Penyesalan menguasai hatiku, jika saja aku bisa menahan diri semua ini tidak mungkin terjadi. Jika saja aku tidak menghampiri, maka Yuri pasti masih disini. Jika saja aku mendengarkannya, Yuri tidak perlu mengorbankan dirinya. Jika saja, jika saja, jika saja, hanya itu yang bisa ku sesali.
Michael terdiam dan menatapku penuh sesal, namun aku tidak mengidahkannya. Hatiku di penuhi penyesalan dan tangisan, aku tidak menerima ini. Aku menatap tajam pria yang berdiri dengan senyum di wajahnya, senyumnya yang mengingatkanku akan penderitaan kehilangan. Aku membencinya, aku membenci penghinaan yang ia lakukan. Aku menatap Michael, dan meminta izin pada Michael untuk menghabisi pria menjijikan.
Aku kembali meletakkan tubuh Yuri perlahan, dan malangkah mendekati pria pembunuh itu. Tatapanku kosong namun tajam, sarat akan kebencian. Tubuhku lemah, namun terasa ringan dan nyaman. Aku menyerangnya membabi buta, memukul, menendang, menjatuhkan, dan memberinya terus menerus penderitaan.
Pria bodoh itu kini tersungkur ditanah, tubuhnya di banjiri darah. Namun ia belum juga mati, tanpa rasa simpati atau apapun aku menembaknya dengan pistolnya sendiri tepat pada jantungnya.
Aku berbalik, tidak perduli lagi pria itu hidup atau mati. Yang utama saat ini, aku harus membawa Yuri ke rumah sakit.
"aku pergi duluan, kau bantulah Jhon." ucapku pada Michael dengan wajah tanpa ekspresi.
"tapi kau juga terluka, obatilah dulu lukamu." pinta Michael dengan suara paraunya.
aku melangkah begitu saja menuju mobil yang terparkir di depan gang kecil, langkahku tertatih. Namun aku tidak perduli, aku harus membawa Yuri ke rumah sakit. Yuri harus selamat, kesalahan yang sama tidak boleh terulang.
Dengan gemetar di seluruh tubuhku, aku mengemudikan mobil. Membawa tubuh Yuri yang semakin pucat ke rumah sakit, aku akan memaksa dokter untuk menyambuhkannya.
.
.
.
.
.
Sesampainya di rumah sakit aku berteriak pada suster untuk segera membawa Yuri untuk perawatan, terserah mau dianggap gila atau apapun Yuri harus selamat. Aku tidak bisa bayangkan jika sesuatu terjadi karena kebodohanku lagi, aku menyesal sungguh-sungguh menyesalinya.
Aku menunggu dengan cemas, semoga harapanku terkabulkan. Namun, belum juga 15 menit didalam sana. Dokter Rian kembali keluar dan menghampiriku, aku tau ia akan mengatakan apa. Aku tidak akan mendengarnya, aku tidak menerimanya.
"nona, bersabarlah" ucap dokter Rian padaku.
"tidak, Yuri selamat. Aku yakin, Yuri pasti selamat." aku berguman, meyakinkan diri dengan yang terjadi.
"nona, tolong terimalah! Gadis itu, dia telah tiada beberapa menit yang lalu. Pelurunya menembus bagian vitalnya, membuat oksigen terlambat sampai ke jantungnya. Ia sudah meninggal." jelas dokter Rian serius.
Aku menatap dokter Rian tajam, tidak terima dengan penjelasan yang ia berika.
"kau bohong! Yuri masih hidup!" tukasku sarkas, lalu melangkah memasuki ruangan dimana Yuri berada.
Aku terhenti saat tubuh Yuri terdiam kaku di depanku, air mataku kembali mengalir dengan sendirinya.
"kau membohongiku bukan? Bangun Yuri! Ayo bangun!" teriakku memaksa.
"kau tidak mungkin mati bukan? Bangun Yuri! Kumohon bangunlah!" teriakku lagi tidak terima.
Aku terus berteriak, tapi tubuh itu tetap diam. Tidak bergerak dan tidak bersuara, tubuhku melemah. Aku terjatuh, jatuh dalam penyesalan yang sama.
"akhhhhhhhhhhh" teriaku menyesal.
Tiba-tiba aku terdiam, air mataku berhenti mengalir. Wajahku amat dingin, seperti hatiku yang mulai membeku. Aku tidak mengerti kenapa air mataku tiba-tiba mengering, disaat yang sama sebagian hatiku membeku. Aku merasa hampa, dingin, sepi, sedih, dan tidak lagi merasakan cinta.
Aku berdiri, melangkah mendekati jasad Yuri. Menatapnya, tanpa niat untuk menyentuh atau berteriak seperti sebelumnya.
"maaf, Yuri" gumamku, lalu aku melangkah keluar dari ruangan itu.
Dokter Rian akan menghampiriku, sejak tadi ia memang berdiri menungguku di depan ruangan ini.
"nona, tolong tenanglah. Jangan sakiti dirimu sendiri, ini semua takdir." nasihat dokter Rian padaku.
Aku mengabaikan semua perkataannya, dan mengatakan sesuatu seperlunya saja.
"urus pemakamannya" titahku, lalu aku pergi meninggalkan rumah sakit ini.
.
.
.
.
.
Aku melangkah entah kemana, langkah yang kosong dan hampa. Hatiku mencelos, rapuh bagaikan kayu yang siap hancur. Lagi-lagi kebodohanku membuat aku kehilangan seseorang yang berharga, apa yang harus aku lakukan sekarang? Meminta maaf? Untuk siapa?
Terkadang aku berpikir, apakah ini kesalahanku? Atau takdirku yang memang tidak bagus? Aku merasa hancur, kehilangan mama, papa, dan kini Yuri. Satu-satunya orang yang menganggapku teman dengan tulus telah pergi, meninggalkanku sendiri dalam kekejaman ini. Lalu aku harus apa?
Hanya tersisa kak Kiano yang ku punya saat ini, aku akan menyusulnya dan hidup bersamanya. Aku tidak akan lagi membiarkan kebodohanku membuatku kembali kehilangan, kehilangan mereka yang paling berharga.
Aku mengambil ponsel yang ada di sakuku, lalu aku menghubungi kak Kiano yang berada di Paris. Terdengar suara nada sambungan, lalu sesaat kemudian berubah menjadi suara seseorang yang sangat aku kenal.
"halo, Kisha?" sapa kak Kiano padaku.
"kakak, aku rindu" ungkapku pada kak Kiano, tanpa sadar air mataku kembali mengalir.
Entah keberapa kalinya aku menangis hari ini, sungguh aku cengeng sekali saat ini. Tapi inilah diriku yang sesungguhnya, rapuh dan hampa.
"ada apa Kisha? Kamu baik-baik saja bukan?" tanya kak Kiano khawatir.
"hm, aku tak apa" jawabku berbohong.
"baguslah, datanglah kalau kamu rindu pada kakakmu ini. Aku akan menjemputmu di bandara nanti, kau mau?" tawar kak Kiano padaku.
"hm, aku akan datang" jawabku jujur.
"baiklah, aku tunggu kedatanganmu." balas kak Kiano, lalu sambungan telpon kami terputus.
Aku menatap sedih ponsel di tanganku, hatiku merasa bersalah karna sudah membohongin kakak yang paling kusayangi.
"bagaimana mungkin aku memberitahumu kak, kalau aku hancur. Aku tidak baik-baik saja, aku terluka. Aku butuh dirimu kak, aku butuh kakak." teriakku meluapkan emosi yang tiba-tiba keluar dari hatiku, dan membakar perasaan yang kian terkikis.
Aku jatuh terduduk, memeluk erat lututku dan larut dalam kesedihanku. Sampai suara seseorang dapat kudengar, dan aku sangat mengenal suara ini.
"sampai kapan kau akan begini?" tanya Michael yang tiba-tiba ikut terduduk di sampingku.
Aku tidak menjawabnya, aku mengabaikannya. Membiarkan rasa ini membakarku sendiri, setidaknya itulah yang seharusnya terjadi.
Tanpa kusadari Michael memelukku, membiarkanku menangis di dadanya. Perlakuannya ini membuatku merasa hangat, namun entah kenapa air mataku malah semakin deras keluar.
Aku semakin terisak, terus menangis sampai baju yang di pakai Michael basah. Namun pria itu tidak mengatakan apapun, hanya mengusap punggungku perlahan menyalurkan kehangatan. Aku menangis sampai benar-benar puas, bahkan sampai air mataku tidak lagi ingin keluar.
Setelah puas aku bersandar pada bahunya, sedikit mengangkat wajahku yang memerah dan sembab.
"sudah puas?" tanya Michael padaku.
Aku hanya menggeleng pelan, tidak berniat untuk menjawab pertanyaannya.
Keheningan kembali menguasai, tidak ada lagi yang bersuara di antara aku ataupun Michael. Tanpa berbicara lebih banyak, Michael mengantarku pulang ke rumah sewaku.
Dan itu menjadi pertemuan terakhirku dengannya di kota ini, aku memutuskan untuk menjauhi semua hal yang berhubungan dengan tragedi kelam itu.
.
.
.
.
.