webnovel

Maaf Yang Tertunda

Suasana terasa hening, karena setiap orang masih mengunci bibir mereka masing-masing. Hanya terdengar suara tegukan berulang kali, dari minuman yang sedang mengalir melalui kerongkongan Raja Emmerich. Berharap jika cairan yang sedikit memabukkan tersebut, mampu menghilangkan rasa canggung yang merayapi antara dua insan tersebut.

Cangkir kecil yang memiliki motif cukup rumit tersebut, entah berapa kali sudah mendarat pada bibir Sang Raja. Walaupun sudah cukup banyak menegaknya, tidak terlihat sedikit pun tersebut mempengaruhi Raja Emmerich. Menunjukkan jika pria dewasa itu adalah sosok yang sudah terbiasa dengan minuman itu.

Hanya terlihat wajah yang wajah yang samar-samar menjadi sedikit merah. Tanpa harus kehilangan kesadaran, yang nantinya akan membuat sesuatu hal yang tidak di inginkan.

"Tampaknya Yang Mulia sudah berpengalaman dengan hal ini," lirih Jessie sambil menyunggingkan sebuah senyuman.

Raja Emmerich segera mengalihkan bola matanya, langsung menuju ke arah Putri Azaela. Menatap lekat pada manik mata gadis tersebut, yang masih tetap sama seperti dahulu. Sebuah warna yang dapat menenangkan suasana hati setiap insan, yang tengah memperhatikan.

Begitu juga yang di alami oleh Sang Raja saat ini. Perasaan tentram pun segera meraup semua kegundahan yang ada, sama dengan manik mata wanita yang dia cintai tujuh belas tahun yang lalu.

Seorang wanita yang memiliki manik mata berwarna biru. Di bungkus dengan sebuah kesederhanaan, yang justru tidak sengaja memikat hati dan cinta Raja Emmerich. Wanita itu adalah ibu Putri Azaela, yakni Zalechcia. Seorang anak dari petani anggur yang ada di wilayah pelosok, Kerajaan Adanrille.

"Kamu tidak pernah mengenalku?" Raja Emmerich balik bertanya pada putrinya tersebut.

Kali ini dua pasang mata itu, saling bertautan satu sama lain. Menggambarkan sebuah perasaan asing yang teramat nyata. Memiliki rasa canggung dan sungkan yang bercampur aduk satu sama lain. Sehingga semakin menyulitkan keduanya, walaupun hanya ingin sekedar berkomunikasi dengan ringan satu sama lain.

Pertama kali, Raja Emmerich melihat wajah putrinya tersebut ketika bayi mungil itu di lahirlah ke dunia. Di buntuti oleh perasaan bahagia yang tiada bisa terbendung. Mengingat bayi yang di beri nama Putri Azaela itu lahir dari rahim wanita yang sangat dia cintai.

Akan tetapi, hal tersebut rupanya tidak bisa bertahan dengan lama. Karena tidak lama kemudian, Zalechcia pun menghembuskan nafas terakhir. Tentu saja Raja Emmerich dipenuhi oleh rasa kesedihan yang teramat dalam. Berjanji jika dia akan menjaga baik anak tersebut pun akhirnya hanya tinggal kalimat bualan belaka saja. Kalimat yang pernah dia ucapkan di hadapan tubuh Zalechcia yang sudah kaku dan dingin tak bernyawa.

Ternyata itu adalah pertemuan pertama dan terakhir Raja Emmerich dan Putri Azaela selama tujuh belas tahun terakhir. Dan pada hari ini adalah pertemuan kedua mereka. Walaupun begitu Raja Emmerich tidak lupa mengutus seseorang untuk memantau keadaan Putri Azaela, secara tidak langsung dan secara diam-diam. Karena dia tidak ingin hal tersebut menjadi masalah, yang sudah pasti akan dibesar-besarkan oleh Ratu Azhura.

"Aku memang tidak pernah, dan tidak ingin mengenalmu, Yang Mulia. Karena ... itu adalah pelajaran pertama yang Anda berikan kepadaku," lirih Jessie datar.

Jessie sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi antara Putri Azaela dan Raja Emmerich yang menjadi ayahnya tersebut. Semua ini dia ketahui dari Lyne, gadis yang selama ini selalu setia menemani dirinya.

Mendengar cerita yang lebih menyedihkan dari yang dia pikirkan tersebut, membuat Jessie ingin meluruskan kembali kehidupan Putri Azaela yang sebenarnya. Sedikit bumbu pembalasan, pada orang yang telah menyakiti hati gadis tersebut. Bukan Jessie namanya jika membiarkan orang lain, menginjak harga diri miliknya dengan begitu mudah.

Mendengar perkataan yang baru saja keluar dari bibir sang Putri tersebut, membuat Raja Emmerich terhenyak pada tempat duduknya sekarang. Menatap kosong pada cangkir yang telah kosong, namun masih berada di dalam genggaman tangannya. Satu sudut bibir, yang sudah terlihat memiliki kerutan terlihat sedikit terangkat. Melukis sebuah senyuman yang di penuhi rasa iklhas yang sangat dipaksakan.

Karena Raja Emmerich tahu, jika cepat atau lambat hal ini pasti terjadi. Mba mungkin ada anak yang menerima sosok ayah, yang sangat egois seperti dirinya. Sosok yang lebih mementingkan meraup sebuah kekuasaan, daripada harus hidup bersama dengan wanita yang sangat dia cintai. Dan secara tidak langsung sudah menelantarkan buah hati mereka sendiri.

"Iya ... kamu benar. Aku memang pantas mendapatkan perlakuan seperti ini." Tersenyum pahit. "Tapi ... Putri Azaela. Apa pintu maaf itu masih terbuka untukku?" tanya Sang Raja dengan mata yang sayu, penuh pengharapan.

"Entahlah ... aku akan menanyakan hal itu pada diriku sendiri, terlebih dahulu." jawab Putri Azaela lagi. "Karena semua yang aku lewati, sampai pada detik ini. Bukanlah hal yang bisa di anggap mudah. Semudah membalikkan kedua telapak tangan secara bersamaan. Anda juga pasti mengerti hal itu," lirih Jessie kembali berucap dengan kalimat pilihan yang terdengar cukup halus, namun dengan arti yang amat menusuk.

"Baiklah jika itu yang kamu inginkan, Putri Azaela. Aku akan terus menunggu pintu itu terbuka kembali. Sehingga aku bisa masuk dengan hati yang lebih leluasa."

Setelah kalimat terakhir tersebut terdengar, suasana kembali hening. Karena baik Raja Emmerich ataupun Putri Azaela, lagi-lagi mengunci bibir mereka kembali dengan rapat. Seakan-akan sedang berpikir bagaimana baiknya, agar percakapan itu terus berlangsung hingga sampai pada tujuan yang diinginkan.

"Apa sebenarnya tujuan itu?" tanya Jessie tanpa penuh dengan basa-basi. Terasa sangat melelahkan, ketika harus mendengarkan masalah orang lain, yang di penuhi oleh rasa penyesalan yang selalu datang pada saat-saat terakhir.

Raja Emmerich tidak segera menjawab pertanyaan putrinya tersebut. Akan tetapi, mengangkat cangkir milik Putri Azaela, yang sedari tadi belum tersentuh oleh bibir yang berwarna kemerahan tersebut. Mengantarkan benda tersebut tekan di depan Putri Azaela.

"Satu cangkir tidak akan membuatmu kehilangan kewarasan. Aku berjanji," lirih Raja Emmerich sambil tersenyum.

Kedua mata Putri Azaela sedikit menyipitkan, menatap langsung pada pria yang sejarang berstatus sebagai ayah kandungnya tersebut. Mengeluarkan senyum lebar, dengan memperlihatkan barisan gigi tapi yang dia miliki.

"Kamu takut?" Raja Emmerich kembali menambahkan.

'Orang tua ini tidak tahu, jika aku bahkan bisa minum minuman yang lebih keras dari pada minuman yang sedang terhidang ini,' lirih Putri Azaela di dalam hatinya.

Tanpa berkata apapun juga, Putri Azaela langsung mengambil cangkir tersebut. Dan langsung menegakkan minuman itu masuk ke dalam kerongkongannya.

"Tidak ada tujuan lain. Aku hanya ingin bertemu denganmu, Putri Azaela. Melihat keadaanmu yang baik-baik saja secara langsung, membuat kekhawatiran yang selama ini menumpuk, agak sedikit berkurang." Terlihat Raja Emmerich pun tersenyum.

Akan tetapi, hal aneh terjadi pada Jessie. Pandangan matanya sedikit kabur, dan seketika menjelma sebagai gambar-gambar aneh di depan matanya.

Bersambung ....