Si Kembar Fiona dan Fania sedang bersiap berangkat sekolah seperti biasa.
Fiona siap lebih awal seperti biasa.
Sementara Fania mengecek jendela sesekali untuk melihat apakah sang kekasih telah menjemput atau belum. Padahal pakai kaus kaki saja ia belum tas juga masih mengatung rapi di dalam kamar. Saat terdengar suara mesin motor, tadinya berharap itu adalah Wandi namun yang ia dapati justru laki-laki yang sedang dekat dengan kakak kembarnya,
"Fioooo!!! ada yang jemput lo diluar!!" teriak Fania heboh.
"Apaan sih, Fan? hebot amat, nggak usah teriak-teriak segala kalik!" gerutu Fiona seraya menuju jendela ruang tamu tempat Fania mengintip.
fiona terkejut kala melihat siapa yang telah menunggunya di depan sana.
"Yoseph?" Fiona agak terheran lalu memandang Fania yang begitu antusias.
Untuk apa dia sepagi ini menjemput dirinya? atau jangan-jangan karena ingin bertemu dengan fania ya? tapi, untuk apa--batin fiona.
"Nunggu kucing bertelur, Fi. Ya, jemput lo lah! gimana sih?" kesal Fania.
"Tapi ngapain, Fan? gue kan masih bisa berangkat sekolah sendiri," Fiona masih berusaha berpikir keras.
"Makanya pacaran! lo tuh ya, gitu doang nggak peka heran gue," Fania makin kesal.
Tentu saja fania kesal, bagaimana bisa saudari kembarnya ini begitu tidak memahami maksud dari yoseph, sih?! Dasar fiona!
"Siapa yang pacaran?" sahut sang ayah tiba-tiba muncul ditengah kehebohan mereka berdua. fania dan fiona saling tatap bingung mau menjawab apa dan bagaimana.
"Nggak ada kok, yah. Itu ada temen Fio, nggak tahu ngapain sepagi ini ke rumah," jelas Fiona datar.
"Temen doang kan? kenapa nggak disuruh masuk? sarapan bareng gitu," ujar ayahnya.
Degh!
Batin fiona berdecih tidak menyangka. Tiba-tiba saja ayahnya menjadi begitu ramah, ada apa gerangan?
Mereka berdua saling pandang dan terbelalak. Sarapan bareng sama ayah? nggak salah? Itulah yang terbesit dalam hati mereka. Simon duduk di teras rumah berharap dihampiri oleh laki-laki itu. Mungkin jika ia sopan ayahnya akan mempertimbangkan izinnya.
Tepat sasaran! Tidak butuh waktu lama, laki-laki itu menghampiri ayahnya si kembar.
"Assalamu'alaikum," salam Yoseph menghampiri.
"Wa'alaikumusaalam," sambut Simon ramah.
"Temen Fiona ya?"
"Benar, Pak."
"Bukan pacarnya kan?" selidik Simon.
"Belum, pak... eh, maksudnya bukan, pak," tiba-tiba suasana menjadi kikuk terutama Yoseph.
"Saya Yoseph, pak. Biasa dipanggil Yos, " lanjutnya memperkenalkan diri.
"Ayo sarapan bareng, Sep," ajak Simon.
Fiona dan Fania menahan tawa mendengar nama itu juga ekspresi Yoseph yang lucu.
"Nggak sekalian Asep?" bisik Fania.
Setelah sarapan bersama selama lima belas menit. Yoseph meminta izin untuk menjemput Fiona berangkat sekolah bersama.
"Kakak gue jangan sampai lecet ya, Sep!" teriak Fania menggoda
mereka berdua.
"Shutt!" tegur Ibu pada Fania.
Sementara ayah telah berangkat lima menit lebih dulu dari mereka. Beberapa menit kemudian, datanglah motor ninja hitam.
"Tuh ada jemputan kamu," ujar Bu Rani melihat Wandi menuju mereka dengan senyum ramahnya.
"Yaudah, Ma. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumusaalam. Hati-hati ya, nak," ujar Bu Rani melambaikan tangan, kedua remaja itu membalas lambaian serupa.
Bu Raniesha tersenyum senang. Dia masih tidak menyangka kedua putrinya sudah memiliki kekasih masing-masing. suatu hari nanti dia akan kesepian karena kedua anak gadisnya akan menikah dan memiliki kehidupan masing-masing.
"Yaampun. Anak mama udah pada gede. Udah dijemput pacarnya masing-masing," kata Bu Rani menghela napas dengan senyuman yang lebar.
***
Siang itu guru Bahasa Inggris memasuki ruang kelas melanjutkan materi pekan lalu. Sebenarnya ia adalah guru yang baik namun sangat tidak senang jika saat jam pelajaran ada yang mengganggunya. Misalnya mengobrol di kelas atau izin ke toilet saat ia sedang menerangkan. Akan tetapi, tetap saja para murid menganggapnya sebagai guru yang galak.
Fiona menikmati penjelasan guru itu seperti biasa. Namun fokusnya sedikit turun hari ini, melihat tingkah Devika yang menyebalkan. Sejak pagi, gadis itu terus menatapnya hingga membuatnya bergidik ngeri.
"Lo nggak usah lihatin gue kayak gitu kenapa sih, Dev?" tanya Fiona mulai merasa risi.
"Abis lo cantik banget hari ini, Fi. Sumpah deh," puji Devika entah apa tujuannya. Fiona hanya berdecih. Tidak mungkin sahabatnya itu memujinya begitu saja.
Rupanya guru terganggu oleh tingkah kedua muridnya itu.
"Fiona... Devika..." tegurnya halus namun dengan tatapan mengerikan. Ia terus tunduk melihat buku paket menjelaskan materi namun matanya menatap kedua muridnya itu mirip dengan...tatapan psikopat.
"Meski kalian sama-sama duduk di depan namun nilai Devika tetap tidak akan akan mampu menyaingi Fiona," sindirnya lagi.
Fiona sungguh ingin menjawab sindiran menyebalkan itu. Ia sangat kesal terhadap apapun yang suka gemar membanding-bandingkan seseorang. Baginya, meski Devika tidak seberuntung dirinya yang sering masuk peringkat tiga besar di kelas namun bukanlah Devika masih memiliki kelebihan dalam hal hal lain? sama halnya seperti dia yang tidak suka jika ada seseorang yang membadingkannya dengan fania.
Guru itu terus berkomentar tanpa henti. Saat Fiona ingin membalas, Devika mencekal tangannya lalu menggelengkan kepala seolah berisyarat jangan lakukan hal yang hanya akan membuat masalah.
"Bu, maaf. Sebentar lagi kelas Ibu akan berakhir sebaiknya kita melanjutkan materi saja," sahut Fandi sopan. Devika menghela napas lega. Berharap sahutan Fandi berhasil menurunkan rasa kesal Fiona saat ini.
Guru itu melanjutkan materi yang akan dia berikan. Tidak lama kemudian bel tanda pergantian menuju jam istirahat pun berbunyi.
"saya akhiri pelajaran hari ini, tugasnya. Kalian kerjakan di buku paket halaman tiga puluh delapan dan ..." dia terhenti sejenak untuk sesaat menatap wajah muridnya satu demi satu, "dikumpulkan besok pagi. Tanpa tapi!" tegasnya.
Tampak jelas raut wajah muridnya satu per satu yang tadinya bahagia berganti menjadi kecewa. Dia lalu ke luar ruangan dengan perasaan yang bahagia dan tersenyum dengan bangga karena memang itulah tujuannya sejak awal. Besok pagi yang dia maksud bukanlah sebelum jam istirahat, tetapi sebelum pelajaran pertama dimulai.
Tidak lama kemudian, datanglah yoseph menghampirinya lalu ...
CEKREK!
Dia duduk tepat di sisi kiri fiona lalu mengambil foto mereka berdua dan menjadikannya foto profil di salah satu akun sosial media pribadinya. Iya, yoseph selalu punya dua akun, yang satu berisi teman-teman dekatnya. sedang yang lain berisi khalayak umum. Itu semua dia lakukan agar teman-temannya atau lebih tepatnya orang yang menggemarinya menanyakan akun sosial medianya. Meski dia laki-laki yang dingin, tapi dia selalu merasa tidak enak hati jika mengabaikan orang lain.
"Lo foto enggak bilang-bilang."
"Kalau gue bilang, lo enggak akan mau, 'kan?"
"Kalau gue mood, mau kok."
Mendengar hal itu, yoseph menjadi antusias.
"Benaran ya, Ona?"
Tentu saja gadis itu terperangah, bagaimana tidak? ini pertama kalinya ada orang yang memanggilnya dengan sebutan itu.
"Kenapa? Enggak booleh?"
"Terserah lo aja."
Meski terdengar acuh, tapi sebenarnya fiona merasa senang dengan panggilan yang baru dia dapatkan.
Tidak berapa lama kemudian, datanglah firda menghampiri mereka. Tanpa basa-basi, dia menunjukan foto profil yoseph.
"Kenapa, fir?"
"Lo ada hubungan apa sama dia?" tanyanya dengan tatapan meremehkan.
"Apaan sih lo, lebay," sahut yoseph. firda terperangah mendengar hal itu, ini pertama kalinya sahabatnya itu seperti ini padanya.
"Kok lo berubah?" tanyanya lagi tanpa peduli di mana kini dia tengah berbicara.