"Apa kamu terluka?" tanya Jerry Yan.
Bunga hanya menggelengkan kepala. "Ayo, kita keluar dulu dari tempat ini," lanjut Jerry Yan melepaskan pelukannya.
Tak perlu di tanyakan lagi bagaimana perasaan Bunga saat itu. Bingung, kesal dan tidak tahu apa yang hendak dilakukan karena memang situasi membuatnya canggung. Jerry Yan kembali terlibat di dunianya dan membuat Bunga sedikit melunak.
"Aku akan mengantarmu pulang. Dimana rumahmu?" tanya Jerry Yan lagi.
"Saya mondok di pesantren itu. Terima kasih untuk hari ini. Saya pamit dulu, assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh," Bunga gugup, ia pun langsung pergi begitu saja.
"Tunggu!" suara Jerry Yan menghentikan langkah gadis bersuara lembut itu.
Bunga menoleh. Jerry Yan pun menanyakan nama asli dari Bunga dan mulai berkenalan secara resmi. Jerry Yan meminta maaf karena sebelumnya telah lancang menghubunginya tanpa minta izin atau bertanya lebih dulu.
Tak ingin ada kesalahan pahaman, Bunga pun tidak lagi mempermasalahkan hal itu. Setelah berkenalan, saling menyimpan nomor ponsel, tiba saatnya mereka harus berpisah. Bunga kembali ke pondok dan Jerry Yan akan mengurus Angga yang sedang di urus oleh orang suruhan Jerry.
Sejak hari itu, hubungan antara Bunga dan Jerry Yan menjadi lebih baik lagi. Jerry Yan juga selalu menemui Bunga sepulang sekolah. Mereka juga sering makan bersama jika Bunga ada waktu luang. Tak hanya itu saja, Jerry Yan juga sering membawakan bunga kesukaan Bunga, serta membawa coklat untuk gadis yang mencuri hatinya itu.
Bahakan Jerry Yan juga pernah membawakan boneka beruang yang besar untuk Bunga. Perlahan, Jerry Yan pun juga sudah mulai belajar shalat setelah sekian lama tidak melakukannya.
***
2 bulan berlalu.
Ujian sekolah sudah di depan mata. Meski begitu, bagi Bunga, Meitha dan juga Lidia, ujian sudah tiba bukan hal yang sulit. Mereka bertiga adalah juara di sekolah. Peringkat pertama hingga sampai tiga, di tempati oleh mereka bertiga.
Usai kelulusan, semua orang tua murid datang ke sekolah untuk menghadiri acara wisuda. Bunga melihat Meitha bersedih di kamar mandi siswa yang tak jauh dari aula tempat wisuda di laksanakan. Kemudian, Bunga pun meminta Lidia untuk menanyai Meitha yang sedari tadi tak keluar dari toilet.
"Mei, kamu kenapa?" tanya Lidia.
Meitha tak kunjung menjawab.
"MEI!" sentak Lidia gemas.
Dengan tangan gemetar, Meitha menunjukkan alat tes kehamilan kepada kedua sahabatnya. Hasilnya positif, menyatakan jika dirinya sedang mengandung. Ternyata Meitha juga telah melakukan pemeriksaan sendiri ke dokter kandungan.
"Dokter mengatakan usia kandunganku sudah memasuki 3 bulan," ucap Meitha lirih seraya menundukkan kepala.
Bunga dan Lidia tidak peduli apa yang terjadi kepada sahabatnya itu. Keduanya langsung memeluk Meitha, memberi dukungan kepadanya. Bunga juga merasa bersalah karena tidak menjaga dengan baik sahabatnya itu.
"Pria menjijikkan itu harus tau, Mei. Dia harus bertanggung jawab akan anak ini!" tegas Bunga.
"Jangan!" Meitha menolak.
"Jangan pernah mengatakan apapun kepadanya. Aku tidak ingin ada masalah lain setelah ini. Aku juga tidak punya bukti jika dia yang telah membuatku seperti ini. Jika ingin melakukan tes DNA, itu juga harus menunggu anak ini lahir, bukan?" terang Meitha dengan suaranya yang lemah.
Meitha mengatakan itu dengan tangisan tak bersuara. Memang tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Angga yang telah membuatnya mengandung. Jadi Meitha hanya bisa sadar diri dan berusaha untuk menanggung semuanya sendiri.
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan, Mei? Dengan kondisi yang seperti ini, bagaimana kau--" bahkan Lidia saja tidak sanggup mengatakan apapun kepada sahabatnya itu.
"Setelah kelulusan ini, aku akan pergi jauh membawa anakku. Bunga, maaf aku tidak bisa menemanimu menjadi Dokter, dan menemani kamu menjadi Sarjana hukum, Li," jawab Meitha menyentuh kedua tangan sahabatnya. Tangisannya pecah saat itu.
Hati perempuan mana yang gak terluka jika sahabat yang sudah lama menemaninya mendapat musibah seperti itu. Yang Meitha alami bukan hanya pelecehan saja, namun juga mengarah ke kekerasan, penyiksaan batin karena mengalami trauma yang mendalam. Apalagi, sampai membuatnya mengandung di usianya yang masih sangat muda.
"Bunga, apa kau di dalam?" salah satu seorang siswi mengetuk pintu dan mengkagetkan ketiganya.
"Oh, i-iya. Ada apa?" sahut Bunga.
"Orang tuamu sudah datang. Mereka mencarimu, Apakah kau bisa segera menemui mereka?" ujar siswi tersebut.
"Iya makasih, ya. Aku akan segera menemui mereka!" sahut Bunga lagi.
Bunga menatap Meitha dengan penuh arti.
"Pergilah, Bunga. Bukankah kamu sudah lama tidak bertemu dengan kedua orang tuamu? Berkas kalau sudah datang, tunggu apa lagi?" Kata Meita dengan senyuman.
"Kau juga, Lidia. Aku akan baik-baik saja di sini. Pergila__" sambung Meitha berusaha tegar.
Seperti biasa, Lidia mengatakan kepada kedua sahabatnya jika yang datang di wisuda itu adalah asisten rumah tangga, bukan kedua orang tuanya. Lidia ingin sekali menemani Meitha di toilet. Akan tetapi, Meitha menolaknya.
"Kalian pergi saja dulu. Sebentar lagi pasti Ibu dan Ayahku juga datang, tapi aku mau sendiri dulu di sini, hm?" Meitha masih membutuhkan waktu sendiri.
Bunga dan Lidia pun keluar dari toilet. Seperti yang dikatakan oleh Meitha, Bunga dan Lidia pun menemui keluarganya masing-masing. Dalam hati Bunga, ia tidak sanggup melihat masa depan sahabatnya yang hancur begitu mudah karena seseorang yang tak bertanggung jawab. Dan di usianya yang masih sangat muda harus mengandung tanpa seorang suami atau dukungan keluarga. Bunga tidak bisa membayangkan itu.
"Kakak!" panggil Rendy, berteriak.
"Kakak! Kak Bunga!" teriak sang bungsu.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh, tuan putriku--" bisik sang Abi dari belakang.
Mendengar sebutan 'tuan putriku' membuat Bunga langsung menoleh dan menyebut nama Jerry Yan. "Mas Jerry?" sebutnya.
Kemudian langsung kecewa karena yang dilihat adalah Abinya, bukan pria yang saat itu sedang dekat dengannya.
Ustadz Rizal, nama dari Abi Bunga. Kemudian, nama Ibunya adalah Annisa. Keduanya menikah melalui perjodohan yang sudah orang tuanya atur sejak mereka belum lahir.
"Ehem, siapa Mas Jerry?" goda Abi Rizal. "Oh, apakah dia kekasih pujaan hatimu?" sambungnya lagi.
"Ah, Abi. Mana ada kekasih pujaan. Hanya … hanya teman, kok!" Bunga menampik godaan Abi Rizal dan menyembunyikan wajahnya yang malu.
"Eh malu anak Abi? Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh, tuan putri Abi,"
"Wa'alaikumsallam warahmatullahi wabarokatuh," Bunga mencium tangan Abi Rizal dan Mama Annisa.
Sama halnya dengan sang suami, Mama Annisa juga selalu saja menggoda putrinya. Apalagi, sang putri kini sudah beranjak dewasa. Yang mana artinya, pasti putrinya itu sudah paham dengan dunia manisnya cinta.
"Cie yang sudah punya gebetan. Siapa, Nak, gebetannya?" imbuh Mama Annisa.
"Tadi sih manggilnya Mas Jerry," timpal Abi Rizal.
Bunga menutupi wajahnya karena malu. Dia terus mengatakan jika tidak ada crush atau gebetan atau bisa disebut orang yang sedang ia sukai. "Nggak ada gebetan, Abi, Mama. Cuma teman, kok!" seru Bunga.
"Baiklah kalau hanya sekedar teman. Abi jadi pengen kenalan juga sama yang di panggil Mas Jerry itu," kembali Abi Rizal menggoda putrinya.
"Aaaa, Abi!" Bunga sampai pipinya memerah karena malu.
Abi Rizal sangat bangga dengan putri satu-satunya itu. Bisa mendapatkan nilai paling tinggi di sekolahnya. Abi Rizal pun memiliki niat untuk putrinya itu melanjutkan pendidikan perguruan tingginya di kota tempat ia lahir saja. Beberapa pihak, sudah menanyakan putrinya untuk bisa bergabung dengan kampus di sana.
Sesuai dengan perjanjian di awal. Setelah lulus SMA, Bunga akan kembali ke kota kelahirannya. Kemudian, melanjutkan kuliah dimana dirinya ingin sekali menjadi seorang dokter sejak kecil. Namun, entah mengapa Bunga menjadi sedikit berubah pikiran untuk meninggalkan kota yang berkesan dalam hidupnya itu.
Ada hal yang membuatnya berat, hatinya mulai tertarik dengan laki-laki yang sering menemuinya itu. Namun keinginannya untuk pulang ke kampung halaman juga sangat tinggi.