SRAK!!
SRAK!!!
Dini hari. Seorang pria dengan tubuh tinggi, besar, dan kekar menyeret sebuah kantong hitam masuk ke dalam pabrik tua. Pabrik itu telah lama di tinggalkan karena pembunuhan masal yang pernah terjadi oleh sekelompok teroris. Dari jejak seretan, terligat darah segar membekas dan mengecap masuk ke pori-pori lantai beton yang mulai retak.
"Tolong!! Tolong lepaskan aku!! Aku hanya gelandangan, aku tak punya uang!!" Seorang lagi berteriak dari dalam mobil jeep hitam.
Pria berkulit merah bata itu kembali menghampiri mobil Jeepnya. Ia kembali setelah melemparkan kantong tadi ke dalam bak penuh dengan potongan tubuh manusia lainnya. Kepala, kaki, tangan, telinga berserakan dan berbau sangat busuk. Darah segar masih menetes dari bak itu, anyir dan membuat mual semua orang yang menghirupnya.
"Lou, kapan kau akan menguburnya? Baunya sangat busuk!!" teriak pria kekar itu pada pria yang lebih kecil di ujung ruangan.
"Aku menunggu yang satu ini. Aku tak ingin lelah menggali tanah berulang-ulang." Lou menendang kantong basah di depannya.
"Tolong!!!" teriak seorang gelandangan dari balik kain hitam. Pria kekar yang menyeretnya memang sengaja menutup kepala gelandangan itu dengan kain hitam.
"Diamlah!!!" bentak pria itu, lalu kembali menyeretnya dengan kasar.
"Dasar sampah-sampah lemah!! Yang ini juga sangat lemah!! Mati hanya dalam satu serangan." Lou mengeluarkan tubuh mengerikan dari dalam kantong. Lubang besar mengangga di dadanya, jantungnya menghilang karena koyakan kuku-kuku tajam.
"Di mana Tuan, Lou?" tanya Aska, pria kekar dengan rambut botak yang bertugas menjadi pembersih sampah tuannya itu.
"Dia di dalam, masih ngobrol dengan Yoris," jawab Lou, bagiannya adalah menguburkan sampah yang dibawa pulang Aska.
"Cih, manusia itu, apa hebatnya dia?"
"Jangan kau remehkan dia, As. Dia berhasil membunuh Nera di depan Gin dulu. Itu bukan hal yang mudah, mengingat betapa kuatnya Gin." Lou mengambil skop dan juga ember plastik.
"Dia sudah tua sekarang."
"Tapi kemampuannya sebagai seorang Silver Arrow tak pernah diragukan." Lou menyeret tubuh penuh bulu itu ke luar.
"Apa yang kalian bicarakan??! Tolong lepaskan aku ...!" Tubuh yang diseret Aska kembali meronta-ronta. Sejenak Aska lupa pada serangga lemah di tangannya.
"Diam kau!! Dasar manusia hina!" bentak Aska, dan manusia itu pingsan karena ketakutan.
"Silver Arrow hanya tinggal nama."
"Setidaknya mereka pernah jadi pemburu kaum kita, yang terbaik di dunia," jawab Lou seraya meninggalkan Aska.
ooooOoooo
BLAM..
KRAK!!!
Kepulan asap membumbung tinggi saat sebuah pohon tumbang karena pukulan Nakula. Pohon itu jatuh dan menghantam tanah, debunya menyebar di sekitar benturan. Gin berhasil menghindari pukulan mematikan itu. Nakula terlihat sebal, orang tua itu masih segesit biasanya. Nakula melepaskan bajunya, otot tubuhnya yang kencang dihiasi beberapa bekas luka yang tak beraturan. Werewolf tak pernah memiliki bekas luka karena regenerasi mereka yang sangat cepat. Tapi Nakula memilikinya. Bahkan tidak hanya 1, dan bekas luka itu terus berdenyut saat Nakula mengingatnya.
"Jangan terus kabur, Gin!!" teriak Nakula, ia berubah menjadi manusia serigala berwarna hitam legam.
"Pangil aku Daddy, Naku!!" Gin keluar dari balik pohon pine.
"No." Nakula kembali berlari dan meloncat dengan gesit dari bawah dan melewati beberapa pohon besar menuju ke posisi ayahnya.
SRAK!!
Cabikan kuku Nakula membuat Gin mundur beberapa langkah ke belakang. Darah mengalir, jas mahal yang dikenakannya robek. Gin menyeringai senang, anaknya ini benar-benar mewarisi darah seorang petarung sejati bangsa werewolf darinya.
"Kau semakin hebat, Naku," puji Gin.
"Tentu saja. Kau kira aku hidup hanya tahu menghabiskan uangmu?" Nakula kembali menyerang Gin yang juga sudah berubah menjdi manusi serigala.
"Tapi kau tetap tak mau tunduk padaku, Naku?!" Gin masih berharap Naku masuk ke dalam packnya, dan membantu Sadewa nantinya.
"No way, uangmu memang hak-ku, tapi mengikutimu bukan kewajibanku." Nakula mencabik bagian bawah kaki Gin, Gin melompat menjadi serkor serigala besar dengan bulu hitam, dan sedikit putih di bagian lehernya.
"Bagaimana bisa Naku tak tunduk pada seorang Alpha?!" Gin berdecak sebal, Nakula tidak seperti Sadewa yang penurut. Dia sangat pemberontak, punya aura dan perdiriannya sendiri.
Werewolf selalu memiliki seorang Alpha, bahkan untuk lonely wolf sekalipun. Lonely wolf adalah sebutan untuk werewolf yang telah keluar dari pack mereka. Saat mereka melihat bekas Alpha mereka, mau tidak mau mereka akan tetap tunduk padanya. Itu sudah menjadi aturan dalam sirklus kehidupan seorang werewolf. Berbeda dengan Nakula, ia seakan-akan adalah Alpha itu sendiri, sama sekali tak ingin tunduk atau pun menurut pada Gin.
"Jadi mau apa kau mencariku? Tentu saja bukan untuk membunuhkukan?" Gin menerkam tubuh Nakula, menghentikan gerakan gesit Naku dengan mudah.
"Sialan, aku berharap aku bisa membunuhmu." Nakula menghentikan perubahannya dan kembali menjadi manusia. Gin pun begitu. Lalu ia membantu Nakula berdiri.
"Apa yang membuatmu mencariku, Naku?" Gin membersihkan dirinya dari tanah merah.
"Bagaiama cara menemukan mate, Gin? Bagaiamana kau mengenalinya?"
"Mate adalah belahan jiwamu, Naku. Kau pasti akan langsung mengenalinya." Gin berjalan di samping Naku.
"Bagaimana caraku mengenalinya? Yang jelas donk!!" Nakula masih tak mengerti ucapan Ayahnya.
"Kau akan selalu mencarinya, Naku. Merindukan wangi yang keluar dari tubuhnya, selalu ingin mengelus bulunya yang lembut." Gin menerawang jauh, ia mengingat Nera. Mengingat halus dan lembut bulunya yang seputih salju, juga manik matanya yang seindah langit malam.
"Bagaimana kalau dia manusia?" Nakula bertanya. Gin menghentikan langkah kakinya.
"Werewolf tak pernah memiliki mate seorang manusia. Mereka bisa mati. Kalau hanya sekali berhubungan badan mungkin tidak akan terlalu berpengaruh, Naku." Gin kembali melanjutkan langkahnya. "Tapi kalau berkali-kali, dia bisa mati, auramu akan menghisap jiwanya." tambah Gin. Pasangan werewolf memang saling berbagi jiwa mereka, berbagi kekuatan.
"Tapi kau bisa melakukannya dengan wanita itu dan menghasilkan kami berduakan," ledek Nakula.
"Saat itu aku dalam keadaan lemah, Naku. Dan semakin lemah karena baru saja kehilangan seorang mate." Gin menatap langit senja.
"Selemah apa?" tanya Naku.
"Saat itu mendekati gerhana bulan. Werewolf akan kehilangan 80% kekuatan mereka. Aku bahkan tak ingat berapa kali kami melakukannya malam itu." Gin kembali berjalan dan menyelusuri jalan setapak menuju mansionnya.
"...." Naku terdiam. Jadi Liffi bukan matenya.
"Apa kau menyukai seorang manusia, Naku? Bukankah tidak sekali dua kali kau berhubungan dengan manusia?" tanya Gin.
"Dia berbeda, aku tahu itu."
"Cukup jadikan dia Pet-mu. Saat kau menemukan Mate, sudah pasti kau akan meninggalkannya, jangan terlalu kau pikirkan." Gin menepuk pundak Nakula dan mendahului Nakula yang masih kebingungan.
Mana mungkin aku meninggalkannya, kakiku saja selalu pergi untuk mencarinya. pikir Nakula sebal.
ooooOoooo
Di tempat lain, Liffi baru saja menyelesaikan kelasnya. Masih tinggal di dalam kelas karena tugas kuliahnya menumpuk. Liffi sudah kembali berkuliah. Malam ini dia harus menyelesaikan tugas gambar rancang bangun sebuah villa di pinggir pantai.
"Sebenarnya apa hubungan Black dan tuan Sadewa ya? Wajah mereka sangat mirip." Liffi mengigit ujung pensilnya, masih bertanya-tanya apakah keduanya adalah saudara kembar.
Liffi kembali teringat dengan pernyataan Sadewa kemarin. Wajahnya merona sangat merah saat mengingat wajah tampan Sadewa yang terlihat malu-malu.
"Oh, Tuhan, kalau Black seperti kucing hitam, Tuan Sadewa terlihat seperti anak anjing yang imut saat melihatku." Liffi membenamkan wajahnya ke lipatan siku.
Niatnya sih ingin menghentikan lamunan ini dan kembali menggambar tugasnya yang tertinggal. Tapi semakin ingin melupakan kejadian itu Liffi malah semakin mengingatnya.
"Agh aku harus menyelesaikan gambarku!!" Liffi mencambuk dirinya sendiri, menghilangkan lamunan tentang pria-pria tampan yang muncul dalam kehidupannya belakangan ini.
.
.
.
"Akhirnya selesai juga gambarnya." Liffi tersenyum puas. Ia merenggangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Mencari kenyamanan untuk punggungnya yang mulai lelah.
"Ugh ... capek. Ayo segera pulang dan tidur." Liffi bergumam sembari memasukkan laptopnya ke dalam tas, ia lalu beranjak meninggalkan kelas.
Matahari sudah tumbang di sebelah barat, berganti jaga dengan sang rembulan. Liffi berjalan bersama dengan mahasiswa lainnya di jalanan sekitar kampus. Lampu-lampu taman mulai menyala, dan anak-anak muda mulai nongkrong untuk sekedar makan atau mengobrol sambil melepaskan penat. Kehidupan Kampus yang sama seperti biasanya, namun berbeda bagi Liffi, karena malam itu sebuah kejadian singkat telah berhasil membuat hatinya begitu terluka. Menorehkan lara.
"Gilang, kemarilah!" Suara seorang wanita mengagetkan Liffi, ia memanggil nama yang sangat dikenalnya.
"Gilang ...?" Liffi langsung berbalik dan celingukan ke kanan dan kiri mencari sumber suara, mencari sosok yang sangat dirindukannya. Iya Gilang, dia mencari Gilang.
ooooOoooo
Hallo, Bellecious
Jangan lupa vote ya 💋💋
Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️
Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana