“Eeell!”
Aku terbangun dari mimpi buruk itu. Memori itu kembali datang. Memori yang aku pun tidak tahu aku membencinya atau hanya merindukannya. Aku terisak, menangis. Mengingat dan menyadari bahwa semua hal indah itu sudah berakhir. Tidak ada lagi pangeran. Tidak ada lagi bermain.
“Araa?” tanya seorang dari belakangku.
"Kau menangis? Tidak ada orang jahat yang mengganggumu bukan?"
Aku tidak tahu siapa dia. Kupikir semua orang sudah tidur.
Dia mendekat setelah meletakkan kayu bakar di samping api unggun. Menyadari hal itu aku sesegera mungkin menghapus air mataku dan kembali bersikap tenang.
“Minumlah dulu.” perintahnya.
Aku belum bisa melihat siapa dia. Mataku masih buram karena air mata. Tapi suaranya.
“Terimakasih.” ucapku pelan sambil menyerahkan botol itu kembali padanya.
Aku kembali mengusap air mataku yang entah kenapa tidak juga berhenti menetes. Dia lalu kembali lagi ke tempat dia meletakkan kayu bakar.
“Mimpi buruk?” tanyanya.
“Yaah.” kataku sembari tersenyum tipis.
Dia kembali sibuk dengan api unggun itu. Menambahkan beberapa kayu bakar agar api tetap menyala terang.
“Kamu tidak tidur Rian?”
Tanyaku mendekati api unggun. Udara terasa dingin tanpa selimut. Aku menghangatkan badan di dekat api unggun itu.
“Tidak mengantuk. Entahlah biasanya aku sudah tertidur pulas. Tapi entah kenapa alam disini membuatku terus terjaga. Jadi kuputuskan mencari kayu bakar saja. Sekalian melihat alam.” katanya setelah selesai menambahkan kayu bakar.
“Melihat alam ya. Malam-malam begini.”
“Apa salahnya. Sekalian mengembangkan kekuatanku.” jawabnya sambil mengangkat bahu.
Lalu aku tersadar. Dia belum menyebutkan apa kekuatannya bukan.
“Tunggu. Kamu belum menyebutkan kekuatanmu kan tadi saat perkenalan?” ucapku tersadar.
“Yaa.” jawabnya santai.
“Kamu sengaja?”
“Tidak ada hebat-hebatnya kekuatanku dibandingkan yang lainnya Ra. Apalagi kekuatanmu.” katanya merendah sambil tersenyum kecil.
“Hei! Kita tidak bisa membandingkan kekuatan yang satu dengan yang lainnya. Beda kekuatan beda kehebatan kan?”
“Tanah.” ucapnya singkat.
“Itu keren. Aku mau lihat. Kamu mau menunjukkannya padaku?” pintaku.
Ia lalu mengangkat tangannya. Tanah langsung meninggi. Lalu dia menggerakannya ke samping kanan. Tidak, lebih tepatnya membuangnya ke samping kanan. Itu keren sekali. Bahkan dia melakukan itu tanpa harus bersusah payah. Dia terus saja santai menikmati bara api yang melahap kayu tanpa memperhatikan tanah yang digerakkannya.
“Itu sangat keren Val. Kamu bahkan tidak perlu bersusah payah melakukan teknik itu.” kataku kagum.
“Tidak sehebat kekuatanmu.” dia memalingkan wajahnya dari api unggun.
“Ayolah. Kamu punya kekuatan yang keren. Tanah itu tempat kita berpijak. Darimananya tidak keren.”
“Kamu tidak kembali tidur Ra?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Ia memalingkan pandangannya dari api ke arahku.
“Tidak, aku takut mimpinya berlanjut atau lebih paranya berulang.” kataku datar.
“Aku disini kalau kamu mau cerita. Aku tidak akan tidur. Alam ini membuatku terus waspada. Ada sesuatu di dalam sana yang tidak bisa kulihat.” katanya mengarahkan pandangannya sekeliling kami.
“Tidak apa Ra. Sesuatu itu belum membahayakan kita.”
“Belum katamu?”
“Semoga tidak. Jadi ceritalah, apa yang membuatmu mimpi buruk.”
Awalnya aku menolak bercerita, kupikir aku tidak perlu merepotkan orang lain lagi untuk mendengarkan ceritaku yang bahkan aku juga tidak menyukainya. Tapi entah perasaan apa yang menghampiriku, aku akhirnya memutuskan bercerita padanya, sekaligus menemaninya menjaga api. Yaa, katanya begitu. Beberapa kali aku berhenti bercerita, mengatur napas. Jujur saja sulit untukku bercerita tentang masa lalu itu. Aku juga tidak ingin menangis didepan Rian lagi. Itu memalukan. Rian terus mendengarku bercerita. Ia tidak memotong ceritaku. Sesekali dia memberikanku minum, mengerti aku tidak bisa serta merta bercerita dengan mudah.
Pukul tiga dini hari. Aku selesai bercerita. 30 menit yang terasa sangat lama.
“Aku boleh memberi saran?” tanyanya.
“Yaa.”
“Kamu seharusnya lebih mengikhlaskan dia Ra. Maksudku itu bukan salahmu kalau dia sesak napas. Ibunya juga tidak pernah menyalahkanmu kan. Bahkan tantenya.”
“Terimakasih sarannya. Sedang kuusahakan. Doakan saja aku bisa melakukannya dengan baik.”
“Baguslah. Mera tahu?” tanya Rian memandangku.
Aku mengangguk.
“Dia tahu semua tentangku Val, hanya tidak pernah dia tunjukkan.Dia satu-satunya orang diluar keluargaku yang tahu kejadian itu. Tapi tidak dariku langsung. Dia bertanya pada ibu.” kataku dengan senyuman.
“Dia sahabat terbaik yang kumiliki.”
“Setelah sang pangeranmu atau sebelum?” ledeknya.
-*#*-
Pagi harinya kami membereskan semua barang. Memasukkannya ke dalam mobil van. 15 menit kami sibuk merapikan semuanya.
“Sudah semuanya anak-anak?” tanya Paman John.
“Sudah paman.” jawab Mera.
“Ayo naiklah kita berangkat!” katanya semangat.
Kami menaiki mobil van itu. Paman John dan Agam didepan. Aku, Mera, dan Zeta di tengah. Lalu Rian dibelakang. Setelah semuanya siap Paman John langsung menjalankan mobilnya. Kami semua riang. Ini terasa seperti study tour saja. Kanan kiri kami pun masih padang rumput.
Sekitar 30 menit kami berkendara barulah terlihat di ujung bukit ada hutan menunggu untuk dijelajahi. Hutan itu terlihat gelap. Lebih gelap dari hutan biasanya.
“Selamat datang di Hutan Kegelapan.” ucap Paman John sembari memelankan laju kendaraan saat memasuki hutan.
“Namanya sesuai dengan keadaannya ya.” lirih Zeta sambil melihat sekitar.
Ya keadaan di hutan ini benar-benar gelap. Sesekali bayangan melintas di hutan. Mungkin itu hewan yang sedang mencari makan. Lalu kulihat seekor burung, kucing, dan kelinci yang juga berwarna hitam.
“Apakah disini semua berwarna hitam paman?” tanyaku setelah melihat hewan itu.
“Yap.”
“Aku tebak padang rumput yang tadi itu bernama padang apel.” tanya Mera menyelutuk.
“Tidak Mera. Lebih tepatnya padang pohon apel.” kata Paman John sambil tertawa.
“Sama saja lah.”
Terdengar lagi suara dari dalam kegelapan itu. Sesekali bayangan melintas.
“Itu suara apa paman?” tanya Rian dari belakang.
“Kukira hanya aku yang mendengar dan melihat bayangan itu.” kataku.
“Entahlah.” katanya santai.
GRAAKK!!!!
Mobil kami dihentikan dari depan dan belakang. Tubuh kami terhempas ke depan. Kami masih belum sadar apa yang sudah terjadi. Terlihat di depan mobil van kami ada empat orang yang berpakaian serba hitam. Mereka menodongkan senjata yang mereka bawa. Beberapa membawa pedang, parang, bahkan tombak. Terlihat senjata mereka masih sangat tradisional. Berbeda dengan senapan dari kerajaan kami. Lalu beberapa saat kemudian yang lainnya datang dari arah samping kanan dan kiri mobil. Kami panik melihat mereka mengepung mobil.
Wajah Paman John kini pucat. Ia tidak lagi memperlihatkan ekspresi tenang yang biasanya ditunjukkan olehnya. Paman berusaha mengemudikan mobil van nya untuk melarikan diri dari pasukan aneh ini. Tapi sepertinya tidak bisa.
“TURUN!” kata salah seorang dari mereka.
Pasukan itu terus mendekat sambil menodongkan senjata mereka. Pedang, parang, dan tombak mereka terlihat sangat tajam. Rasanya sekali dilayangkan pun batu akan terbelah dua.
“Turun atau kami rusak kendaraan kalian!” kata orang itu lagi.
“Turunlah anak-anak. Hati-hati.” kata Paman John mengingatkan.
Kami turun dari mobil van dan langsung disekap oleh mereka. Tangan dan kaki kami diikat dengan tali tambang. Kepala kami ditutup kain hitam. Lalu mereka langsung membawa kami entah kemana.
-*#*-
Sraaakk!
Penutup kepalaku dibuka. Juga yang lainnya. Kini kami berada di sebuah ruangan bulat dengan kayu sebagai dindingnya. Tidak bukan kayu, tetapi ranting. Ranting itu diikat lalu dijadikan dinding yang rapat hingga cahaya matahari pun tidak bisa menembus celah sempitnya.
Kami didudukkan di tengah ruangan. Tidak ada cahaya disini. Tetapi kami masih bisa melihat dalam remang. Aku berusaha melepas ikatan tali itu, tapi tetap saja ikatan itu tidak lepas. Yang lainnya juga mencoba. Lalu aku baru menyadari sesuatu.
“Tunggu, Paman John, dimana dia?”
“Aku tidak tahu. Dia mungkin saja dibawa ke tempat eksekusi.” kata Mera menjawab pertanyaanku sambil berusaha melepaskan ikatan.
“Tidak mungkin.” ucapku dengan tegas.
“Sudahlah lepaskan tali ini dulu, baru kita mencari dimana Paman John berada.” kata Zeta menengahi.
“Bagaimana caranya? Bahkan mungkin orang yang mengikat tali ini tidak tahu cara melepasnya.” sergah Agam.
Jegrek!
Suara pintu dibuka dengan keras. Kami terpaku melihat siapa yang datang. Tidak mengenalinya. Tapi aku yakin dia adalah tetua suku disini. Badannya sedikit membungkuk. Rambutnya sebagian memutih. Pakaiannya seperti dibuat dari kain tenun. Wajahnya tenang. Auranya hangat. Ia berjalan dengan tongkat hitam. Hanya dia seorang yang berjalan masuk, tanpa didampingi seorangpun.
“Kalian sungguh sangat beruntung masih hidup sampai sekarang.” katanya sambil tersenyum.
“Apa maksud kakek?” tanya Mera geram.
“Kalau tidak ada salah satu dari kalian yang ikut dalam tugas itu, sudah kuperintahkan anak buahku untuk membunuh kalian semua.” lanjutnya.
“Siapa maksud kakek?” tanyaku tak sabaran.
“Tentu saja seorang gadis pemilik kekuatan bayangan.” jawab kakek itu memandang Zeta.
Kami semua memandang Zeta, ia terlihat bingung. Tapi sekali lagi dalam keadaan tenangnya.
“Dia adalah keturunanku. Cucuku.” jawab kakek itu.
“Apa maksud kakek?!” tanya Rian dengan sedikit nada tinggi.
“Kalau dia cucumu, mengapa kami diikat seperti ini? Lepaskan kami!” tanya Agam logis.
“Ya, untuk itulah aku datang kemari. Melepaskan kalian semua dari ikatan itu.”
Lalu dia mengangkat tongkatnya, mengayunkannya kesamping kanan dan kiri. Lalu seperti sebuah bayangan tangan menghampiri kami. Bayangan itu menuju ke arah belakang kami. Dan ajaib! Ikatan kencang di tangan dan kaki kami melonggar. Kami bisa melepaskan ikatan itu dengan mudah.
“Zetana, bolehkah aku memelukmu, nak?” kata kakek itu lembut.
Ia terlihat sangat senang saat melihat Zeta telah terepas dari ikatan kencang dan bisa berdiri dengan tegap. Matanya seperti menahan air agar tidak jatuh dan membuat dirinya terlihat lemah.
“Maafkan aku kakek, tapi bagaimana aku bisa percaya kalau kakek ini benar kakekku. Aku bahkan tidak tahu nama kakek.” jawab Zeta sopan, takut melukai hati kakek tua itu.
“Yah kau benar. Kalau begitu ayo kita keluar dari ruangan ini dulu, sebelum banteng-banteng hitam itu kembali.” katanya sambil berbalik.
“Iyaa, banteng hitam besar peliharaan suku kami, jadi cepatlah kalian berjalan.” lanjutnya.
Seketika kami langsung berpandangan dan bergegas menyusul kakek tua tadi. Takut kalau saja banteng hitam yang dikatakannya akan masuk sebelum kami keluar dari tempat ini.
Setelah kami melangkahkan kaki keluar dari ruangan tersebut, yang baru kami tahu ternyata kandang banteng, kami terperanjat. Ternyata diluar kandang itu penduduk sedang merayakan suatu acara. Aku tahu dari gantungan-gantungan dan hiasan berwarna ungu yang mereka taruh di rumah-rumah berbentuk kotak yang memiliki warna yang tidak sama. Bahkan di pohon sekitar kampung. Beberapa bahkan mengenakan kostum yang aneh.
“Seseorang sedang merayakan ulang tahunnya.” kata kakek tua tadi tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
“Ulang tahun? Seluruh kampung merayakannya?”
Tanya Mera yang kini melayangkan pandangannya ke arah seorang anak kecil yang wajahnya di cat warna ungu. Dia terlihat menggemaskan.
“Ya. Dia menginjak umur 180 tahun. Bergegaslah nak, sebelum jalan semakin ramai dan kita tidak bisa melewati kerumunannya.” jawab kakek itu.
“Bahkan saat aku berumur 17 hanya tidak sampai sekelas yang merayakannya.” kata Mera lirih disampingku.
Kami terus berjalan mengikuti kakek tua itu, membelah kerumunan orang yang merayakan ulang tahun seseorang yang sudah berumur. Sesekali kakek itu dihadang, mereka mengajak kakek itu untuk mengikuti pestanya. Beberapa mempersilakan kakek yang menuntun jalan kami untuk duduk. Atau bahkan ada yang menghentikan untuk mengajaknya berbincang. Tapi kakek itu selalu menolak, mengatakan ada urusan yang lebih penting daripada ulang tahun ini.
Kakek itu terus berjalan hingga keramaian tertinggal dibelakang kami. Ia berjalan tanpa mengajak kami berbicara.
“Didepan sana, itu rumahku. Ayo bergegaslah.” Katanya sembari menunjuk rumah kotak berwarna merah muda itu.
“Pink?! Aku tidak pernah menyangka itu.” Kata Rian yang menghentikan langkahnya sebentar sembari memutar kepalanya mengeluh.
Aku menolehkan pandanganku ke arah Rian, lalu mengisyaratkan padanya untuk kembali berjalan.
Saat sampai di depan rumah kotak itu aku baru menyadari bahwa tembok itu tidak terbuat dari semen maupun bata. Tetapi dari batangan kayu. Batangan itu diwarnai merah muda yang lembut. Atapnya terbuat dari daun pohon kelapa yang dikeringkan. Sangat sederhana.
Aku menolehkan pandanganku ke arah rumah yang berada di samping rumah kakek itu. Temboknya juga berasal dari batangan kayu. Tetapi atapnya seperti terbuat dari lembaran kayu.
“Selamat datang di gubuk pink ku. Ayo masuklah.” kata kakek tua itu membukakakan pintu rumahnya.
Kami masuk ke dalam disusul kakek tua itu. Ia kemudian menutup pintu dan berjalan mendahului kami.
Lalu kakek itu berhenti tepat di tengah rumahnya. Diantara kursi-kursi kayu yang berwarna coklat. Bukan merah muda.
“Apa dia akan menunjukkan tempat rahasia Ra? Seperti di film keren.” tanya Mera lirih padaku.
Aku hanya menggeleng. Tidak tahu.
“Apa dibawah rumahnya ini ada ruang rahasia tempat menyimpan senjata hebat? Atau ternyata rumahnya ini hanyalah lift yang akan menuju ke atas awan sana?” lanjutnya lirih.
“Aku tidak tahu Mera, tapi kurasa tidak.” jawabku sambil memandang Mera. Dia benar-benar suka berbicara.
Kakek tua itu lalu duduk di salah satu kursi coklat.
“Kalian sedang apa berdiri di sana? Duduklah.” perintahnya pada kami.
Kami mengangguk serempak. Lalu sesaat kemudian kami baru bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi.
“Waahhh!”
Seperti sihir. Setelah kami duduk, kami bisa melihat ternyata di dalam rumah itu ada beberapa orang yang sedang berbincang.
“Paman John.” lirih Zeta.
“Haii, kalian akhirnya sampai juga disini.” kata Paman John riang pada kami.
Kami heran. Paman tidak terlihat seperti telah dianiaya. Ia terlihat seperti biasanya. Riang.
“Sebelum kalian kuberi tahu lebih lanjut, perkenalkan namaku Pink. Aku tetua suku bayangan.” katanya tenang.
“Pink?! Pink kakek bilang?” Rian yang mendengar nama itu langsung saja menghempaskan punggungnya di kusri dan mengangkat tangannya, seolah di telah menyerah dengan semua fakta ini. Ralat, mungkin dia memang menyerah dengan fakta ini.
“Ya. Kalian bisa panggil aku kakek Pink.”
“Berapa usia kakek, kalau kami boleh tahu?” tanya Zeta.
“Seratus sembilan puluh.” jawabnya sambil tersenyum.
"Apa?! Ohh tunggu sebentar, aku ingat, apa itu berarti umur kakek sekitar 90 tahunan?" tanya Mera dengan raut wajah penasarannya.
"Seperti itulah."
"Ingat prinsip umur beda dunia ya Ra." ingat Paman John. Mera yang mendengarnya pun hanya menjawabnya dengan isyarat tangan membentuk hormat.
“Lalu tadi kakek bilang ingin memberi tahu kami lebih lanjut, bisa kami tahu sekarang?” tanya Agam mengingatkan.
“Oh iya, tapi sepertinya Paman kalian yang akan menjelaskannya.”
Sesaat aku menyadari, mungkin aku tahu darimana Zeta memiliki sikap tenangnya itu. Tapi itupun kalau benar Kakek Pink ini kakek Zeta.
“Ohh, terimakasih Kakek Pink. Aku akan menjelaskannya pada mereka.” kata Paman John memberi hormat.
“Kalian akan tinggal disini sehari untuk berlatih dengan Kakek Pink, besok kita akan melanjutkan perjalanan. Tadi aku sudah sepakat dengan beliau untuk meminta mengajari kalian beberapa ilmu yang mungkin akan sangat bermanfaat. Terutama untukmu Mera.”
Mera yang disebut Paman John seketika bingung. Entah apa ilmu yang akan diajarjan pada kami. Paman John dengan tenang kembali memberi tahu tentang alasan kami untuk bermalam sehari disini.
Yap. Pertama, karena Zeta cucu dari Kakek Pink. Kedua, karena adanya pesta ulang tahun yang akan menghalangi mobil van untuk keluar dari kampung. Ketiga, karena kami memang harus berlatih disini sebelum bertemu dengan penjahat sebenarnya. Dan juga karena Paman John sepertinya melanggar suatu perjanjian, yang aku tidak tahu apa. Paman hanya mengatakan dia melakukan suatu kesalahan.
Setelah selesai memberi tahu kami, kakek Pink lalu beranjak berdiri.
“Jadi anak-anak. Akan kuperkenalkan kalian dengan teman-teman dan tetanggaku.”
Kakek Pink lalu berjalan ke arah beberapa pria paruh baya dan beberapa orang yang telah berumur di samping kiri rumahnya. Mereka tengah membicarakan sesuatu.
Kami langsung berdiri, mengikuti kakek Pink yang akan memperkenalkan mereka.
“Ini Gingerbread, lalu disampingnya ada Penny, lalu itu Biscuit, dia Sage, lalu ada Mint, dan ini Deco Gray.”
Jelas Kakek Pink sembari menunjuk satu persatu tetangganya. Aku yang mendengarnya seperti tidak asing dengan nama-nama itu. Bahkan wajah mereka pun rasanya tidak asing.
“Kakek, kakek tidak bercanda kan?” tanya Rian memastikan.
“Tidak, kenapa memangnya?”
“Nama mereka seperti nama warna.” ucapku teringat deretan nama warna yang biasanya muncul pada cat-cat warna.
“Ohh, iyaa. Aku tidak bercanda nak.”
“Apa itu berarti di kampung ini ada seseorang yang bernama Amethyst, Lilac, Lavender, Violet, dan sebagainya kek?” tanya Zeta semangat.
Ia teringat akan warna-warna kesukaannya. Berharap bisa bertemu dengan mereka yang memiliki nama sama dengan warna kesukaannya.
“Tentu saja ada. Bahkan yang tadi sedang merayakan ulang tahun itu, namanya Mauve. Dia sangat berbakat membuat kue bluberi. Suatu saat akan kuminta dia membuatkannya untuk kalian. Kalian pasti suka.” katanya dengan senyuman.
"Paman semua ini yang tadi menyekap kami bukan?" tanya Rian tanpa basa basi lagi.
"Ahh, iyaa. Maafkan mereka ya nak, aku yang meminta langsung kepada mereka untuk menjaga kampung ini." jawab kakek.
“Okee, jadi karena kalian sudah tahu tujuan kalian disini, kalian bisa istirahat dulu. Perjalanan kalian nantinya akan sangat panjang dan melelahkan. Akan kuantar kalian ke rumah temanku. Dia memiliki penginapan yang bagus.” Lanjutnya berbalik menuju ke arah pintu keluar.
“Siapa namanya kek?” Tanya Mera penasaran.
“Cornflower blue. Dia masih terbilang muda untuk seorang yang sudah memiliki penghasilan yang banyak dalam usianya.” jawab Kakek Pink tanpa mengalihkan pandangannya menuju keluar rumahnya.
“Teman-teman, aku perlu mengantar mereka ke rumah cornflower, kalian tunggulah disini dulu. Oya John, kau mau ikut ke penginapan atau mau tetap disini?” tanya Kakek Pink saat sampai di depan pintu.
“Aku disini dulu saja. Ingin menghilangkan rasa rindu yang sudah lama kutahan.” Jawab Paman John yang kini kembali pada sekumpulan orang itu.
“Baiklah.”