Rumah Sakit Kensington, London.
Keesokan harinya…
Di lorong rumah sakit, tepatnya di depan ruangan dengan papan tertulis 'Operating Theater' tampak Noel yang sedang duduk dengan kepala menunduk.
Digenggamannya tampak kalung berliontin dimana di dalamnya ada foto keluarga. Ia menggenggam erat dengan hati berdoa, berharap dengan hati cemas menunggu jalannya operasi, sebelum siangnya harus ke sekolah untuk menyelesaikan ujian terakhirnya.
Seharusnya, hal yang dilakukan seorang pelajar yang akan menghadapi ujian adalah belajar, bukan justru menunggu dengan hati gelisah jalannya sebuah proses operasi. Tidak, ia tidak sedang mengeluh, ia justru akan merasa berdosa kalau tidak mendampinginya sang kakak seperti ini.
Noel melihat lampu kamar 'OK' itu dengan bibir tergigit, sudah berapa lama ia menunggu seperti ini sampai-sampai ia merasa gelisahnya semakin parah saja.
"Tuhan, semoga Kak San baik-baik saja di dalam sana. Hanya dia yang kupunya saat ini, aku menyayanginya," gumamnya sedih.
Kruuckk…
Ugh….
Perutnya seketika merasakan lapar, ia lupa kalau pagi sampai menjelang pukul sepuluh ini ia sama sekali belum menelan apapun, kecuali air putih yang diminumnya ketika bangun tidur.
"Huft…. Aku harap kantin sekolah menyediakan makanan enak," gumamnya sambil memegangi perutnya yang melilit.
Tidak lama dari ia menunggu, akhirnya lampu tanda jalannya operasi berganti warna. Ia yang melihatnya sontak berdiri dan siap menanyakan bagaimana kakaknya saat ini.
Pintu juga akhirnya terbuka, dengan seorang dokter yang sudah melepas atribut dan kini tampak berjalan ke arahnya.
"Bagaimana dengan Kakak saya, Pak Dokter?" tanya Noel dengan raut wajah gelisah serta khawatir yang diperlihatkan jelas.
Dokter muda yang menjadi penanggung jawab operasi itu mengulas senyum kecil, membuat Noel memiliki harapan besar, apalagi ketika penjelasan terucap dan ia tidak bisa untuk tidak semakin memperlebar senyum senangnya.
"Selamat Nona Felicia, operasi berjalan sukses dan menunggu untuk pasien sadar. Kami akan pindahkan pasien ketika sudah siap, kamu bisa menemaninya setelah itu."
"Saya mengerti, terima kasih Pak Dokter," sahut Noel masih dengan senyum bahagianya.
"Kembali kasih, kalau begitu saya tinggal ya, Felicia," tukas sang dokter memanggil nama Noel dengan senyum terulas tampan.
Noel tersipu melihatnya, ia mengangguk dengan senyum malu dan membiarkan sang dokter pergi meninggalkannya sendiri di depan ruang operasi.
Noel hanya mampu melihat kepergian sang dokter dengan hembusan napas kecil, sebelum akhirnya menoleh kembali ke arah pintu yang belum menunjukan tanda akan terbuka dan itu artinya ia masih harus menunggu.
"Baiklah, setelah ini aku bisa mengerjakan semua ujian dengan tenang. Terima kasih Tuhan, terima kasih Kak San, kamu pasti bisa cepat sembuh," gumamnya dengan hati senang membuncah.
Pintu yang kembali terbuka dengan sebuah berangkar yang didorong oleh beberapa perawat membuatnya tersentak kecil, sebelum akhirnya menghampiri dan ikut mengiringi sang kakak yang berada di atasnya.
***
Penthouse Skyscraper, Kensington, London
Pagi hari di saat yang bersamaan…
Di sebuah hunian mewah, tepatnya di sebuah kamar tampak seorang pria yang sedang berjalan menuju walkin closet, hendak mengemas pakaian olahraga golf miliknya.
Hari ini ia ada janji untuk bermain golf dengan teman sekaligus rekan bisnisnya yang sudah lama mengatur janji ini.
Ia adalah Gael, seorang pria single yang menjabat sebagai Presdir Robinson Group, perusahaan keluarga yang dikelola olehnya beberapa tahun terakhir ini.
Gael melipat rapih pakaian miliknya ke sebuah duffel bag berwarna abu-abu, bersama sepatu yang dibungkus rapi dengan kantung yang ditarik dan diikat talinya, kemudian diletakan di sisi lain tas.
Merasa semua perlengkapannya masuk ke dalam tas tanpa ada yang tertinggal, ia pun menarik resleting dan menentengnya, membawa keluar walkin closet kemudian diletakannya di lantai samping tempat tidur.
Ia kembali melihat sekitarnya, hingga matanya tertuju dengan ranjang yang kini sprainya rapi, tidak seperti malam itu ketika ia bangun tidur sambil memeluk seorang gadis muda.
Sial, menyebut gadis muda membuatnya seperti seorang pria tua saja.
Ia mengumpat, merutuki ingatannya yang tiba-tiba saja tertuju ke kejadian malam itu, malam dimana ia merasakan miliknya dimanja dengan pijatan lembut yang dirasakan.
Tak ayal karena ingatannya itu, sesuatu mulai bangun dengan hasrat yang tanpa tendeng aling-aling mencuat begitu saja. Hingga akhirnya umpatan kembali menggema di kamar itu, disusul dengan debaman pintu kamar mandi yang tertutup kasar.
Blam!
Dan selanjutnya, hanya ada suara umpatan yang kembali menggema dengan geraman yang tidak perlu dijelaskan lagi kenapa sampai ada suara seperti itu.
Beberapa saat kemudian…
Hendon Golf Club, Kensington.
Lapangan luas dengan hijau menjadi pemandangan sepanjang mata melihat adalah tempat Gael saat ini berada. Menempuh sekitar 20 menit dengan kendaraan pribadi dari kantornya berada, ia yang telah menyelesaikan pekerjaannya dengan menyisakan untuk dibawa pulang kini akhirnya sampai di tempat golf sesuai janji.
Saat ini pun ia ada berada di sebuah balkon sebuah lounge, dengan meja serta payung yang menghalau saat matahari siang mengintip malu karena terhalang awan mendung.
Sebuah topi terpasang di kepalanya, yang kini menoleh ketika namanya dipanggil oleh seseorang di samping.
"Yo Gael, bagaimana dengan party nanti malam?"
"Hn, party?"
Gael menyahutinya dengan pertanyaan memastikan, yang diangguki segera oleh seseorang yang mengajaknya main golf bersama.
"Yup! Kau tahu, wanita, penari tiang, serta musik dan minuman seperti biasa. Kita akan memakai topeng untuk identitas pribadi," jelas temannya.
Pria dengan warna rambut pirang serta mata huzel itu memiliki paras tampan dengan postur tubuh tinggi dan tegap. Suaranya serak, tapi itu adalah daya pikatnya yang mampu membuat para wanita meleleh ketika terkena rayuan.
Dan ia berasal dari keluarga Manoko, pemilik salah satu hotel dengan cabang hampir di seluruh wilayah London.
Gael benar-benar berteman dengan pria keturunan dewa dan keluarga kaya, ketika ia sendiri seperti dewa dengan pahatan tanpa cela. Percayalah, para dewa sendiri pasti iri melihat parasnya.
Ya, belum lagi teman prianya yang lain, yang kini sedang mempersiapkan stik golf yang akan dipakai. Pria dengan senyum mempesona, yang juga menoleh dan menimpali apa yang dikatakan teman sebelumnya.
"Dan kondom, jangan lupakan itu."
Uhuk…
"What's wrong, Dude? (Ada apa, Bung)"
Suara sedakan yang berasal dari Gael membuat keduanya menatap khawatir, apalagi si pirang yang kini menepuk punggung si presdir Robinson yang segera menepisnya pelan, seakan mengatakan jika ia baik-baik saja.
"Nope," jawab Gael sambil mengayunkan sebelah tangannya berulang, sedangkan tangan lainnya menepuk dada saat merasakan debaran aneh.
Entahlah, ia seakan lagi-lagi dibawa mengingat dengan peristiwa malam dimana ia lupa memakai kondom ketika bermain dengan perawan bernama Noel.
Sial, kenapa harus lagi-lagi mengingatnya. Sepertinya aku memang harus menikmati permainan lainnya agar segera melupakan gadis itu, lanjutnya mengumpat dalam hati.
Kedua temannya yang melihat kelakuan tidak biasa Gael memperhatikan dalam diam, membuat yang diperhatikan melirik dan balas menatap dengan datar, seperti biasa.
"Ada apa? Mau kucolok, huh!?"
"Damn you Gael!"
Umpatan dari kedua pria tampan itu menuai seringai miring seorang Gael, yang kini tampak berdiri dan bersiap untuk memulai permainan golf.
"Well, taruhan yang paling banyak memasukkan bola akan mendapatkan mobil sport terbaru," tantang Gael sambil menganyunkan stik golf, pemanasan.
"Siapa takut!"
Bersambung.