webnovel

Diinterogasi

Qei serta para polisi yang lain berusaha mencari bukti yang tersedia disana. Dan lagi-lagi, pembunuh tersebut meninggalkan jejak. Jejak yang sama saat keluarga James juga meninggal di hari itu. Bukan hanya kepala yang terus dipenggal, namun ia meninggalkan sebuah kulit terbakar. Entah itu kulit siapa, yang pasti pembunuh tersebut akan meninggalkannya disana.

"Lagi dan lagi...." gumam Qei kala ia menemukan sebuah utas kulit terbakar di halaman rumah Deon.

"Apa itu?" tanya Deon penasaran. Semua warga menatap bingung ke arah benda bukti yang baru saja Qei temukan.

"Saat kemarin, pembunuhan pak James pun memiliki tanda yang sama. Selain kepala yang terpenggal, dia akan meninggalkan kulit terbakar itu disini," jelas Qei.

"Aku yakin ini ulah Beni! Saudaramu sendiri!" teriak Lim.

Deon pun menatap kesal ke arah Lim. Lagi-lagi dia menuduh manusia yang depresi itu. Dia saja tak tahu kemana perginya Beni. Bagaimana bisa Lim menuduhnya begitu saja?

"Jangan asal tuduh! Beni tidak pernah kemari lagi setelah kalian hina dan pojokkan terus-menerus!" tukas Deon emosi.

"Lim, bisakah kau diam?" bisik Sam. Ia berpikir jika Lim sudah keterlaluan menuduh tanpa bukti tersebut.

"Bagaimana bisa anda menyimpulkan orang tersebut pelakunya?" tanya Qei bingung kepada Lim.

"Hanya dia manusia yang kulitnya aneh seperti itu di kompleks ini!" jawab Lim masih kekeuh menuduh Beni sebagai pelakunya.

"BISAKAH KAU TIDAK TERUS MENGHINANYA?! DIA PERGI KARENA KAU, BODOH!" Teriak Deon emosi.

Ia tak terima dengan tuduhan yang Lim berikan kepada saudaranya. Jelas Beni tak bersalah, meskipun semenjak saat itu Beni berperilaku aneh. Ia yakin jika Beni bukanlah pelakunya.

"Sudah cukup! Nak Deon, bisakah anda ikut kami ke kantor untuk menjelaskan barang bukti dan apa yang terjadi semalam?" tanya Qei menawarkan Deon untuk diinterogasi.

"Bisa. Tapi, bagaimana dengan adikku? Dia harus sekolah, dan dia tidak boleh sendirian. Dia mengincar Lia," ujar Deon.

"Adikmu biar para polisi yang mengawalnya. Kau harus ikut denganku sebagai pembuktian," jelas Qei.

Deon pun mengangguk. Ia sendiri tak mau semua ini terus berlanjut. Karena, bisa saja dirinya atau Lia menjadi korban selanjutnya. Ia masih ingin sekolah dan membanggakan orang tuanya. Walau orang tuanya tak pernah mempedulikan kesehatan mentalnya sama sekali.

- The Silent in Midnight-

Deon melangkahkan kakinya ke sebuah kantor polisi yang cukup besar itu. Ia baru pertama kali menjejakkan dirinya di tempat para tahanan dan narapidana orang-orang yang haus akan dunia.

"Mari ikut saya," ajak Qei.

Deon pun mengangguk, ia lantas mengekori Qei menuju sebuah ruangan tempat dimana ia akan diinterogasi.

Sungguh, ia tak mau terlibat dalam masalah ini sebenarnya. Apalagi, jika benar itu Beni, apakah dirinya tetap akan bersikeras membelanya seperti sekarang? Padahal, nyawanya nyaris terancam tadi malam.

"Silahkan duduk," ucap Qei.

Deon pun duduk di kursi yang disediakan. Qei membuka laptopnya dan entah mengoperasikan apa sebelum kegiatan interogasi itu dimulai.

"Ekhem! Baiklah, kita mulai sekarang," ujar Qei mencoba menarik napas dalam-dalam.

"Apakah kamu siap?" tanya Qei memastikan.

"Siap," jawab Deon pasti. Ia yakin ini bukan Beni.

"Pertama, apa yang kau lakukan saat malam tragedi itu terjadi?" tanya Qei kepada Deon.

"Aku dan adikku sedang menonton siaran film horror. Adikku tidak mau tidur sebelum film horror itu selesai, jadi kutemani dia sampai larut malam," jelas Deon.

"Bagaimana bisa kau tahu jika malam itu kembali terjadi tragedi pembunuhan?" tanya Qei kembali.

"Aku mendengar dobrakan pintu di sela kami tengah menonton film. Kupikir, tetanggaku mabuk dan mendobrak pintu untuk masuk. Tadinya, aku akan membantu. Namun, saat terdengar suara teriakan. Kupikir, ada sesuatu terjadi kepada tetanggaku," jelas Deon.

"Teriakan? Seperti apa teriakannya?" tanya Qei lagi.

"Teriakan jeritan kesakitan. Aku pun lantas bergegas kesana dan kulihat, Saillen sudah tiada dengan kepala yang dipegang oleh sang pembunuh," ujarnya.

"Apa kau melihat jelas wajahnya seperti apa?" tanya Qei penasaran.

"Tidak, dia memakai topeng seram dan jubah hitam. Sepatu hitam, di lengan kanannya ada sebuah kapak dan kirinya memegang kepala Saillen," sahut Deon.

"Lantas, bagaimana bisa dia mengejarmu?" ucap Qei.

"Aku mendobrak pintu tersebut dan melihat dia berbalik seraya menyeringai. Kemudian, dia langsung mengacungkan kapaknya untuk mengejarku. Buru-buru aku lari, dan mengunci semua pintu serta jendela," jelas Deon.

"Apa yang dia lakukan kepadamu semalam? Dan bagaimana bisa kau baik-baik saja dan selamat beserta adikmu?" tanya Qei bingung.

"Aku tak melakukan apapun. Aku yakin jika malam itu adalah hari kematianku tapi aku melihat Lia. Aku lebih memilih menjaganya dan kami mengunci diri di kamarnya. Pembunuh itu menggunakan kapaknya untuk membobol rumah, namun entah bagaimana dia pergi begitu saja tanpa melakukan apapun," ucap Deon.

"Aneh. Kenapa dia tak membunuhmu atau adikmu? Kenapa kalian selamat?" ujar Qei bingung.

"Jelas aku tidak tahu. Tapi, aku akan melihat malam ini. Sepertinya, dia menargetkan orang-orang penting terlebih dulu," jawab Deon.

"Lantas, bagaimana bisa tetanggamu menuduh saudaramu pelakunya?" tanya Qei.

"Jelas karena kulit terbakar itu mirip luka kulit yang dimiliki saudaraku. Sejak lahir, ia memiliki kelainan dan diperlakukan tak senonoh oleh orang tuanya. Belum, ia juga di hina dan di pojokkan oleh semua warga sekitar. Ia hanya dekat denganku, namun setelah hari dimana aku bertengkar dengannya. Ia pergi, tak lama setelah ayah dan ibunya yang mendadak pergi dari sana tanpa pamit padaku sama sekali juga warga sekitar," jelas Deon.

"Apa kau tahu kemana perginya Beni?" tanya Qei kembali.

"Tidak. Dia tak memberikanku apapun dan pergi begitu saja tanpa pamit. Hanya saja, waktu itu aku pernah melihatnya berjualan ayam milik orang tuanya di kompleks sebelah. Kupikir, dia tak jauh dari sini," sahut Deon.

"Hmm.. Kasus yang sangat rumit," gumam Qei.

Deon pun meneguk salivanya. Ternyata, diinterogasi sebagai saksi itu menakutkan. Sebab, bisa saja dirinya yang dijatuhi pidana hanya karena bukti palsu. Padahal, ia mengatakan semuanya dengan nyata.

"Baiklah, kami akan mengurus staf forensik untuk mencari tahu hal yang sesungguhnya terjadi dan apa motif pembunuh tersebut membunuh para orang kompleks setempat," ucap Qei.

"Baik pak!" jawab Deon mantap.

"Baiklah, kau boleh pulang. Aku meminta nomor teleponmu jika kembali terjadi apa-apa. Dan ingat, jangan keluar jika ada sesuatu yang mencurigakan. Kau harus segera menelpon 119 untuk ini. Oke?" pinta Qei.

"Baik pak! Kalau begitu, saya pamit pulang!" pamit Deon.

"Deri, antarkan Deon kembali ke rumahnya dan pastikan dia selamat dengan baik," suruh Qei kepada Deri—rekan kerjanya.

"Siap! Deon, mari ikut dengan saya!" ajaknya.

Deon mengangguk kemudian mereka pergi dari kantor polisi tersebut. Deon harap, semua itu berakhir sampai sekarang saja. Jangan ada korban yang berjatuhan kembali.