webnovel

The Guardian of Alas Purwo

Ramalan apakah yang membuat pemuda bernama Bian harus mendampingi Beata sebagai Quentiva? Beata Rusli, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan berbicara dan mengendalikan satwa Alas Purwo. Tapi bukan hanya itu, Beata juga menjadi pelindung pulau Jawa dari ancaman kerusakan alam dan gempa! Mampukah Beata Rusli menghentikan Pulau Jawa untuk tidak terbelah menjadi dua? Apa arti dari Quentiva? Temukan jawabannya dalam kisahku. Sebuah bahasa alam yang author ciptakan, Sien Lingurna, khusus untuk cerita fantasy ini.

TR_Sue · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
16 Chs

Prophecy

Balu memelankan langkahnya. Lokasi tanah utara yang sedang dalam konflik terlihat sepi. Aku melirik jam tanganku, sudah pukul empat.

"Dome tu Merin, bin revu swens dera et Bea," kataku kepada Balu. (Kita ke Ibu Pohon, mungkin dia tahu di mana Bea).

Balu melenguh kasar dan memicu kembali langkahnya ke Segoro anak.

Di pinggir sungai, di antara tumbuhan bakau, Balu menyeruak ke sebuah tempat yang kupikir tadinya tidak lebih dari lumpur atau aliran sungai. Namun begitu terkuak, ternyata bentangan rumput hijau dan pohon besar beranting rendah menaungi tempat tersebut. Indah dan mempesona. Kelinci, penyu, tupai, tikus tanah, rusa, kijang dan binatang jinak lainnya bercengkerama dengan Ibu Pohon.

Aliran sungai berwarna biru meliuk di antara bebatuan dan akar tanaman bakau. Tempat ini tampak tersembunyi, karena lebatnya bakau menutupi dari sisi sungai. Mustahil para nelayan melihatnya.

Kedatangan kami menghentikan aktivitas mereka. Perlahan aku turun. Ibu Pohon tersenyum. Derak ranting keringnya menambah kebijakan sosok paling tua kedua, setelah Gayatri, di Alas Purwo.

"Hehehe ... Quentiva yang agung, kamu datang. Duduklah dekat si tua bangka ini," sambutnya sambil terkekeh senang.

"Ibu, maaf saya datang mendadak tanpa ...," hampir aku menyebut -menelponmu- tapi segera kubungkam mulutmu. Lupa aku sedang berbicara dengan seorang pohon.

"Hahahaha, menarik sekali pilihan Bea dan Balu ini, hahahaha," Merin tertawa tidak tertahankan. Aku mengangguk malu dan sungkan.

'Duh betapa bodohnya aku,' batinku.

"Tidak usah kamu mencari Sien Lingurna, dia sedang meredam amarah. Semoga tidak berlarut-larut, karena banyak tugas menunggu. Termasuk menuntunmu mengerti hakikat sebenarnya."

Matanya terkadang terpejam, menikmati kata demi kata yang dialirkan dari bibir kayunya yang keriput.

"Ibu, ke-kenapa dia berubah?" tanyaku takut-takut.

Disentuhnya kelinci yang bermain di akar tuanya, hewan lucu berwarna putih itu menggoyangkan kupingnya dengan senang.

"Bea adalah penjaga muda, ambisi dan semangatnya masih membara. Kekuatan sang penjaga bukan pada kemampuannya pada dunia nyata, tapi juga kekuatan gelap untuk berubah menjadi Rakeshi (raksasa wanita) sebagai bekal menghadapi bangsa Jin dan mahkluk dunia bawah. Sayangnya, terkadang kekuatan Rakeshi bisa menghancurkan."

Tangan rantingnya meraih tanganku, tubuhku seakan berputar makin lama makin cepat. Aku hampir panik, tapi bisikan Merin menenangkanku.

"Tenanglah, aku disini bersamamu."

Aku memejamkan mata, rasa pusing dan mual hampir menghamburkan isi perutku,

"Buka matamu," bisik Merin.

Perlahan aku membuka mata. Di hadapanku, lautan api membakar kayu dan pepohonan. Para satwa besar dan kecil lari tunggang langgang. Sebagian ada yang terpanggang, baunya sangit bercampur anyir darah.

Bagaikan melayang di atas tanah, aku bergerak menelusuri lautan api yang tidak terasa panas sedikit pun di kaki.

Serombongan manusia sedang menembak dan memanah hewan, sementara lainnya menambahkan api di pohon kering supaya terus menjalar.

Sekejap, teriakan para perusak membahana. Mereka melihat sosok raksasa terbungkus api setinggi dua kali lipat pohon kelapa dengan gigi runcing dan bertaring, mengobrak abrik sekelilingnya.

Dalam satu kali sapuan, mereka binasa.

Memastikan tidak ada satu pun yang lolos, mahkluk api raksasa itu berjalan menuju ke arah pedesaan.

Raungan kemarahan mengetarkan tanah dan menjatuhkan bebatuan. Dengan kekuatan penuh raksasa itu menghantam tanah sambil berteriak menyemburkan api dari mulutnya.

Gempa disertai hujan api memporak porandakan desa itu dan sekitarnya. Tanah bergoyang hebat. Tidak puas, raksasa api itu menghantamkan kembali tangan perkasanya ke tanah, kali ini setengah pulau Jawa bergoyang dan meruntuhkan bangunan tinggi.

Gemuruh derap kaki hewan terdengar dari arah belakang raksasa. Seekor banteng besar seukuran mobil ditunggangi seorang pemuda berbaju putih. Teriakan pemuda itu mengalahkan raungan raksasa.

"Sien lingurna, ber amortus!" (Sang penjaga, redam amarahmu!) Raksasa api tidak peduli. Hantaman terakhirnya akan membelah tanah di timur hingga terpisah dengan pulau Jawa.

Pemuda itu berdiri di atas banteng dan melompat tinggi memeluk raksasa api.

Tubuhnya bagaikan spons menyerap seluruh api yang menyelubung raksasa.

Raksasa api semakin menyusut, sementara tubuh sang pemuda sebaliknya membara seakan terpanggang. Begitu raksasa kembali menjadi bentuk manusia, pemuda itu melepaskan pelukannya.

Tubuh pemuda malang perlahan berubah menjadi arang hitam dan bagaikan serbuk pecah berkeping tertiup angin.

"Tugasku selesai," ucapan terakhirnya sebelum angin meniupnya hingga tidak tersisa.

Aku kembali seperti ditarik dan berputar. Saat putaran itu berhenti, aku tersungkur dan merasakan sakit kepala yang begitu hebat.

Aku berlari ke sungai dan kumuntahkan asam lambungku. Napas ini terengah-engah. Rasa mual bercampur sakit kepala menyiksa tubuh.

"Quentiva, terima kasih sudah menerima takdirmu," kata Merin dengan suara berat.

Aku menoleh dan mengangguk, menyimpan kepahitan di mulutku.

Jika pantas, ingin rasanya teriak dan menangis sebebas-bebasnya.

POV Beata Rusli

Aku Sien Langurna (sang penjaga).

Duduk terdiam di sini. Mencoba meredam amarah yang membara.

Tahukah mereka? Setiap pohon yang tercabut itu menyakitiku? Setiap hewan yang terbunuh laksana sembilu di dalam dagingku?

Jika manusia khawatir akan masa depan, pekerjaan, dateline, tabungan, pendidikan, bahkan hutang, tahukah mereka bahwa aku juga mengalami hal yang menyakitkan?

Saat manusia menghancurkan alam, aku yang menerima akibatnya. Sampah yang menumpuk, asap yang mereka bakar dari limbah harian mereka, siapa yang berjuang setengah mati untuk mengembalikan keseimbangan?

Aku dan pasukan hijauku menelan racun hasil buah karya mereka, yang dengan bangganya disebut sebagai penemuan modern.

Saat alam tidak lagi seimbang, kekuatanku pun akan goyah. Saat aku goyah, petaka untuk wilayah jawa bagian timur. Saat itu terjadi, Quentivalah yang akan meredam semua.

Aku? Menjadi bagian dari petaka itu sendiri!

Aku Sien Lingurna. Sang Penjaga juga Sang Penghukum!

Merin melepasku dengan beberapa pesan khusus yang terus tergiang. Kini aku bisa memanggil Balu dengan menyentuh tanah dan menyebut namanya.

Merin juga memberi tahu bahwa aku bisa meminta bantuan angin dan tanah.

Hah?

Memerintah angin dan tanah?

Dua unsur tersebut akan memenuhi panggilan jika aku membutuhkan bantuan mereka. Inikah takdirku sekarang?

Jika bukan si tua Merin yang mengucapkan, aku akan meledek si pemberi pesan.

Dia pikir aku ini si Ang? The Legend of Avatar? Pengendali udara yang terkenal bisa mengendalikan empat elemen bumi? Tanah, air, udara dan api?

Aku apa? Setengah avatar?

Hahaha.

Beuh, hidupku laksana kisah pahlawan negeri fantasi

Mana ada di jaman sekarang, pada tahun 2015, masih ada kisah seperti itu?

Aku tergugu di atas tubuh Balu. Tapi, kenyataannya, itulah aku sekarang.

Kucoba mengusir kilas kejadian tadi.

Sulit.

Bagaikan hafalan yang sudah menempel di kepala, seluruh ingatan itu memenuhi otak dan memoriku.

Tepat jam tujuh aku kembali. Tatapan mata penuh harap berakhir kecewa.Tapi setelah kujelaskan, sedikit helaan napas lega berhembus dari Ibu Jane.

"Mandi terus ke sini makan, ibu siapkan," perintahnya dengan nada keibuan.

Andin dan Lido langsung melotot ke arahku,

"Cepetan! Laper nih!" seru mereka sedikit tertahan, sambil melirik ke arah Ibu Jane yang melenggang ke dapur.

"I'm listening! If you're hungry, those cookies might help for awhile," teriaknya dari dapur.

Berdua berebutan cookies labu buatan Ibu Jane yang sangat lembut dan enak.

Secepat kilat aku mandi dan melesat ke ruang makan. Sejak kedatangan Andin, Ibu Jane mencari asisten rumah tangga yang mau menginap, supaya tidak terlalu repot.

Kami tidak pernah keberatan untuk mencuci piring, baju ataupun merawat kedua rumah.

Bagi kami pekerjaan rumah hanya semudah membalikkan telapak tangan. Asalkan tergantikan oleh lezatnya masakan Ibu Jane yang menurut Pak Hartono terbagi menjadi dua kategori; enak dan enak sekali.

Suasana makan malam berlangsung lebih hangat. Walaupun baru terhitung minggu, Ibu Jane mendekatkan diri kepada kami seperti keluarga.

Aku lebih banyak bercerita, terutama tentang pengalamanku bertemu Merin. Pak Hartono menimpali ceritaku tentang kesaksiannya dulu mengenai batu menangis dan pohon yang berpindah tempat. Ternyata Alas Purwo menyimpan banyak keajaiban yang sayangnya disebut warga sebagai keangkeran.

Andin melemparkan pandangan menyelidik ke arahku. Entah apa yang dipikirkan. Mungkin heran karena aku sangat cerewet malam ini.

Dering panggilan berbunyi, Andin permisi dan mengangkat telepon sementara Lido bercerita tentang kisah dia tersesat bersama kedua staf yang berpengalaman dalam merintis pembukaan kawasan hutan.

Kami tertawa terbahak-bahak saat Lido memperagakan gaya Jun saat dikejar tupai yang menurut kami lucu, tapi tidak menurut Jun.

"Bi, jadi beneran? Endingnya begitu? Kenapa Loe nggak cerita?" Andin kembali dengan pertanyaan yang ganjil.

"Siapa yang nelpon?" tanyaku, sepertinya ada hubungan dengan si penelpon.

"Mama," jawabnya terus memandangku.

Hatiku mulai tak nyaman, pantas dia mengajukan pertanyaan itu, Mamanya yang disebut sebagai paranormal sudah mengetahui.

Aku mengangguk dan melanjutkan suapan nasiku. Ibu Jane dan Pak Hartono memandang ke arahku dan Andin bergantian,

"Ada apa nih? Kok kayaknya ada masalah?" tanya Pak Hartono, Ibu Jane memberi kode ke suaminya untuk tidak mencampuri karena dia menduga ini masalah keluarga.

Andin duduk kembali di sampingku, kulirik dia. Air mata mulai menetes perlahan. Dia mulai menyuap kembali makan malamnya. Tapi air matanya mengalir semakin deras.

Ibu Jane mengambil tissue dan meletakkan di depan Andin. Lido salah tingkah, bingung apa yang sedang terjadi.

"Ndin, harus terjadi. Ok?" akhirnya hanya itu kalimat yang kuucapkan.

Andin tidak menjawab.

Mataku memanas, bulir hangat merembes dari ujung mataku. Kuusap. Tapi butiran berikutnya, jatuh kembali.

Setelah makan malam dan membantu membereskan, aku menyeret Andin.

"Bi, sakit ih ...," keluh Andin sewaktu kupegang tangannya kuat-kuat. Kustarter motor dan memberi isyarat padanya untuk naik. Dengan terpaksa Andin membonceng dan memeluk pinggangku. Kami melaju membelah malam. Motorku terus menyusuri jalan aspal menuju pusat keramaian terdekat. Saat tiba di sebuah kafe kecil yang terlihat cukup nyaman, kami berhenti. Aku memesan minum dan snack untuk kami.

Andin duduk di luar dan ia membuang muka waktu aku datang mendekat.

"Ndin ...," panggilku. Cewek yang telah menjadi sahabatku selama puluhan tahun hanya terdiam.

"Gue takut ...," ucapku gugup. Aku padahal sudah berusaha mengatur supaya tidak gemetar. Tapi suaraku terdengar bergetar. Andin memalingkan wajahnya.

"Loe punya pilihan," balasnya dengan wajah masih menyisakan tangis barusan.

"Gimana sama Bea? Menurut Merin ...,"

"Bodo amat sama mereka! Loe korban nyawa buat orang yang nggak peduli sama perasaan Loe! Gimana keluarga, Loe? Mereka ada simpati nggak?" umpat Andin. Aku baru menyadari cewek jadi-jadian yang duduk di depanku dengan suara meledak-ledak ini memiliki mata bulat indah dan wajah oval yang menggemaskan. Inikah sebabnya Andin jadi incaran cowok-cowok di kampus? Kenapa aku nggak pernah nyadar ya?

"Bian!" panggilnya kesal. Aku kembali ke dunia nyata. Suaranya memang ngejengkelin, tapi Andin manusia yang paling peduli selain keluargaku.

"Ndin ..., mereka bukan nggak perduli tapi ...,"

"Tapi apa? Ada omongan ke keluarga? Nggak ada!" suaranya makin melengking. Aku memilih pasrah mendengar omelannya. Tapi kali ini, aku menikmatinya. Ini jauh jauh lebih baik daripada melihat si nenek lampir nangis.

Kami terus menikmati sedikit hiburan di kafe kecil dengan musik omelan yang bersenandung indah. Entah kenapa, malam ini aku baru ngerasain nyamannya bersama Andin.

♧♧♧

Bersambung