"Serius, Tony. Siapa gadis kecil itu?" wajah Vanesha tampak serius kali ini.
"Aku bisa jelaskan, ok? Kebetulan dia sudah tidur," Tony mengajaknya keluar dari kamar, menuju ke ruang keluarga.
Tony sempat mengambil nafas sebelum menjelaskannya.
"Gadis kecil itu, namanya Anastasia. Baru kemarin aku merawatnya,"
"Merawatnya? Seperti seekor kucing? Ayolah lebih spesifik lagi, Tony, itu anak orang..."
"Aku memiliki surat hak asuhnya, seseorang memasrahkanku untuk merawatnya." potong Tony untuk meredam emosinya.
"Semudah itu kah?!" tanya Vanesha tegas.
"Anak itu disiksa oleh ibunya sendiri, Sha," jawab Tony.
Keributan mereka pun membangunkan Anastasia dan keluar dari kamarnya.
"Tony? Ada apa?" sambil menggosok matanya.
Kemudian menghampiri Tony dan memeluk tangannya.
"Ok, kalian juga terlihat sudah mengenal satu sama lain," Vanesha menyipitkan matanya, seolah semakin curiga.
Tony pun akhirnya mencoba menenangkan Vanesha, menjelaskan semuanya dari awal sampai akhir. Namun sebelum itu, ia menyuruh Anastasia untuk mandi karena hari sudah menjelang sore.
"Aku kira dia gadis kecil yang tertabrak mobil beberapa hari yang lalu," ujar Vanesha.
"Bukan, ternyata itu gadis kecil lainnya, dia berada di dalam rumahnya saat itu." balas Tony tenang, karena Vanesha sudah mengetahui semuanya.
"Pantas saja kau segera keluar, berlari menuju tempat kejadian itu, kau sangat mengkhawatirkannya,"
"Begitulah, entahlah, saat aku melihatnya, ia mengingatkanku dengan Cassie," ujar Tony tertunduk.
Kemudian Vanesha melihat Anastasia yang sudah selesai mandi, namun rambutnya masih terlihat berantakan.
"Ya, kau benar, dia terlihat mirip dengan Cassie," bisik Vanesha, lalu menghampiri Anastasia.
"Hei, gadis manis, namaku Vanesha," ucap Vanesha lembut dan ramah.
"Namaku Anastasia," balasnya dengan senyum manis.
"Nama yang indah untuk gadis cantik dan manis sepertimu, tapi, tunggu dulu, sepertinya ada yang kurang, rambutmu berantakan, biarkan aku menyisirnya, ya?"
Anastasia mengangguk dengan senang hati.
Mereka berdua langsung akrab saat itu juga. Memang sebetulnya Vanesha adalah sosok wanita yang lembut dan ramah, hanya saja saat ia emosi cukup menakutkan dan terlihat tegas. Itulah Vanesha.
"Mengapa kau baru menceritakan semua ini padaku? Tentang Anastasia?" tanya Vanesha saat Anastasia sedang bermain boneka di depan televisi.
"Maafkan aku, aku tidak sempat menghubungimu, karena pada saat itu aku menyiapkan segalanya untuk Ana, membawa barang-barangnya, membereskan semua sepulangnya dari rumah sakit," jelas Tony.
Vanesha pun memakluminya. Lalu memandang Anastasia kembali.
"Gadis yang malang. Anak sekecil dia tahu apa? Sungguh tega sekali ibunya," Vanesha menghela nafas.
"Entahlah, padahal anak itu penurut, tidak pernah berbuat nakal sekali pun, selama bersamaku,"
***
Seminggu kemudian, Jonathan mengunjungi rumah Tony. Bahkan Anastasia juga menyambutnya dengan baik dan ramah, sangat berbeda dari sebelumnya.
Jonathan juga sangat senang bertemu dengannya yang tampak sedikit lebih gemuk dari saat terakhir ia bertemu. Anastasia juga mencium punggung tangan Jonathan saat menyambut kedatangannya.
"Apa kabar, Jon?" sambut Tony sambil memeluknya.
"Anggap saja baik, Tony, bagaimana denganmu?" balasnya.
"Baik, juga, mengapa harus beranggap?" Tony terkekeh.
"Haha, kau tahu lah bagaimana kehidupanku, rumit,"
Lalu Tony mengajaknya ke belakang rumah yang terdapat kolam renang. Saling mengobrol disana.
"Ngomong-ngomong, terima kasih sudah merawat Ana dengan baik, Tony. Aku sangat salut padamu, lihatlah perbedaan anak itu, sungguh luar biasa," sambil meminum jamuan dari Tony.
"Syukurlah, Jon, terima kasih," balas Tony santai.
"Tapi, ada sedikit masalah seminggu yang lalu," tiba-tiba Tony merubah topiknya.
"Masalah apa itu?" Jonathan menoleh ke arah Tony.
"Tiba-tiba saja ia mengingat ibunya. Lalu di saat aku bertanya apakah ia merindukannya, ia tidak menjawabnya, ia malah menangis, padahal aku sama sekali tidak mengekangnya untuk menemui ibunya, aku malah mengijinkannya,"
"Kasihan anak itu, sebetulnya ia sedang berada di posisi yang sangat sulit, tapi ia hanyalah gadis kecil," jelas Jonathan.
"Wajar saja jika ia merindukan ibunya, karena bagaimana pun juga, Christine adalah ibunya. Meskipun anak itu disiksa habis-habisan olehnya, ia tetaplah ibunya. Hanya saja Ana merasakan dua hal, merindukannya tapi takut menemuinya karena trauma yang ia alami," lanjut Jonathan.
Tony menghela nafasnya dengan berat, karena hanya masalah itu yang teramat sulit baginya. Lalu melanjutkan perbincangannya.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?"
"Tunggu saja, Tony. Biarkan dia sendiri yang memutuskannya." jawab Jonathan.
"Aku hanya tidak bisa melihatnya menangis seperti itu, Jon." ujar Tony tertunduk.
"Maka jangan lagi, buatlah dia bahagia seperti anak-anak lainnya." balas Jonathan tersenyum.
Lalu Tony mengangkat gelas minumannya untuk mengajaknya bersulang.
"Untuk Anastasia."
"Untuk Anastasia." turut Jonathan, dan mereka berdua pun bersulang.
***
Tak terasa malam hari pun tiba, saatnya Tony mengantar Anastasia tidur di kamarnya. Seperti biasanya, Tony selalu meninggalkannya begitu saja setelah ucapan selamat malam.
"Tony?" sahut Anastasia membuat langkah Tony terhenti.
"Ya, Ana?"
"Apa yang biasanya kau lakukan pada Cassie sebelum dia tidur?"
Pertanyaan polos darinya itu sedikit membuatnya sedih, namun bagaimana lagi? Tidak ada yang bisa ia lakukan selain membuatnya bahagia seperti anak-anak lainnya. Dan hal itu sudah menjadi prinsipnya sekarang.
"Aku selalu membacakannya sebuah dongeng," Tony pun kembali masuk ke kamarnya.
Diambil lah sebuah buku bergambar dari rak meja belajar yang berjudul Red Riding Hood.
"Red Riding Hood?"
"Ya, ini cerita favoritnya dulu, kau pernah mendengarnya?" Tony pun mengambil tempat di sebelah Anastasia.
"Belum, bagus kah?" tanya Anastasia penasaran.
"Bagus sih, menurutnya, tapi menurutku itu cerita yang cukup mengerikan, aku heran mengapa cerita itu di buat dongeng untuk anak-anak?"
Anastasia menatap Tony seolah bosan dengan celotehannya tentang cerita itu.
"Ba...iklah, aku ceritakan padamu sekarang, ya, hehe," ujar Tony gugup terhadap pandangan bosannya.
Setelah Tony menceritakan dongeng itu, Anastasia tetap tak kunjung tidur. Ia heran saat gadis kecil itu masih terjaga dengan kedua mata coklatnya yang masih segar.
"Ok, kenapa kau belum tidur juga?"
"Aku belum ngantuk," jawab Anastasia sambil tertawa kecil.
"Kau sengaja melakukan ini, kan?"
Anastasia malah menutup mulutnya sambil meledek Tony.
"Dasar gadis pintar," Tony pun menggelitiknya hingga Anastasia tertawa terpingkal.
"Hentikan, Tony, aku tidak tahan!"
Lalu Tony menghentikannya.
"Besok aku ada jadwal kuliah, Ana, kau harus tahu itu, nona kecil," Tony mulai mengeluh.
"Ya ya, aku tahu, Tony," balas Anastasia yang masih menertawainya.
"Terima kasih dan selamat malam, Ana," melambaikan tangannya dengan senyum terpaksa.
"Tony tidak ikhlas mengucapkannya, aku tahu itu,"
Tony mendengus kesal lalu kembali berbalik arah padanya.
"Baiklah, aku ulangi lagi. Selamat malam, Ana," ucapnya dengan senyuman sumringah di hadapannya.
Lalu Anastasia mengecup pipinya, Tony pun mengerutkan dahinya.
"Selamat malam, Tony," ucap lembut Anastasia, lalu kembali ke ranjangnya.
Tony tersenyum hangat dibuatnya. Ia mulai merasa Anastasia sangat mirip dengan Cassie, yang dahulu selalu mengecup pipinya sebelum ia pergi tidur.
"Selamat malam, Ana," balasnya kemudian, lalu keluar dari kamarnya.
***
Keesokan paginya, Tony mengajak Anastasia untuk lari pagi bersamanya. Saat mereka melewati rumah Anastasia, di pagar yang dulunya membatasi mereka kini terdapat tulisan "Dijual".
"Apa?" Tony sangat terkejut melihat tulisan tersebut.
Untuk meyakinkannya, ia sampai mendekati pagar yang terkunci dengan gembok itu. Ternyata benar, rumah itu telah dijual.
"Tony? Mengapa rumah ibu dijual?" tanya Anastasia cemas.
"Aku juga tidak tahu, Ana," jawab Tony yang masih heran.