "Aku ingin sekali mengetahuinya."

Aku menghentikan langkahku, lalu menghadap kepadanya. Mike mengikutiku. Kami berdiri saling berhadapan dan menatap satu sama lain di jalanan ramai 6th Ave, menghiraukan para pejalan kaki yang lalu lalang di sekitar kami.

"Kau sungguh ingin tahu, Mike?" tanyaku, menatap kedua bola mata berwarna cokelat itu.

Pada awalnya Mike mengangguk dengan agak ragu, akan tetapi dia mengangguk dengan yakin kemudian.