webnovel

Pertemuan

Pilihan yang sulit bagi Arya, ia sungguh menyayangkan mengapa baru sekarang wanita itu mengajaknya pergi makan siang bersama. Kenapa tidak dari tadi? Maka ia tak akan menerima telepon dari sang ibu yang memintanya untuk datang menemani wanita paruh baya itu bertemu dengan temannya. Juga bertemu dengan anak temannya, di mana ia sudah menduga ujung-ujungnya akan membicarakan soal perjodohan.

Arya mendesah pelan, ia tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan.

"Maaf, Andine. Saya tidak bisa ikut kalian, kebetulan ada keperluan mendadak dan saya harus segera pergi ke sana," jelas pria itu kemudian. "Titip salam pada yang lain," sambungnya.

Andine mengangguk mengerti, masih dengan selarik senyum tipis di bibir kemerahan miliknya. "Baik, Pak. Tidak apa-apa. Nanti saya akan sampaikan kepada yang lain."

Arya mengangguk, kemudian dengan berat hati harus melangkah pergi dari sana, bersamaan dengan perasaan tak nyaman, juga sedikit penyesalan. Ia menghela napas panjang dan berjalan lurus ke depan, tanpa berniat kembali menoleh ke belakang.

Langkahnya tegas, dengan tatapan penuh ke depan. Arya sudah berjanji akan menemui sang ibu, maka ia harus melakukannya demi menyenangkan wanita yang disayanginya itu.

Setibanya di area parkiran, Arya segera masuk ke dalam mobilnya dan bergegas menuju restoran tempat sang ibu menunggu. Arya melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang di atas jalan raya yang padat.

Mobil berbelok ke sebuah restoran yang kebetulan tidak terlalu ramai didatangi para pengunjung, Arya menginjak rem dan memarkirkan kendaraan roda empatnya di area parkiran. Pria itu sejenak mengecek chat WhatsApp-nya dengan sang ibu, demi memastikan kembali bahwa ia sudah tepat berada di restoran yang dimaksud oleh wanita itu.

"Udah bener ini restonya," gumamnya pelan, sebelum akhirnya membuka pintu mobil dan berjalan masuk ke dalam.

Lelaki dengan badan tegap itu melangkah sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut tempat, sampai akhirnya ia pun menyadari sosok sang ibunda yang sedang melambaikan tangan ke arahnya dari kejauhan. Sesuai apa yang wanita itu sampaikan, bahwa dirinya sudah bersama dengan dua orang wanita yang tak lain adalah Tante Devi dan anak gadisnya bernama Tania. Arya pun melangkah menuju ke sana.

Seulas senyum merekah sempurna di bibir Naumi, wanita paruh baya berusia lima puluhan yang masih terlihat cantik dan terawat di usianya yang sudah menginjak setengah abad. Perempuan berpakaian tertutup dengan hijab berwarna navy melekat di kepalanya itu, terlihat berbinar cerah menyambut kedatangan sang putra.

Senyum yang sama juga ditampilkan di wajah Tante Devi dan anaknya—Tania—

"Kamu sudah datang, Sayang," ucap Naumi pelan sambil mengulurkan tangan kanannya yang langsung disambut oleh sang putra.

Arya mengecup pelan punggung tangan wanita yang sudah melahirkannya itu, kemudian menarik kedua sudut bibir membentuk senyum kecil. "Arya nggak telat 'kan, Ma?" tanyanya dengan penuh kelembutan.

Naumi segera menggelengkan kepala, "Enggak, Nak. Oh iya, ini, kenalin Tante Devi, teman mama, dan anaknya Tante Devi, namanya Tania," ujar wanita itu seraya mengenalkan dua orang wanita yang duduk bersamanya sejak beberapa waktu lalu.

Arya mengangguk sopan, kemudian mengulurkan tangan untuk berjabat sambil mengenalkan diri, secara bergantian pada Tante Devi dan anak perempuannya.

"Arya, Tante," ucap pria itu sambil menyunggingkan senyum lebar. Sedangkan Tante Devi hanya mengangguk samar.

Pemuda itu kemudian beralih pada sosok wanita di sebelah Tante Devi. "Arya," ucapnya lembut sambil tersenyum kecil.

"Tania." Gadis itu membalas dengan senyuman manis, ia memamerkan barisan giginya yang putih dengan sebuah gingsul menyembul di salah satu sisi. Tampak cantik, tapi sayangnya, bagi Arya itu hanya biasa saja.

Arya pun mengambil duduk di samping sang ibu, mereka berempat memesan makanan kemudian menikmati waktu bersama dengan beberapa obrolan dan candaan ringan.

Sepanjang waktu berjalan, yang tampak aktif hanya Mama Arya dan sahabatnya, Tante Devi. Dua orang wanita yang umurnya sudah tak lagi muda itu tampak berbincang hangat membicarakan masa-masa mereka kuliah dulu. Sesekali tawa terdengar dengan raut wajah menunjukkan bahagia. Tampak nyaman dan begitu menikmati waktu bersama.

Beda halnya dengan Tania dan Arya, dua orang anak manusia itu lebih banyak menyimak dan diam, sesekali ikut mengangguk pelan mendengar obrolan mama mereka, sesekali ikut tertawa hambar saat ada momen yang menurut orang tua mereka itu lucu.

Sedikit membosankan, tapi tidak juga untuk Tania. Bahkan sejak kedatangan Arya bersama mereka, gadis itu tak henti mencuri pandang sesekali tanpa sepengetahuan siapa pun. Mata bulat berbulu lentik itu sesekali melirik ke arah Arya yang sejak tadi justru lebih banyak menunduk menyembunyikan wajah tampannya. Malahan, sikap misteriusnya itu justru membuat Tania semakin penasaran. Ia ingin mengenal lebih jauh akan sosok Arya, yang kata mamanya sudah berusia dua puluh delapan tahun tapi tak kunjung menikah. Bahkan pacar saja tak punya.

Gadis itu merasa tertarik, mungkin memang iya. Terlihat dari cara pandangnya terhadap lelaki berjas yang ada di hadapannya saat ini. Hingga pada akhirnya, Naumi mengerti dan mengetahui apa yang diinginkan oleh anak dari sahabatnya itu.

"Dev, sepertinya kita harus memberikan ruang sendiri kepada Tania dan Arya. Sejak tadi mereka lebih banyak diamnya, aku rasa memberikan kesempatan untuk bicara berdua bukan sebuah masalah. Bagaimana?" Naumi bicara sambil menyunggingkan senyum ke arah Tante Devi.

Wanita berkulit bersih dengan sedikit kerutan di wajahnya itu tampak menyambut baik ucapan sahabatnya. Ia pun mengangguk setuju.

Berbeda halnya dengan Tania dan Arya, yang tampak sedikit terkejut dengan rencana mama mereka.

Arya sendiri terkesiap sambil menoleh dengan tatapan bingung ke arah sang mama.

"Mungkin mereka malu-malu mau bicara, mungkin ada baiknya kita pergi dulu sebentar. Biarkan mereka berdua di sini dulu." Tante Devi ikut bersuara, "Oh iya, Naum ... bukannya kamu bilang, tadi minta ditemenin ke butik buat cari baju baru untuk dipakai ke arisan keluarga?" Lirikan mata Tante Devi tertuju ke arah sahabatnya, semacam memberi kode agar mereka memiliki tujuan kenapa harus meninggalkan anak-anaknya.

Ibu kandung Arya itu langsung mengerti dengan kode Tante Devi, "Aaah, iya. Tentu. Ayo, sekarang saja, 'kan kita sudah selesai makan. Biarkan mereka menunggu di sini dulu," jawabnya.

Tante Devi mengangguk setuju, dengan senyuman lebar ia pun bangkit berdiri, dan bersiap untuk pergi. Hal yang sama juga dilakukan oleh Naumi.

"Ma ...." Tania sedikit merengek saat akan ditinggal, ia merasa canggung sebab akan ditinggal oleh Arya hanya berdua saja.

"Sebentar ya, Sayang," pamit Tante Devi pada sang putri.

"Mama sebentar aja, kamu tunggu di sini dulu." Naumi berpamitan pada putrinya, yang hanya ditanggapi oleh anggukan kepala dari Arya.

Kedua wanita seumuran itu kemudian berlalu pergi, meninggalkan anak-anak mereka yang setengah mati menahan canggung satu sama lain. Hanya saja, Arya tidak terlalu menunjukkannya, ia masih bisa bersikap tenang. Tapi berbeda dengan Tania yang tampak gugup, dan justru tak berani melihat wajah pria itu.

"Tania?"