webnovel

TINTA MERAH (PARANORMAL)

Melangkah tanpa bunyi, mengiris tanpa hati, berkelana tanpa kaki. Hidup Mora seakan terbuntuti oleh seseorang di balik kegelapan yang bersembunyi. *** Berhadapan dengan hantu secara langsung mengejutkan Mora hingga ke ubun-ubun. Entah dendam apa yang sedang dipendam dan darimana kemunculan mereka, hanya menyisakan pertanyaan buntu bagi seorang gadis penyuka komik seram. Berjalannya waktu, Mora semakin menyadari akan keberadaan iblis dan pada akhirnya dianggap gila oleh keluarga. Ia seakan dituntun pada jejak-jejak kasus misteri yang malah membunuh orang-orang terdekatnya. Hingga pertemuannya secara tak terduga dengan seorang pria misterius, membawanya pada penyelidikan berdarah penuh teka-teki tanpa memandang risiko, sampai menemukan jawaban akhir. *** "Hei, kau yakin melakukannya?" "Tidak ada keraguan untuk itu. Bagaimanapun, aku harus melakukannya." "Tidak! Itu berisiko!" "Benar, ini berisiko besar, bahkan bisa dibilang menghadang kematian. Tetapi, sudah tak ada jalan lain lagi. Ingat, percayalah bahwa kita harus mencari jawaban atas hantu ini."

MoonSilver22 · Kinh dị ma quái
Không đủ số lượng người đọc
15 Chs

[9 — Penggiling Daging]

Alunan dering ponsel terdengar begitu kencang dari dalam kamar Mora. Wajahnya yang berkerut lelah mengisyaratkan ia sedang tertidur lelap. Walaupun bunyi ponsel miliknya sekeras harimau yang mengaum, hal itu tak mampu membangunkannya dari mimpi.

Emily melangkah menuju kamar kakaknya yang berbatasan langsung dengan kamar mandi. Di susul oleh Marissa dan Mikael yang bersiap menumpahkan amarah. Salah satu tangan mereka membawa sebilah sapu yang tentunya sebagai tameng pembangun putri tidur. Asal tahu saja, dering ponsel itu memuakkan mereka yang sedang tidur pulas sejak tadi.

Ranjang berwarna kemerahan itu sedikit kusut. Gorden kelabu terbuka lebar, memudahkan bagi matahari menembus masuk. Sinar hangatnya menjadi dingin ketika menyinari Mora yang sedang berpetualang di dalam mimpi.

"Hati-hati!" seru Emily. Jari telunjuk Marissa menutup mulut tanda hening. Gadis di luar kamar membalasnya dengan anggukan kecil.

Aba-aba siap, orang tua itu melancarkan serangan sapu ke arah si gadis tidur. Sepersekian detik kemudian, Mora mengubah posisi tidurnya yang semula terlentang kini berguling-guling. Sampai akhirnya terjatuh dari ranjang bagai pesenam sedang berlatih yoga. Mulutnya komat-kamit seolah mengucap mantra bangun pagi.

Marissa melongo keheranan begitupula Mikael. Mereka menepuk-nepuk pundak Mora, mencoba menyadarkannya. Raut wajahnya kini tampak bersemangat.

Mora bersendawa, "Ibu, Ayah? Mengapa kalian berdiam disitu?" katanya.

"Ah, ibu hanya terkejut melihatmu sedang olahraga kardio," sahut Marissa terkekeh.

"Olahraga? Kebetulan sekali Mora juga sedang bermimpi olahraga karate. Eh? Ini mimpi?" Mora bergumam sendiri seperti tak menyangka kalau ia telah terbangun dari tidur.

"Dunia nyata. Ayo cuci mobil bersama ayah!"

Mikael menggenggam lengan anak semata wayangnya yang masih mengenakan piyama tidur. Marissa tertawa terbahak-bahak dan terhenti setelah melihat sebuah buku.

Sarapan pagi terhidang di atas meja makan. Semua anggota keluarga telah siap dengan pakaian yang seragam. Radio mini menemani setiap gigitan makanan yang masuk ke mulut. Sesekali Mikael tertawa kecil setiap mendengar komedi receh dari penyiar. Terlebih Emily, gadis mungil itu tak kunjung menyentuh piring lantaran ia asyik menggambar pada kertas putih. Mora menyentuh lengannya agar berhenti.

"Kenapa tidak makan?" tanya Mora.

"Aku lebih suka menggambar. Warna putih adalah kesukaanku."

Mora menggeleng, "Kau tidak ingin kelaparan bukan? Ayo, makan." Mora merujuk adiknya dengan hati-hati karena ia tahu Emily seorang perasa.

Emily menyudahi aksinya sementara Mora melanjutkan makan yang sempat tertunda. Selang beberapa menit seusai sarapan, Marissa mengajak Mora ke dapur seraya berjalan sedikit pincang. Dalam benak Mora, ia sedikit bingung terkait ibunya yang menuntunnya ke dapur. Entah ada masalah apa.

Mora terbelalak melihat Marissa mengeluarkan artikel hantu miliknya dari saku celana. Oh, sepertinya Mora akan mendapat marah besar. Ibunya jelas tahu bahwasanya ia memang penyuka komik seram sejak menginjak usia anak-anak. Namun, semakin mendalami apa yang kita suka terkadang justru membawa ke lubang hitam. Terlalu banyak mengkonsumsi gula tentu berakibat fatal, bukan? Mora menyadari itu baru-baru ini.

Benar saja, Marissa menghantam artikel itu ke arah meja dapur yang terbuat dari besi. Timbul bunyi keras yang memekakkan telinga. Kondisi berubah menjadi tak nyaman, lengan Mora bergetar hebat.

"Ibu tahu kau sangat suka komik seram. Tapi, apa kau ingin menjadi hantu juga?" tanya Marissa tajam. Mora menelan ludahnya.

"Sekarang ibu tanya, kenapa kau sangat terobsesi dengan hantu? Jangan-jangan ingin mengikuti seluruh penjelasan di artikel bodoh itu?!"

Mora menggeleng, "Tidak Bu. Sebenarnya aku mengalami kejadian buruk sebulan ini. Aku takut jika ada kaitannya dengan supranatural,"

"Supranatural? Benarkah? Mungkin kau harus ibu bawa ke psikolog, Mora." Ketika Marissa ingin menggenggamnya, Mora menepis. Gadis itu terlihat cukup ketakutan.

"Kenapa Mora? Jangan takut, tidak ada tes IQ, haha!" canda Marissa.

Mikael buru-buru menghampiri mereka dan tersenyum simpul ketika melihat artikel horor di genggaman istrinya. Ia kemudian mengambil kunci mobil, bergegas memanaskan mesin dan mengantar Emily ke sekolah sedangkan Mora di antar ke rumah sakit.

Pemeriksaan berlangsung sukses tanpa hambatan. Mora tak mendapatkan indikasi masalah yang serius dan hanya diberikan obat penenang. Sekiranya ia mengalami halusinasi atau penglihatan khayalan. Mora menganggap itu hanyalah jawaban klise yang sering ditemukan pada orang-orang terganggu oleh 'makhluk halus'.

Marissa mengajak Mora pergi ke gedung salon kecantikan yang penuh kendaraan roda empat. Di sinilah ibu Mora memulai pekerjaannya sebagai model sekaligus perias wajah. Para reporter televisi yang menaungi kegiatan modelling tampak berjejeran memenuhi gedung kekuningan itu dengan hiasan tanaman ivy merambat dan menyentuh tanah.

Mereka memasuki gedung salon dengan melewati pintu berkaca bening. Luas gedung itu begitu besar. Sesekali Marissa menengok sekitar. Belum hampir semenit berjalan, terdengar hentakan kaki dari belakang. Tidak hanya satu, ada banyak sepasang kaki yang kini tengah berlari ke arah Mora.

Marissa dikelilingi oleh puluhan reporter yang menutup kehadiran Mora. Dengan melompat-lompat tinggi, Ia sangat ingin melihat ke arah kamera, kesempatan sekali seumur hidup untuk masuk televisi.

Sial. Mereka hanya menangkap wajah cantik bidadari Marissa saja tanpa mengindahkan anak kesayangannya di bawah. Sedikit kesal, Mora melewati kerumunan orang-orang yang semakin ramai. Meski begitu, raut wajahnya kembali berseri setelah bertemu dengan lelaki setinggi pohon.

Teman? Belum bisa dikatakan begitu. Sobat? Jauh dari keinginan. Pacar? Membayangkannya saja membuat Mora pingsan. Pria pembawa kamera yang melingkar di kepala itu melempar senyum.

"Hei, Lucas!"

"Mora!"

Dua insan rupawan saling bersahutan ditengah ramainya kerumunan. Langkah kaki mereka semakin mendekat dengan segala ego yang terlepas begitu saja. Pasti, mereka bertemu setelah sekian lama. Mora membentangkan kedua tangannya, ingin memeluk erat. Lucas dengan santai menunggu uluran tangan itu sampai ke dada bidangnya.

Adegan manis itu harus tersingkir secepat kilat setelah Mora tersandung ke belakang akibat menabrak sebuah pintu berkaca bening yang tidak ia ketahui saking semangatnya begitu menggelora. Air liur membasahi kaca yang mengusir keromantisan menjadi sesuatu konyol yang ditertawakan banyak orang.

Lucas tidak tertawa, ia membantu Mora berdiri. Mereka kini berdiri malu-malu kucing, entah ingin berucap apa pada keadaan genting itu.

"Kau tidak rindu?" celetuk Lucas.

Mora tersendat, "Rindu? Tentu saja! Makanya aku rela tertabrak tadi hanya untuk memelukmu," katanya sedikit tersipu malu.

"Peluk?"

Tanpa aba-aba, Lucas memeluk Mora. Gadis itu terlihat begitu malu dan menepis pelukan pria itu. Sekilas ia terkejut dan tenang seketika.

"Kau sudah tahu kalau besok ada wawancara eksklusif?" tanya Lucas.

"Wawancara? Dengan siapa?"

Lucas tersenyum, "Wawancara langsung dengan para model di rumahnya masing-masing. Setiap reporter berita di berikan tugas satu model untuk diwawancarai. Aku mendapat kesempatan bersama temanku untuk wawancara dengan Marissa!"

Mora mematung sejenak. Dia tidak bercanda? Marissa ibunya? Jika benar demikian, maka adakalanya ia merasa ironi dan bahagia. Sebab, Lucas berkunjung ke rumahnya! Sayangnya, membicarakan Marissa dengan topik ingin merayu bisa saja membuat ibunya mengamuk seperti harimau.

Bahkan Lucas menunjukkan foto Marissa di depan gedung tadi yang jelas-jelas bahwa itu adalah ibunya sendiri. Mengenakan gaun berwarna kuning dan ikatan rambut berbentuk spiral. Mora hanya diam, ia tidak berkomentar apa pun.

"Hei, kenapa diam? Kau lelah?" Lucas bertanya sesaat setelah menunjukkan identitas Marissa.

"Kau ingin tahu sekali dengan Marissa ya? Bukankah banyak model lain yang lebih cantik?" tanya Mora. Lucas tergagap, tetapi ia langsung bisa bangkit kembali.

"Karena dia berbeda. Mungkin dia belum menikah kelihatannya-"

Mora tersenyum miring sedikit memutar bola matanya, "Kau tidak takut ya! Hati-hati saja ibuku mendengar kata-kata berbau cumbu itu, dia akan mengambil salah satu sepatu hak-nya dan wajahmu segera lembek seperti mentega cair!" tantang Mora.

Lucas yang mendengarnya hampir jatuh pingsan. Ia bersujud meminta maaf dan bergabung bersama teman-temannya sekaligus memotret model cantik lainnya. Ada guratan kesenangan yang timbul di benak Mora. Ponsel berdering, pesan masuk dari Marrisa yang menyuruh Mora agar sepulang sekolah ia pergi ke rumah Anne. Sebab Mikael sedang menerima banyak pesanan potongan kayu.

"Anne!"

Anne menyuguhkan segelas jus apel untuk Mora sebelum menyentuh pintu rumah. Mereka sama-sama penyuka apel.

Mora mengingat tumpukan sofa berwarna biru yang berada di sudut lemari itu adalah tempat bermainnya dulu dengan Anne. Orang tuanya sangatlah ramah yang kini telah merantau mencari nafkah. Lampu pijar menyinari kamar mandi yang terlihat begitu tua dan rapuh. Dahulu Mora hanya melihat satu kamar di rumah Anne, kini bertambah satu.

"Mora, lihat. Aku punya kamera pengawas sekarang!" Anne berucap seraya menunjuk dua kamera kecil yang terpasang di dinding.

Mora mengernyit, "Wah! Tunggu. Untuk apa repot-repot memasang kamera kecil itu?"

"Kucing-kucing liar selalu datang ke rumahku, mereka lewat dari jendela atau genteng. Aku sibuk belajar di kamar, jadi aku mudah mengawasi melalui ponsel." Jelasnya panjang lebar.

Mereka sibuk mengerjakan tugas masing-masing, sesekali Mora menanyakan jawaban terkait tugas fisika dengan Anne yang sudah kuliah. Oh, dia saja pun masih tidak terlalu mengerti dengan hitung-hitungan memusingkan itu.

"Maaf, Mora! Aku ingin mengambil buku tulis. Tidak lama, tapi butuh sedikit waktu. Maklum, rumah ini beberapa kali direnovasi." Sahut Anne meninggalkan Mora sendirian.

"Tak apa!"

Anne melangkah terburu-buru masuk ke lorong panjang. Mora menunggu kedatangannya dengan menonton televisi.

Cukup lama bagi Mora menunggu hingga membuatnya bosan. Jam berdentang mengusir kesunyian di sore hari itu. Mora melewati lorong-lorong yang begitu panjang. Ia sedikit terkejut melihat banyaknya lorong, padahal dahulu lorong ini hanyalah dinding.

Mora sedikit bingung dengan tujuannya sekarang, apakah ia ingin mencari Anne atau justru berkeliling rumah? Hampir setengah jam lamanya Mora seperti sedang berputar-putar. Ketika ingin terduduk, instingnya menangkap suara kecil nan melengking dari arah belakang.

Pintu kayu mahoni itu senada dengan warna krim yang membuatnya sedikit sulit untuk dikenali. Perlahan, Mora membuka pintu itu dan memekik keras. Di sana, Anne dengan membawa buku belajarnya terduduk lemas. Bukan itu yang menimbulkan Mora berteriak, tetapi tangan kanan Anne masuk ke dalam mesin penggiling. Darah muncrat begitu banyak dan memenuhi ruang belajar itu. Bau amis dengan anyir darah bersatu memunculkan aroma busuk.

"Anne..." Mora terbujur kaku.

Ekor matanya menoleh ke arah saku celana Anne yang bergetar. Di dalamnya terdapat ponsel Anne dengan rekaman kamera pengawas yang mendeteksi adanya kehadiran makhluk. Mora hampir saja kembali berteriak, setelah menangkap sesosok pria jangkung bertubuh besar dengan membawa alat penggiling daging. Rambut gimbalnya menandakan bahwa ia terlihat sudah tidak waras.

Kepalanya memutar beberapa sudut dan berakhir menatap ke arah Mora, tepatnya kamera pengawas. Mora ketakutan dan melempar ponsel itu diikuti suara langkah kaki yang semakin mendekat. Ketakutannya melebihi dari melihat hantu.

Salah satu tangan Anne menggenggam kertas yang berisi kalimat. Mora memungutnya dan bau anyir menyeruak tanda kertas itu ditulis dengan darah Anne sendiri. Bunyinya:

'Selamatkan dirimu, paman gila itu ingin membunuhmu'

Terdengar pintu berderak, terbuka dari belakang dengan embusan napas berat yang terdengar layaknya nada bariton seorang lelaki dengan tangan penuh darah memenuhi kedua tangannya.

"Siap digiling juga?"