webnovel

The Last Memories

Ebi, gadis cantik yang tumbuh dengan rasa sedih sepanjang hidupnya. Mamanya pergi meninggalkan dirinya setelah melahirkan, ayahnya meninggal dunia, dan hanya Bu Jihan - adik dari mama Ebi yang dengan berat hati mau mengasuh gadis itu. Hidupnya tidak gratis, harus ada imbalan yang ia berikan untuk Bu Jihan. Namun, kehidupan pahitnya berubah menjadi manis ketika dirinya bertemu dengan cowok bernama Alzam, dan Alfa. Mereka memberikan kisah manis yang tak pernah Ebi bayangkan sebelumnya. Meskipun manisnya hidup di rasaka, tetap saja ada rasa pahit yang terus Ebi lalui untuk bertemu dengan mamanya yang entah ada di mana.

meybulansafitrii · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
175 Chs

SEUTAS HARAPAN ALTA

"Udah selesai?"

Suara itu membuat Ebi menoleh, kedua sudut bibirnya terangkat. Ia segera berlari menghampiri Alzam yang sedang berdiri di samping meja nomor empat belas.

"Kamu udah lama di sini?" tanya Ebi senang.

"Iya lumayan sih Ta, udah abis dua porsi kentang goreng, sama dua teh kotak," sahut Alzam, "Jadi gimana?"

"Gimana  apanya Al?"

"Udah selesai apa belum kerjanya? Biar aku anterin kamu pulang," jelasnya.

"Ha? Gak usah Al, kerjaan aku masih banyak. Kamu pulang aja, aku bisa pulang sendiri kok!"

Alzam menghela panjang, ia mulai berkacak pinggang sambil memberikan raut muka seriusnya, "Nerta aku lagi serius sekarang. Berapa lama pun pekerjaan kamu, bakalan aku tungguin. Mau sampai jam dua belas malem juga aku tungguin."

"Tapi Alzam-"

"Udah deh Ta, nurut aja sama aku! Ini semua demi kebaikan kamu."

"Kebaikan apa?" tanya Ebi.

"Hm, kebaikan sama keselamatan kamu yang utama. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa di jalan nanti pas pulang, jadi mulai hari ini aku mau jadi ojek pribadi kamu."

Penjelasan Alzam membuat Ebi terdiam, detik berikutnya  ia tersenyum tipis, "Kamu duduk ya, aku mau ngepel sebentar, terus kita pulang."

"Oke."

"Aku pergi ya Al."

"Jangan capek-capek ya Ta kerjanya!"

Ebi hanya mengangguk sambil tersenyum sebelum kembali menuju bagian belakang.

"Lo temenan sama anaknya bos?" tanya gadis berambut ikal itu.

Ebi mengangguk, "Iya, temen di sekolah, kenapa La?"

Lala hanya menggeleng, dan melenggang pergi meninggalkan Ebi yang masih tidak mengerti.

Ebi hanya menggeleng, dan segera mengambil alat pel, dengan pergerakan yang cepat ia segera mengepel lantai bagian belakang, kasir, dapur, dan bagian depan dengan hati-hati. Takut jika salah menyenggol sesuatu seperti temannya yang sedang terburu-buru membawa gelas kotor untuk di cuci.

Suasana kafe yang sudah sepi tanpa pengunjung membuat Ebi bisa bernapas lega. Ia bisa lebih santai, tapi merasa tidak enak juga karena ada Alzam yang menunggunya di sana.

"Nerta semangat!" ucap Alzam dengan suara yang agak keras.

Ebi hanya tersenyum, dan kembali melanjutkan hingga akhirnya selesai. Ia segera mengembalikan alat pelnya, memasukkan seragam, beserta atribut kerja di dalam loker.

"Udah selesai Ta?" tanya Alzam ketika melihat Ebi berjalan menghampirinya.

"Udah, ayo!"

"Oke." Alzam langsung menggandeng lengan kecil itu. Mengajaknya menuju tempat parkir, dan memakaikannya helm berwarna kuning.

Motor melaju dengan kecepatan sedang, melalui jalanan yang masih saja ramai. Polusi yang tidak terlihat, suara klakson yang terdengar nyaring, dan hembusan angin yang membuat Ebi memejamkan matanya.

Rasanya menyenangkan, tapi kedua netranya di buka secara cepat. Ia merasa tidak nyaman ketika Alzam menarik ke dua tangannya untuk memeluk tubuh Alzam.

"Gak enak Al," protes Ebi.

"Biar kamu gak jatoh Ta, aku lihat kamu tidur dari spion."

Ebi tertawa kecil sambil menepuk lengan Alzam pelan, "Aku gak tidur, cuman ngerasain angin aja."

"Kalau gitu peluk aja tetepan, biar kamu gak jatoh! Udah jangan protes!" titah Alzam.

Ebi tertawa, dan memeluk tubuh itu dengan erat. Merasakan angin sambil memeluk tubuh Alzam terasa sangat berbeda, ini menyenangkan, tapi terasa sedikit canggung.

***

Kelopak mawar merah berrabur di atas makam bernama Sofian, bersamaan dengan air yang memiliki aroma mawar membasahi tanah kuburannya yang mengering.

Ebi mulai duduk di pinggir makan, mengusap batu nisan berwarna putih itu dengan tatapan sayunya.

"Ayah, sebenernya mama di mana sih? Mama kenapa gak pernah jemput elena pergi ya? Mama gak sayang sama elena atau emang ngebuang elena sih yah?" ucap Ebi dengan genangan air mata yang mulai memenuhi pelupuk matanya, "Tuhan kenapa sih gak ngasih elena takdir indah yah? Ayah juga kenapa gak minta ke Tuhan buat ngasih takdir terbaik buat elena?"

Gadis itu kembali menaburkan bunga mawar putih di atas tanah kuburan Sofian, mengisap bunganya dengan perlahan, "Tapi gapapa kok yah, sekarang elena bahagia. Elena punya temen baru, temen yang nerima elena. Namanya alzam yah, dia baik banget sama elena, selalu ngedukung apa pun yang elena lakuin, dan dia juga ngajarin elena belajar loh yah."

"Beasiswa di sekolah kan mau di cabut gara-gara nilai elena jelek terus, makanya alzam bantuin elena belajar. Elena minta doa ke  ayah ya biar nilai elena bagus lagi, terus supaya beasiswanya gak di cabut beneran," ucap Ebi panjang, air matanya mulai membasahi kedua pipinya dengan begitu deras.

"Ayah, elena juga mau cerita. Sebenernya elena udah capek buat hidup yah, elena pengen nyusul ayah. Takdir elena terlalu jelek, tapi Tuhan gak pernah ngebolehin elena nyusul ayah. Elena kesel, tapi elena tahan karena Tuhan gak akan suka kalau elena kesel sama  Tuhan."

Ebi mulai mengusap air matanya menggunakan punggung tangan yang tidak kotor. Menahan isakannya dengan cara mengambil napas dalam-dalam, Ebi merasa sesak nafas, tapi terus menahannya.

"Ayah, elena udah capek buat hidup. Elena pengen ketemu ayah, pengen peluk sama cium ayah. Tolong bilangin ya yah ke Tuhan kalau elena udah gak betah di dunia!"

***

"Masih di ganggu gak Ta?" tanya Alzam sebelum ikut duduk di depan Ebi.

Gadis itu menoleh sebelum melahap baksonya, dan menggeleng pelan.

Kening Alzam bertaut, jawaban Ebi tidak membuatnya senang. Terlalu canggung karena hanya gelengan kepala, ia ingin suara kecil nan lembut itu kembali menggema di dalam telinganya.

"Ta, serius aku nanya," ucap Alzam.

"Udah engga Al, aku serius, gak bohong sama kamu," sahut Ebi.

Cowok itu tersenyum tipis, mengacak rambut pendek Ebi dengan gemas saraya berkata, "Bagus deh, mereka jadi paham posisi, btw Ta."

"Btw kenapa?"

"Hari ini kamu ada kelas?"

"Ada," sahut Ebi sambil mengangguk kecil.

"Bolos yuk Ta!"

Ebi membulatkan kedua netranya dengan kedua alis yang bertaut dalam. Ia tidak percaya dengan kalimat ajakan yang baru saja di dengarnya, itu perilaku yang tidak terpuji, dan tidak boleh di contoh. Namun, orang yang paling di percayanya yang mengajak Ebi untuk membolos.

Padahal Ebi pikir Alzam itu orang yang anti bolos, dan lebih suka patuh aturan. Namun, nyatanya tidak, cowok di depannya ini mau membolos, dan sudah bisa di pastikan jika Alzam sudah sering membolos kelas.

"Santai dong Ta tatapannya! Ajakan aku ini salah satu ajakan dari kotak yang aku buat kemarin," jelas Alzam cepat.

"Kotak hitam yang namanya seutas harapan alta itu?" tanya Ebi sambil mencoba untuk mengingat.

Alzam segera mengangguk, "Iya! Masih inget kan? Baru kemarin loh Ta, jangan di lupain gitu aja!"

"Hm, iya aku inget banget kok."

"Ini salah satunya, sebenernya bukan harapan bolos, tapi harapan akan pelangi Ta."

"Pelangi? Maksudnya gimana sih Al?"

"Pelangi Ta, aku gak pernah lihat pelangi di mata kamu, yang muncul selalu mendung. Aku pengen jadi orang pertama yang ngasih pelangi di mata kamu Ta," jelas Alzam.

Ebi tersenyum tipis, "Emangnya kamu mau bawa aku bolos kemana sih Al?"

"Ada pokoknya Ta, itu tempat yang banyak orang tahu. Tempat yang di pake sama banyak orang, dan kamu pasti pernah ke sana, tapi kali ini sama aku."

"Pakai seragam Al? Gak malu? Nanti di pikir kita nakal," ucap Ebi tak enak.

"Santai Ta, aku udah siapin semuanya. Aku udah bawa sweater buat kamu, jadi gak kelihatan seragam sekolahnya," jelas Alzam.

"Kapan perginya?"

"Sekarang bisa, waktu kamu selesai makan."

"Kok cepet?"

"Lebih bagus cepet ketimbang lama Ta."

***