webnovel

Pervert Stranger | Alexa Robinson

"CARLA, kenapa kau mengajaku ke sini?" Gadis berusia 22 tahun itu melongok heran menatap tangannya yang terus digenggam sahabatnya memasuki area terlarang. Sebuah bar mewah yang terpajang di salah satu pinggiran kota New York.

Dia bersumpah demi apapun tempat ini merupakan area terkotor−selain rumah bordil−juga terlarang menurut kepercayaan yang ada di keluarganya. Jika saja saat ini ibu atau neneknya melihatnya sedang berdiri di tempat ini, Alexa yakin dia akan digantung hidup-hidup bahkan lebih parah dari itu.

Dasar Carla sialan.

Gemerlap lampu kelap-kelip terasa menusuk mata begitu seluruh tubuhnya terlahap masuk ke dalam ruangan itu.

"Kau terlalu polos, Mrs. Harvard. Kau harus mencoba 'sesuatu hal yang baru' untuk membuka matamu seinchi saja." Ujar perempuan berambut bob itu sambil terus menerus menarik tangannya.

Alexa, sesekali terkantuk lantai mengimbangi langkah sahabatnya yang terlalu bersemangat. Tangan kirinya yang dibiarkan bebas terlalu sibuk untuk terus menerus merapikan tali spagheti yang tersampir di bahu yang terus turun melaju ke arah tangannya. Pakaian yang sangat merepotkan menurutnya. Dan tentu saja tidak sopan.

Ini pertama kalinya Alexa memakai gaun seperti ini. Gaun ini sangat sexy. Berwarna jingga dengan bawahan menjuntai yang hanya menutupi beberapa senti pahanya. Belahan dadanya dibiarkan terekspos begitu saja hanya ditutupi kain setengah dari payudaranya.

Memang gaun yang terlalu berani. Menonjolkan sisi fisik perempuan namun sangat bitchy.

"Pelan-pelan, Carla." Sekali lagi Alexa setengah berteriak pada Carla Bohemian, sahabat satu-satunya yang ternyata agak sinting.

"Ta−ddaaa," Carla menghempaskan tangan Alexa kemudian merentangkannya, menirukan para pengawal dan pelayan zaman dulu yang sedang menyambut anggota kerajaan. "Welcome to free live, My Queen." Ucapnya sambil tertawa cekikikan.

"Dasar perempuan gila." Maki Alexa pada Carla yang kini meletakan bokongnya untuk duduk di kursi.

Carla mengambil beberapa stick kentang yang ada di atas meja dan melahapnya. "Hell, yeah. Nikmati saja, nona muda. Aku sudah menyewa reservasi untuk kita berdua sebagai hadiah ulang tahunmu." Carla melemparkan kunci sembarang ke depan dan Alexa berhasil menangkapnya walau keseimbangan tubuhnya agak limbung.

"Itu kunci kamar kita. Jangan sampai kau hilangkan atau aku berani bersumpah akan membuatmu tidur di jalanan malam ini." Janjinya.

Alexa membungkukan badannya meniru para pelayan kerajaan yang tadi dimainkan Carla. "Baik nona muda si tukang perintah." Alexa menanggapi dengan kesal.

Carla meraih botol whiskey dan menuangkannya pada gelas. Sekali tegukan gelas kecil itu sudah tandas. Carla bangkit lalu meraih pergelangan tangan Alexa kembali. "Ayo kita habiskan malam ini dengan bersenang-senang, Mrs. Harvard. Kau terlalu kaku untuk ukuran gadis famous dan …"

"Beautiful. Sudahlah aku bahkan sudah muak mendengarmu menyebutku begitu." Tutur Alexa jujur.

Dengan langkah gontai dan terpaksa dia mengikuti Carla di belakangnya. Pasrah jika sahabat tololnya ini akan melakukan sesuatu hal yang menurutnya gila. Dan Alexa rasa jika selama ini gadis itu membutuhkan perawatan intensif di ruang psikolog karena kelakuannya yang memang agak sinting. Walau dia berani jujur−wajahnya yang sepolos bayi mampu menutupi kegilaannya.

Tadi sore sehabis pulang kuliah tiba-tiba saja Carla dengan tidak manusiawi menggaet lengan Alexa agar menemaninya pergi ke mall. Dia membeli beberapa helai pakaian−yang diketahuinya sebagai gaun dengan harga selangit yang mampu mencekik dompetnya hanya dengan mengingatnya.

Setelah itu mereka pergi ke salon selama berjam-jam hanya untuk merasakan pijatan wanita dengan jari sehalus salju atau pun para lelaki dengan kuku lentik dan tungkai seksi. Dia berani bertaruh jika para lelaki itu tidak akan tegang walau pun melihatnya telanjang sambil menari stripper.

Dan begitulah yang terjadi selama empat tahun terakhir−ketika dia mulai mengenal Carla. Satu-satunya sahabat perempuan terdekatnya yang dikenalnya saat pertama kali menginjakan kaki di pelataran kampusnya dulu. Harvard.

Dan selama itu pula Alexa merasa bahwa dia hanya memanfaatkan kebaikan Carla untuk kepentingannya. That's shit.

Maka Alexa hanya perlu mengerjakan beberapa tugas kuliah Carla−mahasiswa sastra inggris−ketika dia mengalami kesulitan dan menemaninya kemana pun dia pergi. Itu satu-satunya cara gadis miskin sepertinya untuk berterima kasih atas semua kebaikan puteri pengusaha sukses itu.

Walaupun dia menyadari bahwa tugasnya sebagai mahasiswa di Fakultas Ekonomi menuntutnya lebih rajin dan lebih pintar juga kritis dari Fakultas mana pun di Universitasnya. Maklum dia adalah mahasiswi akuntansi yang taat aturan.

Seperti malam ini. Tepat di hari ulang tahunnya. Tidak seperti tahun-tahun terakhir, biasanya dia hanya merayakan ulang tahunnya dengan pergi ke kedai pasta murah lalu menikmati salah satu menu favoritnya−Aglio Olio dengan saus tomat pedas. Memetik bunga aster bersama Starla di taman belakang rumahnya, atau membaca komik bersama Aidan seharian di apartemennya.

Hal-hal seperti itu biasanya menyenangkan. Tapi rencananya rusak oleh sang nona muda Carla. Dan dia hanya bisa menerima sambil mengelus dada.

"Carla kapan kita pulang?" Tanya Alexa ketika mereka sudah sampai di lantai dansa.

"Apa?" Carla berteriak keras seolah-olah Alexa yang ada di hadapannya terkena penyakit gangguan telinga.

"Kapan kita kembali ke apartemen?" Alexa mengulangi pertanyaannya dengan suara cukup keras. Alunan musik yang berdentum-dentum mungkin sebentar lagi akan memecahkan gendang telinganya jika Alexa masih nekad berdiam diri di bar itu.

Carla hanya menyunggingkan smirknya sebagai jawaban dari pertanyaan bodoh Alexa. "Kita tidak akan pulang, Mrs. Harvard. Tidak. Malam. Ini." Carla menekankan pada tiap baris katanya.

"Tapi …" Alexa terus menerus membujuknya sambil melihat sekeliling dengan pandangan tak enak.

Alexa sama sekali tak pernah masuk ke dalam bar atau klub sebelum ini, biasanya dia hanya menjemput Carla−itu pun di pintu masuk−jika keadaan amat terpaksa. Tiap kali dia melihat bangunan ini nyalinya selalu ciut dan perasaannya selalu gundah gulana. Dan saat dia merasa tidak nyaman dengan keadaan sekitarnya, dia merasa, Ummm, sedikit tidak cocok dengan kehidupan yang bebas seperti ini. Bukan karena dia terlahir dari keluarga yang menganut katholik dan menjunjung tinggi moral. Namun, dia hanya merasa sedikit terganggu, itu saja.

"Nikmati saja, Mrs Harvard. Coba kau minum satu gelas, itu mungkin akan menghilangkan sedikit kegelisahanmu yang tak berasalan itu."

Setidaknya Carla agak mengerti mengenai perasaan tidak nyaman Alexa.

"Aku ingin berdansa," Teriak Carla. Lagi. Alexa menggeleng. "Jika kau tidak mau, kau boleh pergi ke kamar yang sudah ku pesan. Kuncinya bersamamu kan?" Alexa mengangguk. Carla hanya menjentikan jari lalu memamerkan ibu jari gendutnya setelah itu Carla melenggang menjauhinya dan kembali larut dalam alunan musik yang merobek telinga.

Carla meninggalkannya dan menyambut uluran beberapa tangan lelaki yang sedari tadi mengajaknya berdansa.

Alexa bak keledai bodoh saat ini. Suasana ingar bingar di sekitarnya tak mampu menggetarkan nyawanya malah dia merasa teramat canggung. Dia melangkahkan kakinya menuju sofa terdekat dan mendapati dirinya mendapati posisi nyaman. Dari posisi itu Alexa mampu melihat orang-orang yang sedang berdansa di hadapannya. Ada yang sedang tertawa, menggoda pasangannya. Ada juga yang merayu dan melakukan flirting pada wanita-wanita yang gampang di ajak.

Kebahagiaan yang menurutnya dibuat-buat yang melingkupi orang-orang itu. Mereka berpesta tapi hatinya tidak bahagia. Pemikiran itulah yang tersimpan dalam benaknya.

Dia melihat beberapa camilan di meja di depannya. Dia menarik botol berwarna hitam pekat lalu menuangkannya pada gelas. Alexa mengangkat gelas putih yang berisi air jernih itu lalu menggoyangnya. Air itu bergoyang mengikuti gerakan tangan Alexa. Lama dia memandanginya dan terhanyut menatapi air yang bergoyang-goyang itu.

Dia seakan lebih tertarik memandangi air yang bergoyang itu dari pada orang-orang yang berada di sekelilingnya.

"Hei," Seorang pria tiba-tiba menghampirinya. Pria itu menepuk pundaknya membuat Alexa kaget. Dia dia tidak sengaja menjatuhkan gelasnya sehingga isinya tumpah pada jas putih yang dipakai lelaki itu.