webnovel

29 Devon

Ada banyak foto kenangan di handphone Bobby, begitu pula di hamdphone Anya. Namun milik Anya sudah rusak selama kuliah, sudah ganti yang baru. Foto Bobby hanya tersisa di jejak digital. Anya tidak pernah melihatnya lagi. Semua kenangan hanya ada di alam bawah sadarnya.

Sejak kecelakaan itu, dunia mimpi Anya berubah total. Ia tak lagi bermimpi kejadian acak atau bunga tidur berbeda setiap harinya. Mimpinya memiliki alur yang pernah dia alami di masa SMA. Bukan mesin waktu, melainkan memori yang masih mengendap di benaknya. Orang bilang, dia tidak move on tapi menurut Anya dia sudah meninggalkan semua masa lalu itu.

Terdengar ketukan pintu di telinga Anya.Matanya terbuka dan semua kembali seperti semula. Pandangan matanya sedikit buram karena baru saja bangun dari tidur.

"Anya, bangun!" seru mama dari luar kamar. Tanpa sadar Anya menggenggam cincin.

"Cincin," gumamnya. Dia segera keluar kamar untuk bersiap ke sekolah. Cincin itu dia simpan di tempat semula. Roti dan telur sudah dihidangkan di meja.

"Ma, tadi malam pulang jam berapa?" tanya Anya begitu ia selesai ganti baju. Ia duduk di kursi depan meja makan.

"Jam sepuluh, kamu udah tidur," jawab mama sembari duduk di seberang Anya.

"Sama om Dewa?" selidik Anya.

Selentingan kabar, mamanya dekat dengan pria bernama Dewa sesekali dia mengantar mama pulang sementara Anya hanya melihat dari balik jendela tanpa bisa melarang karena mama berhak bahagia.

Mama tambah tersenyum malu karena memang wanita seusianya sudah bukan waktunya lagi kasmaran tapi mau bagaimana dia ada seorang janda yang sudah lama kesepian dan ingin membangun sesuatu yang baru dengan orang yang berbeda.

"Nggak apa-apa mah karena semua harus bahagia termasuk mama mau umur berapa pun kalau Mama pengen nikah ya silakan aja," ucap Anya.

"Kamu dulu aja, mama cuma sekedar saling memgisi aja sama om Dewa. Kalau target nikah masih jauh lagian mama juga udah tua. Giliran kamu kalau mau menikah," ujar mama.

"Aku juga masih belum berpikiran ke arah situ karena masih ingin mengajar, berkarya, dan bekerja. Masalah menikah biar waktu yang mengarahkan," kata Anya.

"Untung Jenan betah nungguin kamu kalau nggak gitu mungkin dia udah nyari cewek lain," goda mama sembari sarapan. Mereka keasyikan ngobrol sehingga lupa kalau ada makanan di depannya.

"Jenan sibuk kerja lagian kalau ditanya dia cuma bilang terserah. Lah, aku jadi bingung," keluh Anya.

"Berarti dia nunggu keputusan dari kamu," ucap mama semangat.

"Aku masih 25, Ma. Aku juga heran mudah-muda sekarang berlomba-lomba untuk menikah lebih dulu, mungkin pola pikir mereka menunjukkan kalau menikah adalah prestasi," tutup Anya sebelum menyelesaikan sarapan. Terdengar klakson mobil sehingga ekspresi mama berubah, dia buru-buru berangkat ke kantor padahal biasanya Anya yang lebih dulu berangkat.

"Om Dewa?" tanya Anya. Mama tidak menjawab, dia hanya tersenyum kemudian pamit ke kantor. Anya mencium tangan ibunya.

"Hati-hati, Ma."

Mamanya saja sudah memulai kisah cinta baru sementara dirinya masih ada di waktu di mana tak pernah kembali. Segala cerita yang pernah ada yang hanya tersisa Kenangan harus dia jalani kembali di dalam mimpinya. Itu bukan mau Anya. Namun semua itu harus ia pertanyakan apabila nanti bertemu lagi dengan Bobby. Sejuta tanya mengapa tak habis dalam benaknya

"Waduh! Lima menit lagi," tukas Anya panik. Tak disangka taksi datang secepat itu. Dia segera merapikan baju dan meraih tas bawaannya.

"Devon Rasya, B 1157 GHW," Anya menggumamkan nama driver dan plat nomor mobil. Dia segera menunggu di depan rumah dan tak lama mobil yang dimaksud berhenti di depannya.

"Tujuan sudah sesuai?" tanya Driver.

"Iya," jawabnya begitu sudah nyaman duduk di jok penumpang.

Anya baru melihat foto driver di aplikasi. Wajah itu benar-benar tidak asing. Kulit putih dan mata sipit menjadi ciri khas dari orang yang sangat dia kenal bahkan mengisi mimpinya.

"Bobby?"

Nama itu jelas meluncur dari bibirnya. Driver itu langsung menoleh sambil tetap berhati-hati karena nama itu juga menggelitik di hatinya.

"Bobby itu nama sepupu saya, memang saya sering dikira Bobby karena wajah yang mirip. Sekilas memang Mirip tapi kalau diperhatikan lagi udah beda," katanya sambil menyetir.

"Bobby di mana? Bobby Hanggara, kan?" tanya Anya. Pertanyaan itu sudah ia tanyakan ratusan kali tanpa ada jawabannya.

"Mbak adalah orang ke seratus yang tanya keberadaan Bobby ke saya. Dan ini jawaban ke seratus juga kalau saya juga tidak tahu Bobby dan keluarganya ada di mana," jelasnya.

Rasa kecewa kembali timbul di benak Anya karena bahkan sepupunya sendiri tidak tahu keberadaan Bobby. Lantas di mana? Apa Bobby ada di perut bumi?

"Kenapa nggak tahu?" tanya Anya kecewa.

"Kami sekeluarga dan saudara lainnya juga bingung karena Om David sekeluarga tiba-tiba menghilang begitu saja. Entah pergi atau kabur dari sesuatu. Perumahan yang mereka miliki juga tiba-tiba pindah tangan," jawab Devon lagi.

"Aku ada urusan yang belum selesai dengan Bobby, kalau memang nantinya kita nggak bersama lagi paling tidak ada jawaban dari semua pertanyaanku," curhat Anya.

"Mbak mantannya Bobby?" tanya Devon. Ia menyimpulkan dari kalimat yang dilontarkan Anya.

"Bisa dibilang aku adalah sepenggal kisah dari masa sma-nya."

"Bobby kan, SMK?"

"Sama aja."

"Heran sama dia, padahal anak orang kaya malah masuk ke SMK bukannya sekolah internasional atau sekolah di luar negeri gitu?" ucap Devon.

"Bobby bilang dia ingin bergabung dengan masyarakat, dia selalu berpikir semua manusia itu sama. Mau kaya ataupun miskin," kenang Anya.

"Padahal kalau mau dia bisa beli SMK tempat dia sekolah dulu," balas Devon.

Perjalanan pagi itu menyesakkan dada. Tanpa disangka dia bertemu dengan sepupu Bobby yang harusnya tahu keberadaan orang itu. Namun nihil, tak ada petunjuk sama sekali.

"Mungkin kamu tahu petunjuk keberadaan Bobby sekeluarga?" desak Anya. Dia tak mudah percaya siapa tahu ada yang disembunyikan.

"Terakhir kali Bobby cerita tentang usaha yang keluarga mereka buat di Taiwan. Usaha itu lumayan sukses meskipun agak kurang laku pada awal buka."

"Usaha apa itu?"

Anya terus menggali lebih dalam Siapa tahu dia bisa merangkai segala petunjuk.

"Perbankan dan franchise minuman, tapi aku lupa namanya. Bobby itu cuma cerita sekilas aja kalau semua bisnis itu milik orang tuanya," kata Devon.

"Bobby memang ingin punya usaha sendiri makanya dia masuk SMK jurusan teknik mesin agar dia punya usaha sendiri di bidang otomotif, dia akan bangga meskipun hanya punya bengkel tapi itu atas nama Bobby Hanggara sendiri tanpa sponsor dari kedua orang tuanya," kenang Anya lagi. Pertemuan dengan Devon membuka kembali kenangan itu. Hanya khawatir dunia nyata dan mimpinya tertukar sehingga dia mencubit punggung tangannya. Tidak, ini bukan mimpi.