Keesokan harinya.
Para penduduk desa Mura sangat terkejut ketika pagi hari telah tiba, sekelompok perampok tengah terikat dengan wajah yang babak belur seakan habis dipukuli habis-habisan. Kurasa begitulah situasinya sekarang.
Menoleh ke salah satu rumah, kepala desa, Hamamura baru saja keluar dan berniat membasuh mukanya, kurasa. Namun belum melakukan hal tersebut, dia sudah berlari ke sini dengan wajah khawatir berlebihan.
"Bunuh saja aku," salah satu perampok mengeluh.
"Fuma kau baik-baik saja?" tanya Hamamura masih terlihat agak khawatir.
"Selain rasa ngantuk, aku 101% baik-baik saja," Jawabku tak dapat menahan diri untuk menguap.
"Apa kau yang mengalahkan para perampok ini sendirian tadi malam?" tanya Hamamura terkejut.
"Tidak juga, sebagian besar mereka terkena jebakan yang kalian pasang di gudang itu, aku hanya membesereskan sisanya saja," kataku menunjuk ke arah gudang dengan beberapa jebakan yang sudah terpakai.
Setelah mendengar perkataanku, para penduduk desa terdiam sesaat.
"Itu berarti… jebakan yang kita siapkan tidaklah sia-sia?" kata salah satu penduduk desa tak percaya.
"Ya… jebakan kita bekerja."
"Oi, jebakannya berhasil!"
"Hahaha! Rasakan itu para perampok sialan, itulah akibatnya jika macam-macam dengan penduduk desa Mura."
Sorak para warga desa merasa senang karena jebakan yang mereka buat merhasil menghalau para perampok. Untuk para perampok sendiri? Aku sedikit membuat mereka diam dengan nyawa mereka sebagai taruhannya.
Dan untukku sendiri? Aku segera pergi dari kerumunan warga, berjalan menuju rumah sang kepala desa untuk segera tidur. Saat memasuki rumah, aku berpapasam dengan Aran yang baru saja terbangun dari tidurnya.
"Pagi kak Fu, ada ribut-ribut apa di luar?" tanya Aran masih setengah sadar.
"Sebaiknya kau periksa saja sendiri," Jawabku, segera berjalan menuju kamar yang berada di lantai 2 rumah ini.
Setalah sampai, aku langsung menuju tempat tidur dan membaringkan badanku, "Hari yang melelahkan," keluhku segera menutup mata.
…
"Tidak!"
Aku terbangun dari tidur dengan wajah yang sudah berkeringat.
"Lagi-lagi aku mengingatnya," mencengkram kepalaku yang sakit dengan salah satu tanganku, salah satu mataku berair.
Memutuskan untuk membuat pikiranku menjadi lebih tenang, aku masih duduk di tempat tidur.
Selesai mengelap air yang muncul di mataku, pikiranku menjadi jauh lebih baik. Aku berdiri, meninggalkan kamar dan segera berjalan turun. Saat menuruni tangga, sepasang ayah dan anak terlihat sudah menungguku di sekitar meja makan.
"Kak Fu!" sapa Aran melambaikan salah satu tangannya.
"Kau sudah bagun?" tanya Hamamura dengan ramah.
Pagi-pagi aku sudah di sambut oleh pertanyaan bodoh. Mau dilihat dari manapun, bukankah aku sudah bangun? Lalu untuk apa menanyakannya?
Aku menghela.
Kenapa orang-orang sangat suka menanyakan pertanyaan bodoh semacam ini?
Mengabaikan Ayah dan anak tersebut, aku berjalan keluar untuk mencuci muka, kemudian masuk kembali dan segera duduk di kursi yang masih kosong.
"Hari ini bukan semangkuk bubur lagi?" tanyaku.
"Kau ini bicara apa? Bukankah kau sudah menghentikan para perampok untuk mencuri hasil panen tahun ini," jawab Hamamura.
"Benarkah? Maaf aku sudah lupa."
Aku mulai memakan makananku.
"Kau ini sebenarnya habis mimpi apa dalam tidurmu tadi, sampai melupakan kejadian yang baru saja kau lakukan?" tanya Hamamura.
Aku berhenti memakan makananku, "Mimpi yang sangat buruk…" kataku.
"Kau mengatakan sesuatu? mulutmu kelihatan bergerak tapi aku tidak bisa mendengar suaramu."
"Oh, bukan apa-apa," jawabku melanjutkan sarapan.
Terjadi keheningan sesaat.
"Ayah bisa kita segera makan? Aku sudah sangat lapar, kak Fu sudah mulai makan duluan," ucap Aran memecah keheningan.
"Oh maaf, ayah membuatmu menunggu terlalu lama ya? Kalau begitu mari segera makan, kau pasti sudah sangat kelaparan kan?"
Setelahnya, mereka berdua juga menyantap makanan yang ada di atas meja dengan lahap.
"Sudah lama aku tak memakan makanan seenak ini," ucap Aran masih terus memakan makanan di piringnya dengan lahap.
"Pelan-pelan saja makannya, nanti kau bisa tersedak, lagi pula makanannya tidak akan lari jika kau memakannya dengan pelan," tegur sang ayah pada anaknya.
"Uhuk! Uhuk!"
"Baru saja ayah katakan kau sudah tersedak, cepat minum."
Aran langsung mengambil secamgkir gelas berisi air yang berada di dekatnya dan segera meminumnya.
Disisi lain, piringku sudah bersih. Mengambil segelas air dan meminumnya, aku segera berjalan pergi dari meja makan.
"Kau sudah kenyang?"
"Aku tidak terlalu lapar" jawabku cepat, secapat meninggalkan meja makan.
----------------
Malam harinya, aku memutuskan untuk berjalan-jalan keluar. Sialnya, saat masih berjalan, aku bertemu sang kepala desa yang terlihat memang sedang menungguku.
"Kau tidak bisa tidur?"
Aku ingin pura-pura tak melihatnya, tapi sudah terlambat.
"Begitulah, bagaimana dengan para perampok itu," tanyaku.
"Setelah kau memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi, aku memtuskan mengurung mereka di suatu ruangan. Tentu saja dengan tangan yang terikat di tiang, aku juga menutup mulut mereka, jadi mereka tak mungkin bisa menggunakan sihir."
"Aku akan pergi besok," kataku.
Hamamura terdiam sejenak, lalu menatap ke arah langit malam yang sedang dipenuhi bintang.
"Jadi kau benar-benar akan pergi ya? Rumah kami akan kembali kesepian," begitulah katanya.
"Apa yang kau katakan, rumah itu tidak akan kesepiam dengan ayah dan anak berisik di dalamnya."
"Jadi itu pandanganmu terhadam kami berdua ya? Kau tahu, Aran tidak pernah seceria itu sejak kematian ibunya setahun yang lalu," Hamamura berhenti sejenak, "Tapi sejak kau datang, entah kenapa ia kembali menjadi ceria, jadi aku berharap kau tetap bisa tinggal dirumah kami, tapi kelihatannya itu tak bisa, kau memiliki sesuatu yang harus kau lakukan kan?"
"Ya," kataku.
Aku tak terlalu ingat bagaimana percakapan kami berakhir. Tapi yang lebih penting, pagi hari telah tiba, dan saat ini aku sudah berada di depan pintu gerbang desa Mura.
"Jadi kak Fu akan benar-benar pergi? Tidak bisakah kakak tinggal 1 hari lagi," bujuk Aran sedih.
"Aran!" sang ayah menegur.
Melihat itu, aku melemparkan sesuatu kearah Aran, dan entah kenapa Aran pun berhasil menangkapnya dengan wajah yang terkejut.
"Itu adalah kristal penyembuh untuk menggantikan ramuan yang di berikan ayahmu untuk menyembuhkan kakiku. Dengan begitu aku sudah berterima kasih bukan?" kataku.
"Bukankah kak Fu sudah menggantikannya?"
Telah berjalan menjauh dari desa tersebut, aku masih sempat mendengar suara Aran.
Untuk pertama kalinya, aku melambaikan tangannku kepada Aran selagi masih terus berjalan menjauh tanpa niatan berbalik sedikitpun.
"Jika kakak sedang berada di dekat sini jangan lupa untuk mampir!"
Aku masih dapat mendengar suara teriakan Aran yang cukup keras.
Sebenarnya, aku tak terlalu pandai dengan momen perpisahan seperti ini. Lagipula kami tak akan pernah bertemu kembali.