"Morning," sapa Nadia ketika baru keluar dari kamarnya.
"Ini udah siang, Nad," sahut Leon.
Nadia langsung menoleh ke jendela apartemennya. "Oh, udah siang." Ia kemudian berjalan menghampiri Leon yang sedang duduk di sofa ruang santai apartemen mereka. "Lu ngga tidur?" tanya Nadia begitu melihat wajah Leon yang nampak lesu.
Leon menggeleng pelan. "Ngga bisa tidur semalem."
"Kepikiran Aslan?"
Leon mengangkat bahunya. "Mungkin gue masih jetlag."
Nadia sedikit memanyunkan bibirnya setelah mendengar pernyataan Leon.
"Nad," gumam Leon pelan.
Nadia segera menoleh pada Leon. "Apa?"
"Minjem paha lu sebentar," jawab Leon.
Nadia terheran-heran dengan permintaan Leon yang tiba-tiba. Sementara itu, tanpa menunggu persetujuan dari Nadia, Leon segera merebahkan kepalanya di paha Nadia.
"Sambil dipijitin enak kali, Nad," ujar Leon sambil memejamkan matanya.
Nadia menghela napas panjang. Tidak biasanya Leon bersikap seperti ini padanya. Namun, Nadia tidak sanggup menolak permintaan Leon dan perlahan ia memijat kepala Leon.
"Enak, Nad," gumam Leon. "Gue bisa ketiduran kalo begini."
"Ya udah tidur aja," sahut Nadia. Ia terus memijat kepala Leon. Nadia hanya menghela napas pelan ketika ia mulai mendengar suara dengkuran Leon. Ia kemudian menatap Leon yang sudah tertidur di pahanya. "Kalo sama yang lain dinginnya ngalahin Vladivosthok, giliran sama gue bisa jadi kucing manja begini." Nadia berdecak pelan sambil geleng-geleng kepala.
----
"Mama, aku mau ikut Mama," teriak Aslan dari balik pintu rumah kontrakan mereka.
Ibunya menarik Leon dan keluar dari rumah kontrakan itu, sementara ia mengunci Aslan di dalam agar tidak mengikuti mereka. Meski ia merasa berat untuk meninggalkan Aslan, namun ia tidak bisa berbuat banyak. Ia tidak yakin ia mampu membesarkan dua anak seorang diri.
"Suatu saat nanti, Mama pasti akan datang menjemput kamu," ujar Ayu pelan sebelum ia pergi meninggalkan Aslan di dalam rumah kontrakan mereka. Ia kemudian meletakkan kunci rumah kontrakan tersebut di sela-sela lubang angin yang ada di atas pintu.
Sementara Aslan masih berteriak dari dalam rumah, Ayu segera menarik tangan Leon untuk pergi meninggalkan rumah kontrakan mereka.
"Ma, aku ngga mau pergi. Aku mau sama Aslan," rengek Leon ketika ia ditarik paksa oleh ibunya untuk pergi dari rumah kontrakan mereka.
"Diam, Leon. Kita harus pergi," sergah ibunya sambil terus memaksa Leon untuk berjalan menjauh.
"Ngga mau." Leon menarik lengannya. Mencoba untuk lepas dari cengkraman tangan ibunya yang terus memaksanya untuk berjalan menjauh. Namun, cengkraman tangan ibunya lebih kuat dan ia tidak memberikan kesempatan bagi Leon untuk lepas dari tangannya.
Ayu berjalan dalam diam sambil terus memegangi tangan Leon. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang berpapasan dengannya. Dari tatapan itu, ia tahu bahwa mereka menganggapnya sebagai ibu yang kejam karena membiarkan anaknya menangis sambil berteriak sepanjang jalan.
Langkah Ayu terhenti begitu mereka tiba di pinggir jalan. Ia berhenti di samping sebuah mobil sedan berwarna merah dan segera membuka pintu mobil tersebut. "Masuk, Leon."
Leon menggeleng.
"Mama bilang masuk," bentak Ayu.
"Ngga mau!" Leon balas berteriak.
Ayu menghela napasnya. Ia kemudian memaksa Leon untuk masuk ke dalam mobil tersebut dengan sedikit mendorongnya.
"Ngga mau, aku ngga mau pergi. Aku mau sama Aslan." Leon terus berteriak dari dalam mobil sambil memukul-mukul kaca mobil tersebut.
"Maaf, ya," ujar Ayu pada teman wanitanya ketika ia masuk ke dalam mobil tersebut.
Temannya hanya mengangguk pelan. "Ngga apa-apa. Wajar kalau dia begitu. Kita jalan sekarang?"
Ayu mengangguk pelan.
Teman wanita yang membantu Ayu kemudian tersenyum simpul. Perlahan ia mulai kembali mengaspal di jalan raya. Ayu menatap sebentar area yang menjadi tempat tinggalnya selama ini. Sedetik kemudian, ia menelan ludahnya dan merunduk dalam.
"It's okay, Yu. Ini memang keputusan yang sulit," ujar teman wanitanya sambil mengelus-ngelus punggung Ayu.
Ayu mengangguk sambil menyeka air matanya. Ia kemudian menoleh pada Leon yang sedang duduk menghadap belakang. Leon masih terisak sembari memandangi jalanan yang ada di belakangnya.
----
Leon menghela napas sambil membuka matanya. Ia kemudian kembali terduduk.
"Akhirnya," seru Nadia ketika Leon kembali duduk.
"Gue tidur berapa lama?" tanya Leon.
"Ya, lumayan. Kaki gue sampe kebas," jawab Nadia.
Leon tersenyum sambil mencubit pipi Nadia.
Nadia segera menepis tangan Leon yang sedang mencubit pipinya. "Ih, jangan pegang-pegang muka. Nanti gue jerawatan."
Leon terkekeh. "Gini, nih kalo megang-megang muka." Leon membuka telapak tangannya dan mengusap-usap wajah Nadia dengan kedua telapak tangannya.
"Leon, ah. Rese banget, sih." Nadia menepis tangan Leon.
Leon tertawa-tawa melihat Nadia yang memanyunkan bibirnya. "Udah, ah, gue mandi dulu. Abis ini cari makan, yuk."
"Sana mandi biar cakepan dikit," seru Nadia. "Traktir gue makan enak."
"Iya. Tapi ada syaratnya?" ucap Leon.
"Syarat apa lagi? Tadi udah gue biarin lu tidur di paha gue," gerutu Nadia.
Leon terkekeh sambil menatap Nadia. "Temenin gue mandi."
Nadia segera melemparkan bantal sofa ke arah Leon. "Dasar otak mesum."
"Liat aja nanti. Pasti nanti gue berhasil bikin lu mandi bareng sama gue," ujar Leon sembari berjalan ke arah kamarnya.
"In your dream," teriak Nadia.
Leon menjulurkan lidahnya untuk menggoda Nadia. Ketika Nadia hendak melemparkan bantal sofa ke arah kamarnya, Leon segera menutup pintu kamarnya.
Nadia menghela napas panjang ketika melihat pintu kamar Leon yang menutup. "Dasar."
----
Leon memejamkan matanya sambil menikmati kucuran air dingin yang membasahi wajahnya. Ingatannya tadi kembali melayang pada saat ia dan ibunya pergi meninggalkan Aslan di rumah kontrakan mereka.
Ia masih mengingat teriakan Aslan dari dalam rumah kontrakan mereka yang meminta untuk ikut bersamanya dan Ibu mereka. "Sorry," gumam Leon pelan sambil menundukkan kepalanya.
"Dia pasti marah dan kecewa saat itu," ucap Leon pada dirinya sendiri. Ia juga tidak bisa berbuat banyak saat itu karena ibunya terus menyeret tangannya untuk segera pergi meninggalkan rumah kontrakan mereka.
----
"Leon, kita sudah sampai." Ayu membangunkan Leon yang tertidur di kursi mobil karena kelelahan menangisi Aslan.
Perlahan Leon membuka matanya. Ia berjalan keluar dari dalam mobil. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya ketika melihat sebuah rumah besar di hadapannya. "Ini rumah siapa, Ma?"
Ayu bersimpuh di depan Leon untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Leon. "Ini rumah teman Mama. Untuk sementara, kita akan tinggal di sini sampai semua berkas-berkas kita siap."
Leon kebingungan sambil menatap mamanya. "Memangnya kita mau pergi ke mana lagi?"
Ayu tersenyum sambil membelai wajah Leon. Ia kemudian kembali berdiri dan merangkul Leon. "Mama akan berusaha untuk memberikan kehidupan yang lebih baik untuk kamu," batin Ayu.
"Yuk, kita masuk," ujar teman wanita Ayu pada Ayu dan Leon.
Ayu mengangguk dan segera membimbing Leon untuk masuk ke dalam rumah teman wanitanya. Leon tertunduk lesu sembari melangkahkan kakinya ke dalam rumah besar itu.
Setelah hari itu, Leon sama sekali tidak pernah bertemu dengan Aslan maupun Papa mereka. Hingga satu bulan kemudian, dengan berbekal uang pinjaman dari sahabat mamanya, Leon dan mamanya bertolak ke Amerika untuk memulai kehidupan baru mereka.
Selama perjalanan, Leon hanya bisa menatap ke luar jendela pesawat yang ia tumpangi. Sejak dalam kandungan dan sampai sebulan yang lalu, ia dan Aslan selalu bersama. Namun kali ini, ia merasa dirinya akan benar-benar sendirian di negeri yang asing. Jaraknya dan Aslan membentang hampir separuh bumi dan ia tidak tahu pasti kapan ia akan kembali bertemu dengan Aslan.
****
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys
and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist yang berisi musik yang saya putar selama menulis cerita ini.
Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.
Hello pembaca sekalian, Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it..
Jangan lupa masukkan ke collection kalian untuk update chapter berikutnya dan juga berikan dukungan kalian melalui vote, review dan komentar. Terima kasih ^^