webnovel

Veracious Hearts

“Dia hanya menginginkan kekuatan untuk menyingkirkan apapun. Sementara aku hanya menginginkan hatinya. Egoiskah kita untuk mencoba tetap bersatu?” *** Pernikahan antara penyihir dan manusia tanpa berlandaskan cinta adalah sesuatu yang dianggap tabu. Tetapi mereka tetap melakukannya, berjalan pada takdir pahit yang telah menanti mereka. Tanpa adanya ikatan pernikahan itu, luapan mana sihir Arina akan menuntunnya menjadi monster pembunuh. Sementara tanpa adanya ikatan itu, Arthur tak akan pernah mengerti sebuah ketulusan. Namun tentu saja pernikahan antara dua ras yang berbeda tidak pernah sesederhana itu. Siapa sangka bahwa waktu Arina tetap terbatas selama Arthur belum mengerti dan merasakan perasaan cinta? Akankah Arthur jatuh hati sebelum waktu Arina habis? Ataukah Arina akan bertemu ajalnya sebelum Arthur jatuh hati padanya? Sementara waktu terus berjalan, menuntun mereka ke arah garis takdir yang telah ditentukan. *** “Katakan, bagaimana caraku untuk mencintaimu, Arina? Sementara Pendahuluku ini telah melakukan sihir terlarang hingga hatiku terkena efeknya sampai seperti ini.” *** Update setiap minggu! Cover by pinterest

AkariHikarii · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
13 Chs

Lumos

"Saat itu, ia menginginkan kekuatan dariku. Sebaliknya, aku justru menginginkan hatinya. Egoiskah kami untuk tetap mencoba bersama?"

***

***

***

"ARINA!"

Arthur terbelalak lebar. Darah segar muncrat dan menetes deras dari pergelangan kulit Arina. Gadis gila itu benar-benar menggoreskan pisau ke arterinya.

"Gila! Apa yang kamu lakukan!?" seru Arthur dengan panik.

SREETT!

Arina kembali menggoreskan pisau makan itu dalam-dalam pada kulit tangannya, membentuk luka baru tepat di luka arteri yang ia buat. Darah pun semakin merembes keluar, menetesi lantai dan kursi yang mereka duduki.

"Cukup, Arina!"

"A-aku menunjukkannya secara langsung, Arthur," jawab Arina pelan. Ia mengangkat tangan, mengisyaratkan Arthur untuk berada di tempatnya. "Beginilah … cara sihirku bekerja."

Arina memejamkan matanya. Detik ketika ia membuka kembali kedua matanya, iris mata kanannya telah berubah warna merah. Ia mengangkat tangannya yang dipenuhi darah. Tanpa menyentuh luka itu, secercah cahaya menyinari lukanya, seolah menutup kembali luka tersebut dan menyatukan kembali kulit yang tergores dalam.

"Selesai," ucap Arina dengan riang. Ia menggerak-gerakkan tangannya dan memutar-mutar pergelangan tangannya, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di sana.

"Wow," Arthur mengerjap kemudian meraih tangan Arina dan mengamatinya dengan seksama. "Tanpa mengucapkan mantra?"

"Iya. Tidak perlu. Soalnya sihir penyembuhanku udah terbilang expert sih. Jadi aku tidak perlu mantra untuk menyembuhkan diri sendiri," jawab Arina dengan riang.

Diam-diam, gadis itu mengamati wajah Arthur yang tampak terpana. Sepertinya lelaki itu belum melihat sihir dari dekat. Atau jangan-jangan yang Arthur ketahui hanya sihir yang tampak di medan perang saja?

"Kalau lainnya? Sihir kamu itu apa, Arina?" tanya Arthur yang kini menatap Arina dengan lekat. Tak menyembunyikan sama sekali rasa penasaran sekaligus takjub pada istrinya itu.

"Secara umum, sihirku memiliki tipe cahaya. Tapi aku dapat memanipulasi sihir tipe lain," jawab Arina seraya mengadahkan telapak tangannya.

Tiga buah lingkaran sihir terbentuk dan saling berhubungan satu sama lain, kemudian mengitari di atas telapak tangannya. Tiba-tiba saja, berkas cahaya panjang terbentuk, membentuk sebuah belati.

"Aku lebih suka menggunakan manifestasi sihir jika aku berada dalam keadaan bahaya. Karena meniru sihir tipe lain itu lebih menguras tenaga di banding sihir yang lain," ucap Arina seraya menyerahkan belati tersebut pada Arthur.

"Apa … aku bisa melakukannya juga?" tanya Arthur pelan. Kemudian jemarinya bergerak lincah mengayunkan belati, seolah telah terbiasa menggunakan belati tersebut.

"Mungkin. Tapi kupikir … masih terlalu cepat bagimu untuk manifestasi sihir," ucap Arina pelan. "Karena bagaimana pun juga … ikatan ini seharusnya berlandaskan perasaan cinta. Jika kamu tidak merasakan apapun denganku sampai nanti … kupikir … itu akan sedikit sulit."

Arthur memanggut kembali. Ia tak heran dengan kenyataan tersebut. Karena pada dasarnya, mereka pun terlalu cepat untuk mengikat pernikahan. Bahkan perasaannya sekalipun masih belum bisa merasakan apapun di dekat Arina.

Tapi Arthur tak bisa memungkiri kemampuan yang Arina punya. Lelaki itu benar-benar takjub pada sihir Arina.

"Kemampuanmu hebat sekali, Arina."

"Eh? Hebat?"

"Iya. Bagiku, sihirmu sangat hebat."

Arina mematung. Hebat, katanya? Arina menggigit bibir bawahnya. Ia sama sekali tidak merasa hebat. Bahkan rakyatnya dulu seringkali mencemoohnya karena selalu dianggap rendah.

[Jika saja Arthur tahu kemampuan lain yang ada di dalam diriku ….]

"Itu terlalu berlebihan. Aku tidak sehebat itu, Arthur," sahut Arina seraya tersenyum canggung. Kemudian dia melirik jam dan mengalihkan pembicaraan, "Ah, apa kamu tidak kembali ke tempat latihan? Kupikir kesatriamu sudah menunggumu."

"Hmm, kupikir nanti saja. Lagipula mereka bukan bayi lagi. Mereka bisa latihan sendiri tanpaku," ucap Arthur dengan enteng. Kemudian ia beralih menatap belati tersebut. "Hei, gimana kalau aku melukai diriku sendiri, Arina?"

"Maksudmu?"

"Aku ingin mencoba kekuatanku. Apa benar-benar bisa … seperti yang kamu bilang?" bisik Arthur seraya mendekatkan bibirnya di telinga Arina.

Arina terbelalak dan mengambil belati tersebut dari tangannya. "Tidak! Aku enggak akan membiarkanmu melukai dirimu sendiri."

"Hei—"

Belum sempat Arthur memprotes, Arina telah mengembalikan belati tersebut menjadi serpihan cahaya. Bersamaan dengan itu, iris matanya pun kembali menjadi berwarna hijau.

"Belajar sihir tidak semudah itu, Arthur. Sebelum kamu melakukan sihir penyembuhan, kamu harus tahu bagaimana membangkitkan kekuatan sihirmu itu," ucap Arina seraya menepuk kedua bahu Arthur.

Detik kemudian, Arina menarik lengan Arthur dan mengajaknya untuk berpindah tempat. Akhirnya mereka pun duduk bersila di atas lantai. Arthur mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang akan Arina lakukan.

"Karena tipe sihirku cahaya, maka seharusnya kamu juga mendapatkan sebagian mana sihir cahayaku. Nah sekarang, kita akan mencoba membuatmu mengeluarkan lingkaran sihir lumos."

"Lingkaran sihir Lumos?" ulang Arthur yang merasa asing dengan kata tersebut.

Arina tersenyum. "Lingkaran sihir paling dasar dari sihir cahaya. Jika kamu bisa menguasainya, maka selanjutnya akan mudah bagimu."

Arthur pun mengangguk. Kemudian mengatur nafasnya supaya tidak tegang. Sorot matanya seketika berubah menjadi serius. Amat sangat berbeda dari sorot mata sebelumnya. Bahkan sempat membuat Arina terpana betapa tampan suaminya itu ketika dia semakin serius.

Buru-buru Arina menyingkirkan pikirannya. Ia pun beranjak ke belakang Arthur dan menyentuh bahu lelaki itu. Sebelum akhirnya ia menarik nafas panjang, memfokuskan pikirannya detik itu juga. Sorot matanya berubah tajam seiring dengan kedua tangannya yang menutup kedua mata Arthur secara perlahan.

"Rasakan bagaimana jantungmu berdetak. Rasakan bagaimana darahmu berdesir. Rasakan bagaimana nafasmu berhembus. Rasakan bagaimana kehidupan dalam tubuhmu, Arthur Charleson De Elderian."

Arthur bergeming, berusaha tidak memikirkan apapun saat ini. Sayup-sayup, ia seakan bisa mendengar detak jantung di indra pendengarannya. Lalu desiran darah yang mengaliri setiap pembuluh dalam tubuhnya. Hingga udara yang mengisi rongga paru-parunya.

Arina tersenyum tipis. "Sekarang rasakan bagaimana adanya gejolak baru yang menyelimuti tubuhmu. Bagaimana mana sihir itu mempengaruhi kekuatan fisikmu."

Tanpa Arthur berkata pun, Arina tahu kekuatan fisik Arthur telah meningkat. Ia bisa menduganya ketika mengamati bagaimana lelaki tersebut tak terlihat letih sama sekali ketika telah latihan pedang tanpa henti selama tiga jam lamanya.

Arina mengamati tubuh Arthur. Selubung cahaya tipis tampak menyelimuti tubuh lelaki itu. Selubung yang hanya bisa dilihat olehnya. Lagi-lagi Arina tersenyum.

"Sekarang, lihatlah dalam pikiranmu. Gapailah cahaya itu. Cahaya yang telah berbisik memanggil namamu sejak lama, Arthur."

Whusssh!

Detik berikutnya, sekelebat angin melingkari mereka. Kemudian Arina melepas tangannya dari mata Arthur seraya berbisik untuk mengakhirinya.

"Bagus. Sekarang, panggil lingkaran sihir itu, Arthur."

"Lumos!"

Sriingg!

Detik ketika Arthur membuka kedua matanya, angin itu pun pecah bersamaan dengan munculnya suatu lingkaran sihir besar yang terbentuk di bawah mereka. Bersamaan dengan itu, warna iris mata kiri Arthur tak lagi berwarna hijau.

Melainkan merah menyala seperti Arina.

"Selamat, kamu telah berhasil melakukannya, Arthur," ucap Arina yang telah berjongkok di depannya. Gadis itu menyentuh pipi Arthur, kemudian iris merah yang membara.

"Arina?"

"Sudah kuduga, warna iris mataku ini sangat cocok di matamu, Arthur."

Ah, Arthur baru sadar bahwa dia memang sudah bukan manusia biasa lagi sepenuhnya.

Haloo! Terimakasih telah membaca sampai sini! Jangan lupa berikan dukungan, kritik dan saran ya! Sampai jumpa di minggu depan! Fufufu~

AkariHikariicreators' thoughts