webnovel

The Last Memories

Ebi, gadis cantik yang tumbuh dengan rasa sedih sepanjang hidupnya. Mamanya pergi meninggalkan dirinya setelah melahirkan, ayahnya meninggal dunia, dan hanya Bu Jihan - adik dari mama Ebi yang dengan berat hati mau mengasuh gadis itu. Hidupnya tidak gratis, harus ada imbalan yang ia berikan untuk Bu Jihan. Namun, kehidupan pahitnya berubah menjadi manis ketika dirinya bertemu dengan cowok bernama Alzam, dan Alfa. Mereka memberikan kisah manis yang tak pernah Ebi bayangkan sebelumnya. Meskipun manisnya hidup di rasaka, tetap saja ada rasa pahit yang terus Ebi lalui untuk bertemu dengan mamanya yang entah ada di mana.

meybulansafitrii · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
175 Chs

ONE DAY

"Aku gak punya ponsel Al."

"Ha? Beneran? Kok bisa?"

Gadis itu tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya, kemudian menghela panjang.

"Dana Al, aku gak pake dananya buat beli ponsel. Aku pake buat hal lain yang lebih bermakna, menurut aku ponsel gak terlalu penting," jelas Ebi tanpa menatap lawan bicaranya.

Kening Alzam bertaut dalam, ia tidak mengerti dengan gadis di sampingnya itu.

"Terus kalau ada pengumuman mendadak gimana Ta? Kalau ada tugas mendadak juga gimana? Kamu kan gak punya ponsel."

"Itu yang gak enaknya, aku gak bakalan tahu. Aku juga kadang gak dateng, telat juga gara-gara itu. Tapi kebanyakan guru maklumin aku sih."

"Ta, meskipun di maklumin bukannya gak bisa ya kaya gini terus?"

Gadis itu kembali tersenyum, "Aku tahu kok Al, makanya gak ada yang suka sama  aku di kelas."

"Hm, gitu ya Ta. Terus kita gimana  Ta?"

"Gimana apanya?" kali ini Ebi menatap Alzam dengan kedua alis yang tertarik ke atas.

"Belajarnya. Gimana biar aku tahu kamu udah ada tempat itu, gimana biar aku bisa tahu kalau kamu maunya belajar di tempat B," jelas Alzam.

"Kita belajar di sini aja, setiap pagi atau pulang sekolah. Satu jam aja waktunya, jadi gak kelamaan."

"Lama juga gapapa kok Ta."

"Hm, gimana?"

"Lama juga gapapa, lagian gak akan ada yang nyariin."

"Kamu yang gak di cariin Al, beda sama aku yang pasti bakalan di marahin sama bibi," jelas Ebi.

"Astaga! Kamu bener Ta, maaf ya Ta ya." Alzam menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Raut mukanya di ubah menjadi terkejut, yang membuatnya terlihat semakin lucu.

Ebi hanya tertawa kecil, memukul lengan kekar itu dengan pelan, dan berkata, "Besok pagi Al, sekitar jam setengah enam aku udah ada di sini. Kamu ajarin aku pelajaran matematika wajib ya!"

"Oke, besok aku bawa catatannya sama buku bosnya juga."

"Oke, aku bawa LKS sama buku pendukung lainnya."

"Oke, aku pergi ke kelas dulu ya Ta! Kamu jangan lupa masuk kelas, jangan bolos!" ujar Alzam, mengusap puncak kepala Ebi sekilas dengan senyuman candunya.

"Iya."

****

Vespa metik berwarna hitam itu berhenti di depan pohon mangga besar. Pemiliknya mulai turun, melepas helm yang di kenakannya dengan tergesah-gesah. Ia segera berlari memasuki kawasan sekolahnya.

Kakinya yang panjang itu mulai menaiki dua anak tangga sekaligus. Tak membutuhkan waktu lama, ia telah sampai di depan pintu rooftop. Merapikan kemeja, beserta dasinya sebelum akhirnya masuk.

"Nerta!" sapanya dengan senyuman lebar.

"Hai! Alzam," sahut Ebi.

Cowok itu itu berjalan mendekat, meletakkan tasnya di atas meja sebelum akhirnya ikut duduk berseberangan dengan Ebi.

"Udah lama Ta?"

"Engga, baru sampai juga kok."

"Beneran? Kamu gak lagi bohong kan?"

"Memangnya kelihatan ya Al?"

"Iya, ada keringat di sini," ucap Alzam sebelum menyingkirkan keringat milik Ebi dengan sapu tangannya.

Ebi membeku, menatap Alzam dengan tatapan terkejutnya. Ini kali pertamanya, dengan perasaan yang berbeda, perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Gadis itu segera menjauh, memberikan jarak antara sapu tangan itu dengan dahinya. Ia mulai mengerjap-ngerjapkan kedua netranya dengan cepat.

Ebi tidak percaya, ia rasa ini hanya perasaan biasa yang datang karena memiliki teman sebaik Alzam.

"Kenapa Ta?" tanya Alzam bingung.

"Ha? Oh! Gapapa kok Al, cuman ngerasa aneh aja pas kamu nyoba lap keringat di dahiku. Aku gapapa kok."

"Beneran gapapa? Aku jadi ngerasa gak enak soalnya."

"Engga, gapapa kok beneran. Jangan ngerasa gak enak, nanti aku juga ikutan ngerasa bersalah. Mendingan kita lupain aja!" ucap Ebi panjang lebar.

Alzam hanya mengerjapkan ke dua netranya dengan pelan, menatap Ebi yang mulai melepaskan kontak mata dengannya. Sudut bibir Azlam tertarik keatas, itu tingkah yang sangat lucu baginya.

Apa lagi adanya semburat merah pada pipi tirusnya, membuat Ebi terlihat semakin cantik, dan manis.

"Kita mulai aja belajarnya ya Ta," ucap Azlam sebelum mengeluarkan alat tulisnya.

"Ayo!"

Alzam memulai dari bab awal yang tidak di mengerti Ebi. Ia menjelaskan layaknya seorang guru ahli, sangat jelas, tapi terdengar tegas. Ebi mendengarkan dengan seksama sambil memperhatikan bukunya, ia mulai mengerti meskipun sedikit demi sedikit.

"Terus ini kenapa bisa jadi angka minus enam? Bukannya minus delapan?" tanya Ebi yang masih tidak paham.

Alzam kembali menjelaskan dengan lebih detail, menulis rangkaian rumus dari awal hingga akhir. Memberikan tips-tips mudah agar Ebi bisa lebih menguasai materi ini.

"Abis dari sini, kita bisa cari tuh jawaban dari X sama  Y. Mereka di kurangin, jadi hasil akhirnya minus enam," jelas Alzam.

"Oh! Gitu, astaga! Ternyata segampang ini, aku bingung banget kemarin."

"Makanya kita harus bener-bener paham sama materi, sama rumus, atau bisa aja kita bikin rumus baru yang bisa kita sendiri yang paham."

"Tapi aku susah buat hafal rumus."

"Itu makanya aku kasih tahu buat bikin rumus sendiri. Rumus yang kamu bikin itu, yang bakalan ngebantu kamu," jelasnya lagi.

Penjelasan Alzam yang mudah di mengerti membuat Ebi menganggukkan kepalanya dengan cepat. Ia segera mengerjakan soal-soal miliknya dengan mudah, dan cepat. Sampai akhirnya bell masuk berbunyi.

"Udah masuk Ta, kita turun!" ajak Alzam.

Ebi mengangguk, memasukkan semua alat tulisnya ke dalam tas, dan mulai beranjak bersamaan dengan Alzam.

Mereka berdua berjalan beriringan menuruni anak tangga yang mulai ramai di huni oleh siswa lain. Kebanyakan siswa perempuan yang menatapnya tak suka, apa lagi waktu mereka tahu jika cowok di samping Ebi adalah Alzam.

Tatapannya semakin mengganas, Ebi merasa tidak nyaman.

"Al, kamu pergi duluan aja deh!" titah Ebi dengan suara yang begitu pelan.

"Kenapa?"

"Tatapan mereka sinis."

"Santai aja!" Alzam merangkul Ebi dengan cepat, membuat gadis itu membulatkan kedua netranya karena terkejut.

"Alzam?"

"Iya?"

"Jangan kaya gini!"

"Biarin! Biar mereka tahu kalau kamu punya temen."

****

Pria paruh baya dengan kacamata hitam kotak itu berdiri di depan papan tulis hijau sambil menjelaskan setiap materi yang di tulisnya. Rumus-rumus fisika yang di tulis, dan di jelaskan membuat beberapa siswa laki-laki tidur.

Ada pula siswa perempuan yang ikut tidur, tak sedikit yang bermain ponsel di belakang sana. Mereka merasa bosan, tidak mengerti, dan ingin menyelesaikan kelas ini lebih cepat dari biasanya.

Namun, berbeda dengan cowok yang duduk di dekat jendela sana. Menopang dagunya sambil memperhatikan awan putih dengan senyuman manisnya. Deretan gigi putihnya terlihat jelas, bahkan lesung pipi itu pun ikut muncul.

Sesekali kekehannya muncul. Memikirkan gadis yang sejak tadi membuatnya tak fokus pada kelas pagi. Kejadian-kejadian lucu sewaktu di rooftop subuh tadi pun masih melekat kuat pada otaknya.

Alzam kembali tersenyum, beralih memperhatikan buku tulisnya sambil menuliskan nama Nerta di atas lembaran putih itu.

Senyuman manis milik Ebi masih terbayang, tingkah lucu yang di buat gadis polos itu juga mampu membuat mood Alzam selalu naik. Ia ingin terus bersama Ebi, terus menghabiskan waktu bersama, dan menikmati indahnya takdir tanpa harus merasa bosan.

"Nerta," ucap cowok berkacamata yang duduk di sebelahnya.

Alzam menoleh, menutup buku tulisnya dengan lebih cepat. Ia tidak mau seseorang membaca tulisannya lebih jauh lagi. Apa lagi jika dia tahu siapa itu Nerta, bisa-bisa akan banyak orang yang ikut menyukai Ebi.

"Etdah! Pelit banget lu, emang siapa sih? Pacar ya?" tanyanya penasaran.

"Iya, pacar gue. Kenapa?"

"Sekolah sini? Cantik gak Zam?"

"Sekolah sini, anak kelas sebelah, cantik banget. Lo gak akan tahu kalau dia secantik, dan seimut itu," sahut Alzam.

"Yang mana sih anaknya? Jangan di umpetin dong! Pelit banget lo."

"Udah deh Al! Lu diem aja, nanti kalau udah waktunya juga gue kasih tahu yang mana anaknya."

Aldi berdecak kesal, ia sangat penasaran dengan gadis yang mampu meluluhkan Alzam. Secantik apa rupanya, hingga Alzam terus melamun sambil tersenyum.

"Anak kelas sebelah yang mana sih? Anak IPA juga atau anak IPS?"

"IPS."

"Famous gak anaknya? Populer?"

"Engga, biasa aja. Malahan gak ada yang kenal dia siapa."

Cowok itu terdiam sejenak, mencoba untuk mengingat gadis cantik yang tidak populer itu.

"Gak ngerti gua, lo bohong deh kayanya. Mana ada sih cewek cantik, tapi gak terkenal di sekolah kita," ucap Aldi menyerah.

"Ada Al, lu aja yang gak kenal sama dia."

"Jangan bilang cewek yang tadi pagi!" ucap Aldi terkejut.

Alzam terkekeh kecil, "Kalau iya gimana Al?"

"Zam, lo seriusan? Dia itu penerima beasiswa, dia bukan dari kalangan kita Zam. Astaga! Lebih cantik juga stella."

"Gue sukanya sama dia, kenapa harus liat stella sih? Nerta itu jauh lebih cantik dari stella. Lo aja yang gak pernah lihat sebera cantiknya nerta."

****