webnovel

1. Sedingin Salju yang Turun

Musim dingin ini berlangsung lebih lama. Bahkan di tengah kerumunan yang berduka, salju masih terus turun. Sementara anak lelaki lima tahun itu juga masih berdiri sendiri di depan makam ibunya. Tidak ada seorang pun di sekitar memiliki niat menggenggam tangan kecil yang dingin itu.

Dalam hatinya, Rei merasakan sedikit sesak. Ia tidak tahu harus bereaksi bagimana lagi. Sepanjang hidupnya, Ibunda hanya terbaring di kasur. Tidak sering berbincang, apalagi berinteraksi dengannya. Meskipun diam, Rei tahu jika ibundanya selalu mendukungnya. Ia sedikit menyayangkan karena tidak bisa melakukan hal lebih bersama.

Kini, ia tidak tahu siapa lagi yang akan tulus mendukungnya. Ayahnya, Duke Dementria—Reynold Dementria—terlalu sibuk dengan keluarga baru daripada mengurusinya. Di hari kematian istri pertamanya pun, ia lebih memilih menemani kelahiran putra barunya. Jelas sekali, dukungan tidak mungkin berpihak pada Rei.

Sekarang, orang-orang yang menghadiri pemakaman juga tidak bisa mengelak dari perbincangan politik dengan Rei sebagai bidak mereka. Menurut mereka,  anak lima tahun lemah seperti Rei pasti mudah dikendalikan. Melalui Rei, mereka berpikir, pasti mudah mengambil alih kekuasaan yang dipegang Duke Dementria saat ini.

"Rei, kalau kamu butuh bantuan, bisa menyurati Bibi, oke?" Seorang wanita menghampiri. Ah, Rei ingat. Dia, Count Demi yang sering menyindir ketidakhadiran ibunda dalam acara pergaulan kelas atas. Seringkali ia membuat candaan atas penyakit ibunya.

"Ya."

Namun, ia harus menurut. Ia harus menurut untuk terus hidup. Walaupun, Rei tidak mengerti, mengapa ia harus melanjutkan hidupnya.

Begitulah bagimana ia mengikuti pemakaman ini hingga akhir.

***

"Ahk!"

Pria dewasa itu tumbang begitu menerima serangan di bagian kiri perut.  Di sisi lain, Rei terus menyerang. Ia menyerang seolah batu yang tadi dibenturkan di punggungnya, tidak berpengaruh.

Darah mengalir deras, mengotori hamparan salju putih. Pria itu akhirnya mati setelah Rei menikamnya puluhan kali. Setelah mati pun, Rei masih lanjut menyerang. Ia tidak tahu kenapa kepalanya masih terasa panas. Rasanya ingin menangis, tetapi tidak bisa.

Dari kejauhan, ia menyadari rekan pria itu datang. Rei tidak sempat pergi, nyerinya baru dirasakan betul sekarang.  Rekan pria itu reflek menarik syal yang dikenakan Rei. Otomatis ikut mengangkat tubuh kecil Rei.

"Apa yang kamu lakukan padanya, hah?!"

Lucu sekali, mereka yang menyerang duluan, mereka juga yang merasa dipojokkan. Tidak berselang lama, tubuh Rei dilempar ke bawah tebing. Tidak begitu curam, tetapi cukup untuk membunuh anak kecil jika terjatuh ke dalam.

Amis. Darahnya membasahi seluruh tubuh. Rei ingin jujur, sekujur tubuhnya benar-benar sakit. Ia tidak bisa bergerak lagi. Tetapi, untuk tubuh lemah sepertinya, sebuah keajaiban untuk karena masih hidup.

Di bawah sini, permukaan air. Dingin menusuknya berkali-kali. Ia berusaha keras menjaga kesadaran.

"Ti ... dak ...."

Kenapa ya ia terus bertahan?

Padahal, sebentar lagi ia pasti mati.

Mungkin ini yang disebut insting alami manusia untuk bertahan hidup.

Rei menggerakkan jari-jemari, sebuah sihir air berubah menjadi es seketika. Ini sihir pertamanya. Keadaan dirinya sendiri sekalipun tidak mendukung.

Ia menyerah dan mulai menutup mata perlahan, biarkan rasa sakit bercampur dingin menggerogoti tubuhnya. Namun, tidak berselang lama, terdengar kericuhan dari atas. Seseorang datang, mendekat, memakaikan sebuah syal kemudian membawanya pergi. Hangat sekali. Sampai-sampai Rei tertidur di pelukan pria itu.

Tebakannya, waktu berlalu hampir sehari setelah kejadian kemarin. Di luar sudah pagi lagi. Rasa sakitnya tidak berkurang banyak, malah beberapa bagian tubuh lebih bengkak dari sebelumnya. Tapi, ini lebih baik dan nyaman.

"Sudah bangun, Ray? Tunggu. Pengucapanmu itu Ray atau Rei ...." Pria muda dengan surai hitam datang, lalu duduk di tepi ranjang tempat Rei singgah saat ini seraya membawa sebuah nampan.

"R-e-i," jawab Rei lirih.

"Ah, berarti bukan bajingan itu yang memberi nama ya. Baguslah."

"Omong-omong, namaku Keiji Miyuki. Adik dari ibumu, Kaede Miyuki," ujarnya memperkenalkan diri. Ia mengaduk pelan sup hangat itu. Ketika sendok dalam pegangannya sudah di depan bibir Rei, Keiji kelihatan bingung. Anak di depannya tidak bereaksi.

"A—buka mulutmu." Rei menurut dan melahap sup hangat itu pelan-pelan.

"Aduh, apa kamu tidak pernah disuapi?"

Rei menelan makanan, baru menjawab. "Tidak."

"Oh ... oke." Keiji memicing mata. Melihat raut anak sekecil itu tidak menunjukkan ekspresi, ia jadi penasaran, apa saja yang telah dilalui Rei selama ini.

Sesekali ia memperhatikan seluruh tubuh Rei lamat-lamat dan berkomentar. "Kamu kecil sekali seperti Kak Kaede."

Rei menelan makanannya pelan. "Iya. Ayah juga sering berkata begitu. Saat saya sakit juga beliau berkata daya tahan saya sama seperti ibu."

Yang mendengar berkedip beberapa kali. Keiji tertawa kecil dan mengusap kepala Rei lembut. "Kamu pintar berbicara ya. Aku—paman tidak terbiasa mendengar anak kecil berbicara seperti itu. Tidak enak didengar saja rasanya."

Sup di mangkuk telah habis, usai menaruh kembali, Keiji melanjutkan pembicaraan. "Biasanya, kalau dengan ibumu, Rei akan berbicara seperti apa? Coba contohkan. Berbicaralah dengan paman seperti bersama ibu."

"Seperti ... Rei akan kembali belajar. Setelah itu, ibu akan sembuh kan?" Rei mencontohkan dengan nada sayu khasnya. "Itu ucapan terakhir Rei dengan ibu."

Keiji bergeming. Meski berujar demikian, Rei tidak terlihat menunjukkan ekspresi apapun. Namun, bagimanapun ia meninggalkan perasaannya, Rei hanya anak kecil.

"Apa Rei merasa sedih?"

Empunya menunduk. "Tidak tahu ...."

"Lagipula jika Rei sedih, orang-orang pasti akan menertawakan Rei," tambah Rei seraya mencengkram selimutnya.

Tangan yang lebih tua itu datang, menggenggam telapak tangan kecil Rei. "Dengar Rei. Tidak apa merasa sedih, takut atau marah. Rei hanya tidak perlu menunjukkan ekspresi itu pada mereka. Kalau di depan mereka, tersenyumlah. Tersenyum walaupun Rei merasa sangat sakit. Mengerti?"

"Iya ..."

"Nah sekarang, coba tersenyum!" Keiji mencontohkan senyuman di wajah. Kemudian Rei menirukan. Tidak buruk, meski terkesan benar-benar terpaksa.

"Hmm, lain kali kita buat senyuman yang lebih alami. Kali ini, lanjutkan pemulihanmu dulu."

Ia beranjak pergi. "Paman tidak akan ke mana-mana. Hanya ada di luar sebentar saja. Rei beristirahatlah. Oke?"

Rei mengangguk pelan. "Oke."

Sepasang kornea bewarna biru itu beralih memandangi jendela yang tertutup. "Dingin lagi ...."

☆ To Your Light: Demetria ☆