Semakin banyak lilitan yang terbuka, denyut jantungnya terus berdetak kencang. Keringat dingin ikut mengalir dari wajahnya. Tangannya terasa gemetar sesaat, tetapi dia berusaha untuk tetap tenang dan terus melanjutkan membuka lilitan perban. Lima menit kemudian, semua perban yang tadinya menutupi luka itu akhirnya terbuka. Akan tetapi, Anastasia tidak merasakan hal yang aneh dari lukanya.
Aku merasa semuanya baik-baik saja, apakah itu hanya perasaanku saja yah.
Dia memicingkan matanya, berusaha untuk melihat lebih dekat lukanya. Tidak ada yang aneh dari lukanya dan tampaknya masih sama dari sebelumnya. Ukuran dan bentuknya juga masih sama seperti sebelumnya.
Aneh, tapi aku tadi merasakan sakit di sekitar sini.
Anastasia menghela napas dan memasang kembali lilitan perban di kakinya. Pikirannnya belakangan ini hanya terus memikirkan mengenai cairan yang ke luar dari bekas lukanya.
Ah, sudahlah. Aku merasa terlalu banyak memikirkan hal -hal aneh membuatku menjadi paranoid.
Anastasia menggelengkan kepalanya. Dia berusaha melupakan itu semua dan kembali bekerja. Beberapa lama kemudian, semuanya telah jauh lebih baik dari sebelumnya. Lantai sudah tidak berdebu, pegangan tangga yang mengkilap, jendela yang sudah berdebu membuat Anastasia setidaknya bisa bernapas lega.
"Untunglah, kita menyelesaikan ini sebelum waktunya," ucapnya sambil melirik ke arah satu-satunya jam dinding yang berada di rumah ini. "Ok, anak-anak sekarang kita tinggal …."
Suara pintu terdengar diikuti dengan beberapa langkah orang masuk. Bianca dan madam Nigera tampaknya telah selesai membeli bahan makanan yang dibutuhkan. Mereka berdua bergegas ke dapur dan mulai mempersiapkan semuanya.
"Anastasia, apakah kamu telah membersihkan semua tempat ini?"
"Iya, Madam. Kami semua telah membersihkan tempat ini," ucap Anastasia mengangguk.
"Madam, aku akan membawa bahan ini terlebih dahulu ke dapur." Bianca terlihat berlari membawa sebuah kantongan hitam yang terlihat cukup berat.
"Bi, biarkan aku membantumu," ucapnya sambil membantu Bianca membawa kantongan tersebut.
Anastasia dan Bianca lalu berjalan ke dapur dan meletakkan kantongan itu. Mereka lalu mempersiapkan peralatan masak dan bahan-bahan yang dibutuhkan. Beberapa menit kemudian, madam Nigera masuk ke dalam dapur dan mulai memasak.
"Anastasia, Bianca kalian sebaiknya kembali ke kamar kalian dan mempersiapkan diri," ucap Madam Nigera sambil mengaduk sup yang berada di panci besar.
"Baik, Madam," sahut mereka serentak.
Mereka berdua segera kembali ke kamar masing-masing dan bersiap untuk menyambut kedatangan tamu istimewa tersebut. Anastasia kembali membuka lemari pakaian miliknya. Selembar gaun berwarna cokelat muda pemberian donatur dulu tampaknya masih tersimpan di dalam. Akan tetapi, warnanya telah kusam dan agak berdebu. Tangannya dengan cepat mengambil satu-satunya yang masih tergantung rapi di dalam lemari tua itu.
"Ok, aku rasa penampilanku cukup bagus." Anastasia memutar badannya ke kiri dan kanan. "Eh tunggu sebentar, sepertinya aku melihat sesuaru di pakaianku." Dia berhenti berputar dan melihat di bagian lengan bajunya benangnya sudah mulai terlihat dan terdapat lubang kecil di sana.
Anastasia mengambil jarum pentul dan benang yang terletak tidak jauh dari kasurnya. Untungnya, warna benang tersebut hampir mirip dengan warna baju. Tangannya dengan cepat menjahit bagian yang sobek hingga terbentuk jahitan yang sempurna.
"Ok, sekarang jauh lebih sempurna," kata Anastasia sambil memutar badannya di depan cermin untuk memastikan tidak ada sobekan yang terlewat.
"Anas, kamu sudah selesai belum?" teriakan Bianca terdengar dari luar ruangan diikuti dengan ketukan pintu.
"Iya Bi, tunggu sebentar." Anastasia berjalan ke arah pintu kamar miliknya dan membukanya.
"Eh Anas, kita harus cepat anak-anak yang lain sudah berkumpul di bawah," ucap Bianca menarik pergelangan tangan Anastasia.
Mereka berdua berjalan menuruni anak tangga. Wajah mereka sangat bahagia diikuti dengan senyum yang tidak pudar sedikit pun. Rasanya sangat senang bisa menggunakan pakaian yang bagus ini walau hanya untuk hari ini.
Anastasia dan Bianca akhirnya berkumpul bersama anak-anak. Mereka semua berdiri dengan tegap dan menunggu kedatangan keluarga itu di depan pintu. Tidak lama kemudian, suara pintu terdengar dan terlihat madam Theresa bersama dengan sepasang suami istri masuk ke dalam.
"Anak-anak perkenalkan mereka adalah Tuan dan Nyonya Zwalinski," ucapnya dengan penuh bahagia.
"Kami sangat senang dengan kehadiran Anda berdua," ucap Madam Nigera lalu mengantar mereka ke ruang makan. "Silahkan, ikuti saya. Makanan malam telah kami sediakan untuk Anda."
Kedua pasangan suami istri itu berjalan mengikuti madam Nigera dari belakang. Semua anak-anak tersenyum melihat kehadiran mereka. Madam Nigera lalu mempersilahkan Tuan dan Nyonya Zwalinski untuk duduk dan jamuan malam sederhan dimulai.
"Tuan dan nyonya Zwalinski, kami semua sangat senang ingin berkunjung ke tempat yang sederhana ini," ucap madam Theresa dengan suara rendah.
"Kami juga senang bisa bertemu dengan anak-anak ini." Nyonya Zwalinski melihat setiap wajah anak-anak panti. "Aku tiba-tiba jadi teringat dengan putraku di rumah," ucapnya sambil menyeruput sup buatan madan Nigera. "Astaga, sup ini sangat enak. Aku sangat menyukai rasanya." Wajah Nyonya Zwalinski tersenyum menikmati setiap sendok sup yang masuk ke dalam kerongkongannya.
"Oh, bukan. Anakku pemalu sehingga tidak terlalu terbiasa bertemu dengan banyak orang," ucap tuan Zwalinski menyela pembicaraan.
Tuan dan Nyonya Zwalinski mengatakan bahwa alasan mereka ke sini karena ingin bertemu dengan seseorang. Mereka mendapatkan pesan dari anaknya bahwa ada salah seorang anak panti yang telah membantunya.
"Iya, kami di panti asuhan ini selalu mengajarkan kepada setiap anak-anak untuk membantu dan peduli sesama." Madam Theresa dengan bangga mengatakan hal itu.
"Tuan dan Nyonya kalau boleh kami tahu, siapa nama anak panti yang membantu anakmu?" ucap Madam Nigera menyela ucapan.
Nyonya Zwalinski memutar bola matanya sambil mengetuk permukaan meja menggunakan jemarinya. Beberapa menit kemudian, dia menjentikkan jarinya diikuti dengan pupil mata yang membesar.
"Aku ingat sekarang. Namanya Tasia," ucap nyonya Zwalinski dengan penuh percaya diri.
Tuan Zwalinski mengenggam erat tangan istirnya dan menatap mata istrinya. "Sayang, namanya Anastasia. Kamu salah mengucapkannya."
"Oh, iya aku salah. Nama anak itu Anastasia."
Seketika suasana menjadi hening. Anastasia terdiam sejenak. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa anak yang ditolongnya waktu itu merupakan anak dari pasangan ini. Madam Theresa yang sedang asyik menyeruput tiba-tiba terdiam. Dia mengerutkan alisnya mendengar nama Anastasia disebut.
"Nyonya Zwalinski, apa kamu tidak salah menyebutkan nama itu?"
Nyonya Zwalinski dengan cepat menggelengkan kepala. "Aku yakin telah menyebut namanya dengan benar, iya kan sayang?" Mata Nyonya Zwalinski melihat ke arah suaminya.
"Iya, kami sangat yakin akan hal itu." Wajah Tuan Zwalinski. "Apakah ada yang salah dengan nama itu?" tanya Tuan Zwalinski dengan mengerutkan alisnya.
"Maaf kan atas perkataan Madam Theresa. Dia hanya kaget saja mendengar nama itu." Madam Nigera berusaha menjelaskan maksud madam Theresa. "Ada seorang anak bernama Anastasia, tapi …."
"Nigera, biarkan aku yang berbicara," ucap Madam Theresa menyela ucapan Nigera.
Madam Theresa lalu menjelaskan bahwa Anastasia merupakan anak yang suka melawan dan jahat. Dia mengatakan Anastasia selalu membantah setiap omongan dan bersikap tidak kasar kepadanya.
"Anak itu tidak pantas untuk mendapatkan pujian karena dia hanya beban."
Ucapan Madam Theresa membuat semuanya terdiam. Suasana seketika hening. Anastasia yang mendengar perkataan itu hanya bisa terdiam dan menangis di dalam hati.
"Apakah aku seburuk itu?"