webnovel

TINTA MERAH (PARANORMAL)

Melangkah tanpa bunyi, mengiris tanpa hati, berkelana tanpa kaki. Hidup Mora seakan terbuntuti oleh seseorang di balik kegelapan yang bersembunyi. *** Berhadapan dengan hantu secara langsung mengejutkan Mora hingga ke ubun-ubun. Entah dendam apa yang sedang dipendam dan darimana kemunculan mereka, hanya menyisakan pertanyaan buntu bagi seorang gadis penyuka komik seram. Berjalannya waktu, Mora semakin menyadari akan keberadaan iblis dan pada akhirnya dianggap gila oleh keluarga. Ia seakan dituntun pada jejak-jejak kasus misteri yang malah membunuh orang-orang terdekatnya. Hingga pertemuannya secara tak terduga dengan seorang pria misterius, membawanya pada penyelidikan berdarah penuh teka-teki tanpa memandang risiko, sampai menemukan jawaban akhir. *** "Hei, kau yakin melakukannya?" "Tidak ada keraguan untuk itu. Bagaimanapun, aku harus melakukannya." "Tidak! Itu berisiko!" "Benar, ini berisiko besar, bahkan bisa dibilang menghadang kematian. Tetapi, sudah tak ada jalan lain lagi. Ingat, percayalah bahwa kita harus mencari jawaban atas hantu ini."

MoonSilver22 · Kinh dị ma quái
Không đủ số lượng người đọc
15 Chs

[4 — Asli Atau Halusinasi]

Lengan Mora tertopang di dagu, memandang jalanan di balik jendela yang begitu membosankan. Puluhan anak-anak disekitaran perumahan tampak bermain tanpa guratan lelah. Mereka berlari penuh kegirangan tanpa memedulikan bebatuan kecil.

Jam seolah berhenti berputar setelah Mora mengecek pergelangan tangannya. Langit siang ini sedikit mendung dihiasi kapas putih yang melayang. Gadis itu menoleh ke belakang saat sebuah mobil kecil menabrak kakinya.

"Aww!" Mora meringis pelan. Buru-buru Emily memungut mobil mainan itu seraya menyalakan remote control.

"Maaf kak," ucap Emily singkat. Gadis berponi itu menggerakkan mobil semerah apel dan menuruni tangga.

Karena langit mulai menjatuhkan air tangisan, Mora menutup sebagian jendela kamarnya. Kemudian meraih segelas teh panas yang belum tersentuh sama sekali.

"Mora, kamu tidak ingin makan?"

Suara itu. Secercah rasa trauma masih tersimpan di benak Mora. Ia menyemburkan teh dari dalam mulutnya, bergegas mengambil langkah seribu sebelum ibunya menjejakkan kaki di lantai dua.

"Ah, ibu, jangan pergi ke kamarku. Aku takut!" pungkas Mora. Pinggulnya bergetar tak karuan.

"Takut?" Marissa tidak mengerti.

"Hmph ... aku sedang bersih-bersih diatas. Takut kalau ada tikus," jelasnya mencari alasan.

Marissa tertawa, "Ya sudah. Lain kali ibu hati-hati."

Suasana rumah sangat sepi. Mikael sedang sibuk mengurus urusan mebel di toko perkayuan terkenal yang berjarak bermil-mil jauhnya, namun bayarannya pun tak kalah jauh pula. Marissa menata keperluan rumah tangga yang hampir menipis. Mora dan Emily bersiap untuk pergi ke sekolah.

"Mora, nanti kalau ada waktu belilah barang-barang ini ya," sahut Marissa ditengah memasak.

Mora mengangguk lamban. Sudah menjadi kebiasaannya untuk berkelana ke pasar mencari kebutuhan rumah seperti ibu rumah tangga. Sebetulnya Marissa mampu berbelanja sendiri, tetapi alasannya hanya satu. Kulitnya takut menghitam. Seolah itu aset berharga baginya.

Perjalanan ke sekolah cukup memakan waktu. Sebab, para supir bus lebih memilih untuk berdiam diri ditengah buliran air hujan. Itulah sebabnya mau tak mau, Mora harus berjalan. Raganya terasa lebih baik hari ini setelah menari diatas trotoar jalan dengan tetesan hujan dingin silih berganti. Payung disalah satu tangannya tergenggam tak berguna, bak hanya penghias belaka.

Meski Mora membawa pelindung hujan, ia lebih memilih untuk merasakannya langsung hingga mereda. Bagai tertimpa masalah, Mora akan terjun menyelesaikannya tanpa harus perlu bersembunyi dibalik pelindung diri. Karena ia tahu, tantangan masalah membawanya menjadi lebih tangguh. Kalian tentu lebih memilih berada di bawah hujan daripada memegang payung, bukan?

Tetap saja, orang-orang menganggapnya begitu bodohnya menari di tengah derasnya hujan yang sedang menunggu para insan demam.

"Mora! Cepat berlindung! Payung di tanganmu lebih baik dijual!" seru Julia terkekeh kecil.

"Tapi asyik," tukas Mora cemberut.

Julia mengernyit, "Bawa sabun dari rumah sekaligus mandi disini. Mau?"

"Ide macam apa itu?" Mora balik bertanya lantas berlalu meninggalkan teras sekolah. Sampai di pijakan kelas, ia masih bisa mendengar suara tawa yang menggelegar.

Kelas berlangsung hening. Hujan telah berhenti lima menit yang lalu, namun Mora masih saja bermain dengan embun menempel pada kaca. Salah satu temannya melirik sekilas dan mengambil sebuah ponsel dari dalam tas. Diam-diam ia memotret apa yang sedang dilihat.

Dresta, seorang pria tinggi yang mengedepankan popularitas. Ia kerap mengambil gambar apapun itu disekitar sekolah. Teman terdekatnya sudah tahu akan hal itu dan memberi peringatan pada warga sekolah untuk waspada dengan kehadirannya. Dia mendapat julukan 'paparazi cilik'.

Selama beberapa tahun menetap disekolah, ia telah menyimpan ribuan foto dari seluruh teman-teman sekelasnya. Terkecuali satu. Ya, Mora tak pernah menghadap kamera dengan wajahnya yang dingin.

"Ra, ini pulpennya aku kembalikan," sahut Elvena dengan memasang muka jahil.

Julia menghampiri mereka, "Mora, El, bagaimana kalau kita mengerjakan tugas bersama?"

"Ide bagus." Ucap Mora dan Elvena bersamaan. Keduanya girang.

"Kalau ada waktu, temani nanti aku ke pasar ya, Julia!"

"Tentu."

Mora dan Julia berpetualang ke beberapa sudut pasar. Penjaja makanan tak luput dari perhatian mereka, namun Mora lebih memilih untuk membeli kebutuhan pokok. Ia sibuk melihat daftar kertas dan melewati kerumunan orang-orang yang memenuhi lorong panjang.

Di penghujung waktu, mereka beristirahat sambil menyeruput es krim dingin.

Sekumpulan pria berjumlah tiga pasang-gaya berjalannya mirip seorang model-berambut cepak dengan jas hitam yang senada. Dibalik pakaiannya yang terbilang fashionable, Mora memajukan bibirnya. Betapa mesumnya mereka melonggarkan sebagian kancing baju seraya meraba kumis lebat yang tak seimut kumis kucing sekalipun. Bahkan diantara mereka menyulut rokok dan menatap kedua gadis di hadapannya dengan tatapan jahil.

Dapat disimpulkan mereka bertiga adalah pencuri kelas buaya dari segi gigi yang tak beraturan.

"Wah, wah, lihat siapa disini," seru salah seorang lelaki berjas penuh garis.

Julia tersenyum miring, "Apa? Kami manusia bukan alien,"

Mereka tertawa terbahak-bahak, kecuali Mora yang sedang menginterogasi dalam diam. Perlahan ia maju satu langkah seraya mengambil komik horor. Pertahanan pencuri itu mulai goyah ketika menatap visual hantu berdarah-darah. Namun, salah satu dari mereka tak terkecoh dan mengasah sebilah pisau yang disembunyikan di balik ikat pinggangnya.

Lelaki itu tersenyum, malah menyeringai, "Kau yang akan menjadi hantu selanjutnya," katanya bernada berat.

Mora menggenggam lengan Julia, mengajaknya berlari dalam hitungan detik. Julia begitu terkejut saat sekumpulan pencuri mengejar mereka diiringi teriakan bak harimau kelaparan.

"Gawat! Mereka mengejar kita!"

"Ayo, ikut aku!"

Mora menjatuhkan tumpukan ember-ember bekas di sudut pasar yang memunculkan banjir oli licin. Para pendiri itu terjerembab kesakitan, beberapa diantaranya melompat tinggi melewati rintangan itu. Buru-buru Julia menepuk pundak Mora yang asyik melihat orang-orang berdosa sedang menderita. Mereka kembali berlari mengitari lorong peternakan ayam petelur.

Entah apa isi benak Mora, ia melempar sekeranjang telur yang baru saja menetas dari induknya. Hujan kuning telur memenuhi seisi pasar dan ayam-ayam bewarna merah sibuk berkokok riuh. Lagi-lagi pencuri itu berhasil menerobos rak-rak telur yang berserakan.

Di ujung peternakan ayam, pintu menuju arah luar pasar dengan proses rekonstruksi yang sedang dibangun di sisi dinding-dindingnya, hadir di hadapan dua gadis berambut panjang. Mereka tersenyum penuh kemenangan dan tanpa ragu memutar kenop pintu secepat mungkin.

"Sial. Pintu ini belum berkarat sudah sangat macet," umpat Mora. Senyuman memudar di wajahnya diiringi suara gesekan pisau dari arah belakang. Mata keduanya terbelalak seketika.

Mora menggenggam tangan Julia erat, "Julia, apapun yang terjadi denganmu-aku tak tahu kondisi diluar, teriak lah sekencang mungkin!"

"Apa maksudmu?!" seru Julia tak mengerti. Di situasi pening nan genting ini ia tak sanggup untuk berpikir lebih keras lagi.

Mora mengikat pinggang temannya itu dengan tali panjang-mungkin saja alat dari rekonstruksi-yang mencuat dari atas. Setelah dirasa aman dan terikat kuat, Julia meluncur pula melayang di udara seperti bermain Flying fox. Ia tidak senang, justru berteriak melihat pekerja-pekerja lepas yang memandangi dirinya sedang melakukan atraksi bodoh.

Melihat pisau di tangan ibunya, bagi Mora itu biasa. Berbeda halnya kalau pisau bermata dua itu tergenggam ditangan orang-orang yang salah dan menjadi tanda bahaya. Disitulah manusia tak berdaya akan berlari menyelamatkan nyawa. Namun, gadis dihadapan dua pencuri itu tak ingin berlari. Ia ingin membersihkan para tikus bertopi yang kerap menebar kerusuhan.

"Serahkan tas itu atau kau akan kami bedah!" ancam pria berjas putih.

Mora tersenyum miring, "Baiklah jika itu mau mu," matanya tajam nampak mengintimidasi. Ketika langkahnya sudah dekat, tanpa menunggu detik berlalu Mora segera menampar wajah kedua pencuri itu. Alhasil tasnya ikut robek setelah pisau berhasil menyayat salah satu komiknya.

Emosi meluap kala Mora menendang perut pencuri itu bertubi-tubi. Penglihatannya tak kabur saat pisau daging hampir melepas jari kakinya dari tempat seharusnya. Tak puas, Mora menarik kerah baju kedua pencuri itu yang sudah tak berdaya meski ia tahu mereka sedang berpura-pura.

Serbuk bunga terjatuh dari saku baju mereka yang memundurkan gerak Mora. Oh tidak, bukan ini yang Mora cari. Ia hanya ingin melampiaskan kemarahan namun justru mendapat benda penggatal hidung. Kekuatannya menurun drastis dan hampir tak mampu untuk berdiri kokoh.

Yang hanya bisa dilakukan Mora hanyalah bersin-bersin hingga muncul ruam-ruam merah di wajahnya.

"Mora! Ayo turun! Pekerja-pekerja ini membantu kita!" sahutan Julia yang begitu nyaring membangunkan Mora kembali. Ia melompat melewati dinding kecil dengan berpegangan pada tali.

Mereka bergegas keluar, bergabung dengan kerumunan orang yang berjalan diatas trotoar ditemani lampu jalanan. Mora tak menyangka waktu berjalan sangat cepat hingga tak tahu hari telah menginjak petang.

"Julia, maaf soal tadi ya. Aku mengikatmu di tali itu..."

Julia menepis, "Tak apa. Justru kalau kau tak melakukan itu, aku pasti hanya mematung."

"Ingat tugas kelompoknya ya!"

"Tentu."

Mora berjinjit saat ia baru saja menyelesaikan mandinya dengan air panas. Pikiran dan raga akhirnya bisa diajak berdamai sekarang. Memori-memori buruk terbuang dari kepala semu Mora, bersama air bekas mandi yang melewati celah pipa-pipa pembuangan.

Komik kesukaannya tergeletak manis diatas meja. Mora membuka lembaran pertama namun komik itu terjatuh ke lantai. Astaga, mungkin saja tangannya masih licin sejak tadi. Kepalanya memutar sepuluh derajat setelah mendengar ketukan pintu. Senyum terukir di wajah Mora, teman dekatnya pasti sudah datang.

"Mora, kau didalam?" tanya seseorang dibalik pintu yang tak lain adalah Julia dan Elvena.

"Tunggu!"

Sebelum Mora membukakan pintu, seperti biasa ia mengawasi situasi luar melalui lubang kunci yang cukup kecil. Pemandangan tersuguh pertama kali yakni hitam. Apa Julia menutup lubang kuncinya? Hei, temannya tak akan tega melakukan hal itu. Mati lampu? Oh, Mora ingat lampu di luar rumah baru diganti sebulan yang lalu. Jadi, siapa seseorang diluar sana?

"Mora, kau didalam?"

Suara itu kembali terdengar. Mora ingin sekali membuka pintu, namun niat itu urung. Agar tak membuang waktu, ia menelpon Julia dengan beribu pertanyaan.

"Halo, Mora."

"Julia! Kau sudah sampai di rumahku, 'kan?" tanya Mora.

"Apa maksudmu? Aku dan El baru saja memesan taksi."

"Hei, jangan bercanda! Aku mendengar suaramu jelas di depan pintu rumahku!"

"Apa aku terdengar seperti sedang bercanda? Dengar ini! Aku sedang dijalan raya."

Mora mulai yakin dengan apa yang Julia utarakan di sambungan telepon, hiruk pikuk kendaraan cukup terdengar keras berlalu-lalang. Tentu, ia tak bisa membuat pertanyaan lagi sebab kedua temannya tak mengada-ada.

"Mora, kau didalam?"

Angin dingin menyapu rambut Mora setiap kali mendengar suara dibalik pintu itu puluhan kali. Tubuhnya bergidik karena takut dan pikiran aneh yang mulai merasuki dirinya.

"Sudahlah. Mungkin kau hanya kurang tidur Mora setelah kita dikejar pencuri."

"Baik, aku akan tidur sebentar."

"Oh, kau bilang aku sedang berada di depan rumahmu? Mungkin saja itu orang gila! Jadi tak usah-"

Sambungan telepon tiba-tiba terganggu diiringi lampu temaram ruangan yang berkedip-kedip. Sedetik kemudian, Mora mendengar bisikan dari ponsel miliknya yang begitu dingin nan mengerikan, seolah sedari tadi ia tak berbicara dengan Julia.

"Bukalah, sayang."

Telepon terputus. Mora bingung harus melakukan apa di situasi tak pernah ia alami sebelumnya. Antara takut dan kesal yang bercampur aduk disertai rasa penasaran menyeruak. Perlahan namun pasti, Mora berjalan mendekati pintu rumah dengan segenap keberanian yang telah terkumpul meski tak banyak. Tangannya begitu pucat menyentuh gagang pintu berwarna kekuningan.

Hati kecilnya mengatakan tidak. Berbanding lurus dengan kedua tangannya yang selalu berpegang teguh pada keinginan manusiawi. Mora lebih memilih memenuhi keinginan daripada harus terbelenggu dalam gejolak rasa penasaran.

Pintu terbuka lebar, memperlihatkan warna hitam. Kalau saja itu hanya mati lampu, Mora masih dapat memandang seberang jalan. Sekarang, ia tak melihat apapun selain itu. Sungguh gelap. Seakan ada tirai hitam yang menutup pintunya.

Ketika Mora ingin menyentuh, benda itu bergerak-gerak diikuti suara desis. Ia yakin itu bukanlah ular yang sedang begadang di malam hari, mungkin saja seekor musang namun lebih besar dari itu.

Benar saja, Mora hampir terjatuh akibat terlalu takut melihat seekor makhluk besar dihadapannya. Ekspetasi tak sesuai dengan apa yang ia perkirakan dan itu memunculkan rasa takut terbesarnya.

"Laba-laba!"

Mora melangkah tertatih-tatih, membiarkan buku komik miliknya terjatuh tak berguna. Ia berlari secepat mungkin menuju kamar di lantai dua. Laba-laba bermata merah jambu nan besar itu berlari mengejar mangsa. Ya Tuhan, siapa pula yang berani membiarkan seekor hewan besar ke rumah orang? Namun, pemikiran itu Mora buang jauh-jauh. Ia tak ingin berpikir berat sekarang.

Suasana rumah sangat sepi. Maklum, Emily dan Marissa belum pulang sejak sore tadi. Sementara Mikael masih berkutat dengan urusan mebel. Mereka baru akan pulang bersama jika waktu menyentuh pukul sepuluh malam. Bagi Mora, sendirian itu menyenangkan. Apalagi, mendapat kunjungan baru dari teman dekat lebih mengasyikkan pula. Nyatanya tidak. Karena Mora harus berurusan dengan monster yang sedang mengendus keberadaannya.

Saat ini, ia sedang bersembunyi di toilet. Menunggu selama beberapa menit lamanya agar monster itu tak mengetahui lokasinya sekarang. Meski Mora tak tahu, kapankah monster itu akan hilang.

"Aman!" gumam Mora. Ia menengok ke segala arah, memastikan keadaan. Nasib sial tak diharapkan terjadi. Mora tak sengaja menginjak mainan bebek kuning yang berbunyi nyaring selama lima detik. Alhasil, kegaduhan terdengar dari lantai atas. Monster itu kini mencari asal bunyi untuk mendapat target.

Buru-buru Mora bersembunyi diantara tumpukan kardus bekas agar tidak ketahuan. Mungkin orang-orang mengira ia sedang bermain petak umpet. Ya, bermain di bersama monster.

Laba-laba mengerikan itu berkeliling kembali ke lantai dapur. Memudahkan bagi Mora untuk menyelusup ke lantai atas dan bersembunyi ke dalam kamar. Langkahnya terhenti saat menabrak bulu-bulu berwarna hitam. Matanya bertemu dengan sepasang kelopak laba-laba merah.

Mereka sama-sama berteriak begitu keras diiringi pecahnya bohlam lampu. Mora memasuki kamarnya dan menutup pintu. Mendadak ia lupa tempat kuncinya terakhir kali. Kakinya lemas, terasa begitu berat setelah melihat sepasang kaki seribu di kolong pintu. Habislah sudah, pikirnya.

Darah mengalir deras dari tasnya secara tiba-tiba mengarah ke kolong pintu. Mora menganga, ia tak pernah sama sekali memasukkan kantung darah. Kakinya bergetar hebat, ia takut menatap semua ini.

Pintu terbuka lebar dan laba-laba besar itu mendekatinya tanpa ragu. Mora hampir saja berteriak merasakan tangannya sedang digenggam seseorang.

"Emily?!"

Gadis kecil itu tersenyum seraya menaikkan salah satu alisnya, "Kenapa kakak diam disini? Teman kakak sudah datang."

Mora terbaring menghirup udara segar. Terlintas ada ribuan tanya tanpa jawaban di dalam kepala. Apa itu hanya halusinasi belaka? Matanya terusik kala melihat bercak darah di salah satu jari tangannya.

_________________________________________

Selamat membaca kembali!