webnovel

Bab 21

"Eh, maksudmu, kau di sana bersaing dengan seseorang lalu kau tak senang maka kau melarikan diri?" tanya Kevin lagi masih terus memojokkan Revan.

Revan yang kesal merasa emosinya sedang berada di level yang tinggi. Padahal niatnya adalah membantu Kevin yang sebenarnya bingung dengan keputusannya ingin pindah sekolah.

Revan menghela napas mencoba menghilangkan kekesalannya.

"Aku disekolahkan di sana oleh ayahku. Karena hubungan kami kurang baik aku memutuskan pindah dari sekolah itu."

Kevin sudah bercerita tentang sedikit kehidupannya. Mungkin tak masalah jika Revan mengatakan sedikit juga tentang kehidupannya.

Diana dan Kevin diam setelah Revan menjawab. Tak mengira akan mendengar sesuatu yang pribadi dari seorang Revan.

"Apa kau serius?" Diana bertanya khawatir.

"Kau menceritakan ini, apa kau tidak takut aku bisa saja menggunakan rahasiamu seenaknya dan bisa menjadi sesuatu yang merugikanmu?" tanya Kevin.

"Bukankah kau juga?" Revan balik bertanya.

"Ini berbeda, aku terpaksa bercerita padamu karena kau tak mau pergi dari samping Diana. Sedangkan kau, kau sendiri yang mau mengatakan itu," jawab Kevin.

Revan membalas. "Aku juga terpaksa karena kau terlalu cerewet dan penasaran."

"Hei!" Kevin tak terima.

Diana menghela napasnya dan menyahut, "Apa pun masalah yang terjadi, kalian hanya perlu bersikap bijaksana. Jika masih ragu, bertanyalah pada orang lain yang dekat dengan kalian, mereka juga harus tahu," ucap Diana.

Kevin termenung mendengar itu. Ia juga belum bertanya pada adik-adiknya di panti asuhan.

"Jadi Kevin, apa kau benar-benar ingin pindah sekolah? Aku tahu kau sebenarnya bingung." Diana menatap Kevin.

Ternyata Diana tahu itu juga, batin Revan.

"Kau sebenarnya masih ingin bersekolah di sekolah kita. Jangan buat keputusan yang bisa membuatmu menyesal," kata Diana.

Kevin menarik napas. "Kau benar. Aku masih ingin di sekolah kita yang sekarang."

Diana mengangguk penuh kepedulian.

"Aku akan memikirkan ini lagi."

Diana lega mendengar itu. "Jangan paksakan dirimu."

"Oh ya, Revan saat kau berada di sana apakah kau termasuk murid yang menonjol dalam kecerdasan? Kau kan peringkat pertama," tanya Kevin.

Sebenarnya Revan menonjol dalam kecerdasan dan kekayaan. Tapi Revan menjawab, "Ya." Tanpa ingin pamer jika ia juga menonjol dalam kekayaan keluarganya.

*****

Selama liburan Diana menghabiskan waktunya bekerja. Hanya sebagian besar, sih. Diana masih bisa meluangkan waktu untuk bersantai saat di pagi hari hingga sore pada hari-hari awal liburan.

Ia sudah berencana mengajak Kevin dan Revan menemaninya selama liburan. Tapi yang bisa menemaninya hanyalah Revan.

Kevin tak bisa dihubungi dan tidak berada di rumahnya. Diana dan Revan pernah beberapa kali datang ke rumahnya tapi selalu Kevin sedang tak ada di rumah.

Diana mulai curiga sesuatu terjadi pada Kevin. Entah kenapa Diana merasa itu perhubungan dengan masalah Kevin tentang pindah sekolah.

"Diana, ayo kemari. Ada Revan datang ke sini." David berseru.

"Ah, iya. Aku datang!" Diana segera keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ruang tamu.

"Apa kau akan keluar jalan-jalan lagi?" Tanya David begitu berpapasan dengan Diana yang mau menuju ruang tamu.

"Bukannya kau yang menyuruhku melakukan ini?" Diana balas bertanya.

"Oke baiklah. Kau mengatakan seolah-olah aku memaksamu. Ini adalah saranku yang luar biasa. Kau jangan merasa terpaksa dan kau harus bersenang-senang dengan temanmu." David tersenyum antusias membuatnya tampak dalam mood yang baik.

"Kau sepertinya senang aku pergi. Kau tidak kesepian 'kan, karena aku tinggalkan sendirian di rumah," kata Diana melihat ekspresi David justru tak seperti kebanyakan orang yang ditinggalkan sendirian saat berlibur.

Selama ini, mereka selalu menghabiskan liburan bersama. Namun kali ini David menyuruhnya menghabiskan liburan bersama temannya.

David begitu bersemangat ketika tahu Diana berteman dengan Revan. Diana juga akhirnya mengakui Kevin sebagai temannya. David tahu ia butuh teman. Bahkan David tidak keberatan jika temannya adalah laki-laki yaitu Kevin dan Revan.

David percaya pada mereka berdua.

"Tentu saja tidak. Banyak hal yang aku bisa kerjakan di rumah. Lagipula jika aku mau, aku bisa keluar rumah untuk pergi ke suatu tempat." David menjawab dengan senyum lebar.

"Ya sudah." Diana melanjutkan langkahnya menuju ke ruang tamu.

Diana menemukan Revan duduk di sofa.

Diana buka suara, "Hei, apa kau tidak keberatan aku mengajakmu lagi?"

"Kau sudah menanyakan itu saat berkirim pesan semalam. Dan aku juga sudah menjawabnya." Revan menaikkan alisnya sebelah.

Perkataan Revan sendiri membuat dirinya sendiri merasa aneh. Selama ini Revan tak pernah berkirim pesan pada seorang gadis.

Apa lagi saat malam hari. Itu terkesan seperti pasangan kekasih saja. Dan ia sudah melakukannya beberapa hari terakhir sejak liburan dimulai.

Lupakan, itu hal wajar untuk sesama teman. Hanya teman. Begitu Revan menenangkan dirinya.

"Yah, hanya memastikan saja." Diana tertawa kecil sambil menggaruk pipinya.

"Lagi. Kau juga melakukannya selama tiga hari berturut-turut," balas Revan.

Diana mengajak Revan sejak tiga hari yang lalu dan sekarang hari keempat.

Hanya saja hari pertama Diana hanya bertanya 'Hei, apa kau tidak keberatan aku mengajakmu?' tanpa kata 'lagi'.

Diana juga tidak mengatakan 'Yah, hanya memastikan saja.' pada hari pertama karena Revan hanya menerima pertanyaan Diana tanpa protes dan menjawabnya.

Lalu selanjutnya seperti inilah dia memulai pembicaraannya dengan Revan berkali-kali. Seolah mereka mengulangi hal yang sama saat bertemu.

"Oke. Aku akan jujur. Sebenarnya aku selalu bingung saat memulai percakapan seperti ini. Haruskah aku berkata 'Halo bagaimana kabarmu?' atau 'Akhirnya kau datang!' atau 'Aku sudah menunggumu, aku tahu kau akan datang' atau 'Bagaimana perjalananmu saat ke sini?'..."

Diana mulai mengoceh tentang bagaimana orang memulai percakapan pada umumnya.

Tapi Revan segera memotongnya, "Tidak usah. Itu aneh."

Semua itu adalah hal yang biasa dikatakan orang. Tidak ada yang aneh. Hanya saja rasanya tak cocok dipakai Diana untuk berbicara dengan Revan. Hingga Revan merasa tidak perlu seperti itu.

"Entah kenapa aku juga merasakan hal yang sama. Jadi kurasa ini lebih baik." Diana merasa lucu sendiri.

"Yeah. Tapi lama-lama apa kau tidak bosan?" tanya Revan.

"Apa kau merasa jengkel mendengar kalimat yang sama terus?" Diana balik bertanya.

"Tidak."

"Lalu kenapa? Aku tidak bosan. Walau kau bilang tidak, aku tahu kau keberatan, katakan saja kalau kau jengkel mendengarnya." Diana membalas.

"Kau tahu, aku bukan orang yang cerewet." Revan bermaksud tidak menjawab pertanyaan itu dan tidak mau membalas ucapan Diana.

Jika kau memang pendiam maka dari awal kau tak usah bicara saja, ucap Diana hati. Ia mendengus geli.

*****

"Kau mau ke sini?" tanya Revan sembari melihat taman hiburan di hadapannya.

Benar. Mereka berdua sudah pergi ke bioskop pada hari pertama, pergi ke aquarium raksasa pada hari kedua, dan pergi ke game center pada hari ketiga yaitu kemarin.

Sekarang mereka pergi ke taman hiburan. Tentu saja semuanya adalah ide Diana. Diana adalah orang normal seperti kebanyakan orang yang pergi ke tempat seperti ini pada umumnya saat liburan.

Namun itu tidak berlaku bagi Revan. Selama ini Revan jarang pergi ke tempat seperti itu. Ia sangat tak nyaman pergi ke tempat yang ramai seperti ini.

Tapi kemudian Diana mengajaknya menghabiskan waktu liburan dengannya. Revan tak bisa menolak jika Diana ingin mengunjungi tempat seperti ini.

Dan itu sudah terjadi sejak ia menemani Diana tiga hari yang lalu. Sejak ia memutuskan mengiyakan ajakan Diana untuk menghabiskan liburan bersama.

Hanya saja liburan itu hanya berlangsung selama setengah hari, karena Diana bekerja pada malam harinya.

"Ayo, kita masuk sekarang." Diana berkata dengan penuh semangat.

Diana berjalan lebih dulu lalu diikuti oleh Revan setelahnya.

*****

Terimakasih sudah membaca ceritaku ini. Tinggalkan jejak komentar ya dan follow akun penulisnya juga ;)

Dwi_Nacreators' thoughts