webnovel

Perjalanan Dimulai II

Kedatangan Profesor

***

Sunyi, itulah yang ditangkap indera Profesor, dia menyadari tengah berada di atas kabin kapal. Ukurannya terbilang kecil sehingga bisa disebut perahu, diperkirakan hanya dapat memuat sekitar 10 orang penumpang. Profesor menatap sekitar dan mendapati dirinya seorang diri, kemudian ia memilih untuk berkeliling melihat-lihat.

Kapal ini memiliki sebuah tiang tepat berada di tengah, tidak lupa dengan layar sebagai penghias. Ukiran kepala naga terlihat di bagian mulut kapal, di bagian belakang terdapat sebuah kabin dua lantai dengan tangga di kedua sisi, pintu kabin tepat di tengah setiap lantai, sebuah kemudi kapal terlihat di atas kabin kapal.

Setelah berkeliling sembari mengamati, Profesor tidak menemukan siapa pun di atas kapal ini. Tetapi dia menemukan persediaan makanan selama satu bulan, hanya saja untuk kebutuhan satu orang. Dia juga mendapati satu porsi makanan lengkap di dapur, tetap saja ia tidak menemukan tanda-tanda kehidupan. Siapakah orang yang membuat atau akan memakannya?

Profesor bertanya-tanya, ia penasaran bagaimana mungkin sebuah perahu berlabuh tanpa seorang pun di dalamnya. Terlebih koordinat Edi berada di tempat ini, anehnya dia tidak menemukan bocah itu. “Mungkinkah koordinat yang ditunjukkan salah?” pikirnya. Namun, semua itu segera ditepis mengingat teknologi-nya selama ini belum pernah meleset sedikit pun. Ada kemungkinan faktor lain yang mengakibatkan kejadian ini, apa pun itu Profesor harus menemukan jawabannya segera.

Pada akhirnya Profesor memilih untuk menyusuri lorong kabin, tempat kamar (calon) awak kapal berjejer. Suasana yang begitu sunyi membuat Pria itu bisa mendengar suara sol sepatu sendiri, belum lagi bunyi berderit lantai kayu dan deburan ombak. Sayup-sayup telinganya mendengar suara, Prof menurunkan kecepatan untuk memastikan suara itu. Huhuhu....

Meski lirih Profesor bisa menebak suara apa itu, suara tangisan. Dia segera mempercepat langkah setelah memastikan dari mana asalnya, sumber bunyi itu tepat berasal dari pintu kamar di ujung lorong. Semakin dekat dengan sumber suara, Profesor mulai yakin bila ada orang di sana, siapa pun itu tidak penting selama dia bisa menemukan jawaban dari teorinya.

Begitu tiba di ujung lorong, Profesor membuka paksa pintu hingga menimbulkan bunyi, Brakkk. Seorang bocah masih mengenakan seragam Sekolah Dasar duduk beringsut di atas kasur, kepala menunduk dengan kedua kakinya sebagai tumpuan serta kedua tangan yang saling tertaut erat.

“Itukah kamu, Edi?!” teriaknya membuat bocah itu berhenti menangis, suasana seketika menjadi sunyi.

Perlahan Bocah itu mengangkat kepala, terlihat wajahnya yang sembab, menunjukkan dia sudah menangis cukup lama. Raut mukanya begitu kusut memperhatikan Profesor, sejenak dia terdiam mengamati Pria yang berdiri di bibi pintu hingga dia menyadari bila itu adalah Profesor.

Wajahnya menjadi sumringah setelah mendapati ada orang lain, Begitu terkejut-nya seolah tidak percaya dengan kejadian ini. “Prof, itukah anda!?” lirih Ed dibalas anggukan oleh Profesor. Sontak bocah itu segera bangkit dan berlari ke arah Profesor, "Prof.... A-akhirnya anda datang. Huwaaa...." isaknya sambil memeluk Profesor dengan erat, dia kembali menangis.

Profesor tersenyum penuh arti, kemudian membalas pelukan Edi dan membelai punggungnya. Kemudian Profesor menunduk, lalu berbisik di samping telinga bocah itu, "Maaf, saya datang terlambat Edi."

....

"Terima kasih, Profesor ... Saya sudah merasa lebih baik." Edi melepaskan pelukan setelah merasa baikan, tangannya mengusap air mata yang masih tersisa.

"Tentu saja, saya pasti datang karena saya sudah berjanji akan membantu kamu."

Profesor mengelus rambut Edi pelan, dia tahu bagaimana rasanya bila mengalami kejadian ini. Bayangkan saja ketika kamu ditinggal seorang diri di suatu tempat yang tidak diketahui, belum lagi ia masih bocah --tepatnya berusia sembilan tahun.

Kruyuuk.... Suara keras menggema diantara mereka. ‘Eheheh….’ Edi hanya menunduk malu sambil memegang perut, sudah sewajarnya dia kelaparan setelah tidak makan sepanjang hari, meringkuk di dalam kamar seorang diri.

Profesor tersenyum kecut mendengarnya, dia bisa menebak dari mana asalnya. "Astaga! Suara monster dari manakah itu?" goda Profesor mengeluarkan sebuah apel dari kantong jas, beruntung dia sempat mengambil beberapa buah di gudang untuk berjaga-jaga. Siapa yang menduga akan berguna.

Edi memakan apel itu dengan lahap, begitu gembiranya setelah tidak mendapat asupan sepanjang hari. Cukup melihat saja membuat Profesor tidak tega pada bocah itu, nasibnya mendatang tidak akan sama lagi. Profesor meraih lengan Edi lalu menariknya, "Bagaimana kalau kita makan untuk mengisi perut terlebih dahulu?" ajak-nya menggandeng tangan Edi menuju dapur.

....

“Wuahhh...!” Edi menutup matanya dengan tangan untuk mencegah cahaya senja yang menerobos melalui sela pintu kabin. Mulutnya terbuka lebar setelah melihat pemandangan lautan luas di depan matanya.

“Apakah kamu sudah mengingat sesuatu Edi?” Profesor muncul dari balik kabin setelahnya.

Setelah mengisi perut Edi bercerita bagaimana ia terkirim ke tempat ini, selayaknya bocah Sembilan Tahun dengan mental rendah, Edi begitu terkejut hingga terpukul mengalami kejadian ini. Mengingat kembali kejadian sebelumnya, dia hampir bertemu dengan seseorang di atap sekolah, namun sistem mengirimnya terlebih dahulu ke dalam Gate sebelum sempat melihat siapa orang yang akan ditemui. Saat Sadar Edi sudah berada di atas sebuah perahu, terdampar ditempat asing, terlebih lagi dia hanya seorang diri di atas perahu itu. Bagaimana dia tidak menangis histeris, tanpa tahu tujuan dan arah dia dipaksa untuk datang ke tempat antah berantah. Beruntungnya Profesor datang saat itu, mungkin bila Profesor tidak datang, Edi belum pasti berhenti terpuruk.

Profesor hanya bisa tersenyum kecut mendengarnya, menurut ia ini hanya kebetulan. Profesor menjelaskan ketika dia ingin menemui Edi, pada saat itu juga Gate terbuka, hal itu yang membuat Profesor ikut di-transfer ke dalam Gate. Meskipun begitu, Profesor menganalisa jika dia tidak berkaitan dengan Gate ini. Berbeda dengan Edi, sebagai seorang Shikai ia akan diikutsertakan menjadi salah satu makhluk di dalam Gate.

Profesor berpesan agar di masa mendatang tidak terlalu bergantung padanya, karena tidak ada jaminan dia bisa bersama Edi setiap saat. Kemungkinan ini hanya kebetulan belaka, Profesor tidak bisa menjamin bila dirinya dapat mengunjungi Gate di lain waktu, walaupun dia bisa mendeteksi lokasi para Shikai. Ibarat kamu memiliki peta tapi tidak ada alat transportasi, layaknya navigasi kompas tanpa kapal.

Edi melirik Profesor sejenak, kemudian kembali menatap indahnya langit senja, ditemani dengan riak air laut. Dia tersenyum kecil kemudian berkata, “Aku dan Dwi menyukai kisah itu, Prof.”

Menurut Edi tempat ini hampir mirip dengan kisah seorang anak yang mengarungi samudra demi menggapai impiannya, dia ingin seperti saudara-saudaranya yang juga menjelajahi dunia lebih dahulu. Begitu banyak lika-liku ditemui, tidak hanya sekedar pesaing namun juga masalah yang menjumpai silih berganti. Bertemu dengan beragam orang, serta makhluk legenda, tidak lupa mendapatkan teman yang mau berjuang bersama. Semangatnya tidak surut sedikit pun, setelah menghadapi berbagai rintangan dan ujian dalam perjalanan, tekadnya tetap membara tidak mau kalah dengan luasnya samudra yang diarungi.

Edi berlari menuju bagian depan perahu, tepatnya haluan perahu, dia berteriak lantang, “Aku datang Dw!”. Kemudian dia naik ke atas lingga perahu yang berukiran kepala naga, lalu duduk di ujung kepala ukiran naga. Edi tersenyum menikmati keindahan yang disajikan alam, semilir angin menerpa lembut pakaian dan rambutnya, ditambah langit senja yang menyejukkan pandangan. Prof menyunggingkan bibir melihat tingkah bocah itu, lalu berjalan ke arah kemudi perahu bersiap mengubah haluan.

“Em, Ano... Ke mana kita akan pergi Prof?“ Edi menoleh ke arah Profesor, membuat Pria itu tertawa sejenak. Profesor mengamati arloji di lengan kanan, kemudian memegang kemudi perahu. “Ikuti saja alur ceritamu, Edi...” gumamnya sembari mengarahkan kemudi ke arah barat daya, menuju titik hitam di ujung sana, di balik arah langit senja.

....