"Oh!" Grey menunjuk Brianna yang bangkit dari gundukan salju. "Nyonya MacMillan?"
"Kau bisa berdiri?"
Matthew menarik tangan Brianna yang tak terulur padanya dengan segera.
Brianna memandang Grey tanpa reaksi. Seperti saat pertama kali mereka bertemu di gedung perkantoran.
"Kau tak apa? Kita harus kembali ke New York sekarang," ucap Matthew sambil menarik tangan istrinya itu menjauh dari Grey.
"Kau cemburu?" tanya Brianna pada Matthew sambil terkikik.
"Tidak. Untuk apa aku cemburu?" Ia masih tak memandang wajah Brianna. "Aku tak bisa membiarkanmu untuk terus berbicara dengan pria itu."
"Kenapa?"
Matthew menghentikan langkahnya yang berat karena terhalang salju. Ia sempat melirik ke arah Grey sejenak. Pria itu bahkan masih mengawasi Brianna.
"Kalau kau masih terus saja berbicara dengan orang asing bahkan dia adalah mantan pacarmu, bisa saja kita akan dalam masalah besar. Kau akan dikenalkan pada pers nanti saat pesta malam tahun baru sebagai Nyonya MacMillan. Paparazi akan menganggap pernikahan kita tak serius."
"Memang tak serius, bukan?" tukas Brianna.
"Ya, memang," jawab Matthew. "Tapi kau yakin akan memberitahu semua orang kalau pernikahan kita tak serius? Kau butuh uangku kan, Bri? Kau jangan macam-macam."
Brianna terenyak. Apa yang dikatakan Matthew benar. Ia harus mengikuti aturan sesuai surat perjanjian. Matthew membutuhkannya dan ia membutuhkan Matthew.
"Ya," jawab Brianna. "Aku kedingina-"
Tanpa aba-aba, Matthew memeluk erat pundak Brianna.
"Kau kedinginan?" tanya Matthew dengan suara keras sambil memandang Brianna.
Wanita itu tahu bahwa Matthew sedang mencoba untuk menunjukkan rasa sayangnya yang hanya pura-pura itu di hadapan Grey. Tapi, senyuman itu. Brianna tak bisa memungkiri itu adalah sebuah hal yang menakjubkan.
Brianna mengangguk.
"Aku akan memelukmu sampai di kamar," ucapnya.
Ucapan yang harusnya memang benar-benar menunjukkan kemesraan antara suami istri itu sayangnya hanyalah pura-pura.
Pelukan ini begitu hangat. Sepertinya sudah lama Brianna tak mendapat perlakuan macam ini dari seorang pria. Bahkan, ayahnya pun tak pernah memperlakukannya dengan cara macam ini.
Ah, ya. Pria itu. Apa kabar dia sekarang? Brianna berharap Pak Tua itu sehat selalu selama Brianna mencari uang di samping Matthew,
Brianna tersentak saat Matthew mengetuk pintu kamar hotel dan membuyarkan lamunannya.
"Larry mengajak kita makan bersama. Dia membuat sarapan untuk para tamu hotel. Bergabunglah bersama kami," ucap Matthew yang bersembunyi di balik pintu.
Brianna mengangguk dan mengikuti langkah pria itu ke ruang makan yang tak kalah kuno. Ada beberapa pasangan yang juga menginap di hotel itu. Beberapa dari mereka menyadari bahwa Brianna dan Matthew adalah pasangan yang beberapa hari ini ramai diperbincangkan.
"Kau lapar?" tanya Matthew saat menatap bagaimana lahapnya Brianna menyantap sarapannya kali ini.
"Tentu," ucap Brianna. "Aku menyukainya. Karyawan yang ada di hotel ini pintar memasak ternyata."
"Akan kuambilkan lagi kalau kau masih lapar, Bri," ucap Larry.
"Larry," panggil Matthew pada Larry yang juga duduk di meja yang sama dengannya. "Kau tahu area berselancar tempat istriku bermain?"
"Ya, itu tanah kosong yang tak terpakai. Sebagian milik kita dan sebagian bukan milik kita," jawab Larry.
"Kenapa bisa sebagian bukan milik kita? Beli saja lahannya. Istriku menyukainya," ucap Matthew santai.
Brianna melongo dibuatnya. Pria ini membeli suatu hal begitu mudah seolah harganya hanya satu sen.
Tak heran jika Matthew melakukannya. Uang baginya bukan hal yang penting mungkin. Kekayaannya seolah tak akan bisa habis.
"Matt? Kau-"
"Kau bilang kau menyukainya, bukan? Beritahu aku apa yang kau inginkan. Aku akan memberikannya untukmu."
Larry tersenyum. Ia tersipu melihat bagaimana hangatnya rumah tangga pura-pura yang masih berumur jagung itu.
"Kau memang romantis, Matt. Kalau aku perempuan, aku akan memacarimu dan memintamu untuk menikah denganku," ucap Larry sambil terus tersenyum.
"Menjijikkan," canda Matthew.
Brianna menatap Matthew. Apa yang pria ini inginkan dari sebuah pernikahan? Sungguhkah yang ia butuhkan hanyalah sebuah status untuk mendapatkan semua warisan ayahnya? Atau ia hanya membutuhkan teman bicara seperti semalam?
"Kau tak makan? Kau sejak tadi mengamatiku. Apa aku cukup tampan pagi ini?"
Brianna membuang wajahnya ke piring dan kembali makan sarapannya. Lebih baik ia tak menatap Matthew seperti ini lagi. Takut jika pria itu malah menganggapnya tengah jatuh cinta.
"Ke mana kalian setelah ini?" tanya Larry.
"Ah, kebetulan kau bertanya, Larry. Aku juga tak tahu apa yang akan kami lakukan di sini selain berada di kamar sepanjang hari," ucap Matthew.
"Hm, sepertinya hanya itu yang kau dan istrimu bisa lakukan. Nanti akan kuminta seseorang untuk mengantarkan dua gelas coklat hangat ke kamar kalian."
"Larry." Matthew teringat sesuatu. "Apa di sini ada penginapan lain selain tempat ini?"
"Sepertinya tidak. Kenapa kau bertanya?"
Matthew menggelengkan kepalanya. Ia teringat saat bertemu Larry tadi di tempat berselancar salju.
"Cepat urus lahan yang kuminta tadi," ucap Matthew. "Kalau perlu, pagari kawat saja lahan kita. Aku ingin menjadikan tempat kita aman, Larry."
"Kenapa kau memintaku untuk memagar kawat lingkungan yang cukup cantik ini? Di sini tak ada hewan buas, Matt," ucap Larry.
"Benarkah? Padahal tadi aku melihatnya melintas. Bahkan sempat menabrak Brianna," jawab Matthew. "Ya, kan, istriku?"
"Apa hal itu benar-benar terjadi?" tanya Larry penasaran pada Brianna. "Seekor binatang buas menyerangmu?"
Brianna hanya diam saja. Ia paham posisinya di sini. Ia harus patuh pada aturan Matthew.
Wanita itu berniat untuk menjauh saja dari Grey daripada pernikahan sandiwaranya ini berantakan.
Brianna meninggalkan rasa penasaran yang begitu jauh untuk Grey. Pria itu maish berpikir, dari mana Brianna mendapatkan pria macam Matthew? Sebuah keberuntungan baginya mendapatkan Grey yang begitu menawan sampai akhirnya hubungan mereka berakhir karena keluarga Brianna problematik. Dimulai dari ibu yang bunuh diri dan ayah yang suka mabuk.
"Kau di mana?" tanya Zack saat Grey mengangkat teleponnya. "Di hotel? Menyewa para gadis?"
"Ski," jawab Grey setelah selesai terkikik. "Kenapa?"
"Kau tak mengajakku?"
"Kau bersama dengan perempuan yang sedang mendesah. Kau yakin ingin bergabung denganku?"
Telinga tajam Grey tak bisa dibohongi. Perangai Zach memang sama saja seperti dirinya.
Zack terkikik mendengar ucapan Grey.
"Lagipula, untung saja kau tak bergabung denganku di sini, Zack. Aku tak ingin kau heboh karena seseorang yang baru saja kutemui," ucap Grey yang makin membaut Zack penasaran.
"Siapa? Wanita? Dia cantik?"
"Ya, wanita. Tak terlalu cantik. Tapi aku pernah tidur dengannya," jawab Grey bangga.
"Hei, ada apa dengan dirimu? Kukira kau hanya suka wanita cantik, Grey."
"Memangnya kenapa kalau aku hanya ingin bermain?" tukas Grey. "Apakah aku juga harus mencari wanita cantik juga kalau aku hanya ingin bermain?"