webnovel

Jangan Serahkan Bukti Pada Gino

"Apa? Hal seperti itu sungguh terjadi?"

Mia memandang tak percaya pada sahabatnya itu. Dengan mata sedikit melotot, serta mulut ternganga.

Karena bagaimana tidak? Barusan sahabatnya ini bercerita soal teror yang dia dapatkan tadi malam. Saat ada pria aneh yang mengikutinya, mendapatkan nomor teleponnya padahal tak pernah diberikan, lalu yang terburuk bahkan mencoba untuk menyelinap ke dalam kontrakannya. Sungguh, membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk merinding. Bagaimana kalau sampai menghadapinya secara langsung?

"Tapi kamu beneran nggak papa, kan? Jangan bohong. Kamu mungkin bisa bilang kamu nggak papa di depan Gino, tapi aku berbeda. Kamu nggak boleh bohong padaku ya? Apapun yang terjadi?"

"Aku nggak papa. Dan aku nggak bohong." Luna mengoreksinya dengan senyuman kecil. "Seperti yang kubilang. Untungnya saat itu Gino bisa segera datang dan membantuku, sebelum pintunya dapat didobrak. Aku nggak kenapa-napa sih. Walau… harus kuakui kalau aku jadi sedikit trauma."

"Tentu saja trauma. Siapapun akan mengalaminya kalau menghadapi hal menakutkan seperti itu."

Mia mengusap pundak temannya itu. Masih saja merasa kaget dan prihatin atas hal buruk yang menimpanya.

"Tapi… itulah yang ingin kukatakan, Mia. Aku ingin kamu membantuku untuk bicara pada suami kamu, untuk membantu mempermudah bagiku untuk menangkap pelakunya. Agar aku bisa segera mendapatkan kehidupanku yang normal lagi, tanpa harus bergantung pada Gino seperti sekarang. Aku nggak enak padanya. Tapi aku nggak punya pilihan."

Mia memandang temannya itu dengan prihatin. Dia memang sudah mendengar cerita bagaimana pada akhirnya Cinta dengan terpaksa menerima tawaran Gino untuk tinggal bersama. Semua karena memang dia tidak punya pilihan untuk mendapatkan keamanan.

Lalu mengenai proses laporan ke kantor polisi, Luna memang harus diminta bersabar kembali. Karena segala proses yang memang kasusnya dianggap tak darurat. Sehingga bukannya ditangani dengan intensif, Luna harus berjuang dulu menunggu kepastian sampai data yang dia berikan dapat dilacak oleh pihak kepolisian.

"Katanya tadi CCTV di kontrakan kamu sedang mati ya saat kejadian itu?" tanya Mia tak lama kemudian. Melirik temannya itu lagi.

Dengan lesu Luna menganggukkan kepalanya. "Hm… ternyata CCTV di kontrakan itu tidak dirawat sama sekali. Katanya sudah mati berbulan-bulan. Sehingga kejadian itu tak direkam sama sekali."

"Yang benar saja. Di zaman sekarang… masih ada tempat yang tidak merawat CCTV-nya dengan benar? Terutama karena kawasan kontrakanmu itu kan juga tidak sembarangan. Di sana lumayan mahal juga, serta banyak orang dengan segala kalangan dan pekerjaan yang tinggal di sana. Omong kosong sekali."

"Aku juga tidak tahu, Mia. Aku pun kesal dan merasa sangat tertipu. Kenapa ada-ada saja yang terjadi padaku belakangan ini." Luna menghela napas berat. "Tapi tadi Gino sudah mengumpulkan beberapa CCTV juga dari kawasan sekitar. Aku harap kali ini dia akan menemukan bukti yang bisa membuat kami mendorong polisi untuk mengerjakan tugas mereka. Sehingga identitas orang itu bisa segera ditemukan dan ditangkap."

***

Sementara itu Gino berada di ruangannya. Dia mengecek beberapa kamera CCTV yang tadi dia kumpulkan dari sekitaran kontrakan Luna. Sementara itu dia berbicara di telepon dengan anak buahnya yang sekaligus kepala mafia. Roy.

"Bagus. Kamu benar-benar hebat, Roy. Kamu dengan cepat mendatangi pihak kontrakan untuk mengambil data CCTV mereka tadi malam. Serta juga… menyuruh mereka berbohong kalau CCTV itu sudah tidak aktif selama bertahun-tahun. Keren. Aku tadi nyaris gugup saat harus membawanya ke sana. Takut ketahuan. Tapi kamu bertindak dengan begitu cepat," pujinya sambil sibuk mengotak-atik laptopnya. Gilirannya kini yang akan memusnahkan bukti yang ditemukan dari CCTV yang tadi dia kumpulkan di sekitar kontrakan Luna. Sehingga dengan begitu dia bisa sepenuhnya cuci tangan dari masalah yang dia perbuat.

'Tentu saja, Bos. Kami tahu apa-apa saja yang bisa membuat langkah kita ketahuan, sehingga kami segera bertindak. Apalagi karena Anda bilang kalau akan pergi ke kantor polisi untuk melaporkan. Kami perlu untuk selalu berjaga-jaga.'

Gino tersenyum puas. Dia senang karena anak buahnya punya inisiatif dan selalu melindunginya bahkan walau tanpa diminta.

"Trus mengenai data seperti nomor yang dipakai oleh anak buah kamu untuk bertindak kemarin gimana? Semuanya aman, kan?" tanya Gino lagi beranjak ke poin lainnya.

'Ya, Bos. Tentu. Anda nggak usah khawatir. Nomor itu didaftarkan dengan identitas palsu. Serta semalam setelah melakukan misinya, anak buah saya langsung membuang kartu itu beserta nomor ponselnya ke sungai. Polisi tidak akan pernah bisa melacaknya, Bos. Tenang saja."

"Bagus. Berarti sekarang benar-benar hanya memastikan tidak ada bukti CCTV atau saksi. Aku akan mengeliminasi sebisaku, kamu juga tolong bantu singkirkan yang lainnya. Karena hal ini tidak boleh ketahuan. Jangan sampai kita semua terseret di dalam hal ini."

'Iya, Bos. Tenang saja. Saya akan selalu memastikannya. Lagipula Anda kan sudah tahu dengan cara kerja saya. Anda tahu kalau kami selalu dengan bersih melakukan apapun yang kami tangani. Salah satunya kan tentang upaya rekayasa kecelakaan dari CEO Raftech itu. Anda ingat, bukan? Kami memakai cara profesional yang tidak akan pernah ketahuan oleh polisi sekalipun.'

Sontak Gino menghentikan pekerjaannya. Pria itu dengan tanpa sadar mengulum senyuman setelah itu.

Sekarang kalau diingat, dia kurang mengapresiasi Roy dan timnya karena hal itu. Padahal dulu dia sempat sangat marah begitu mengetahui mereka telah berupaya untuk membunuh Rafael, di mana bahkan dia sempat memukul dan memaki Roy dengan emosional karena mengkhawatirkan Rafael.

Namun kini keadaannya telah berubah. Dia malah menemukan kepuasan tersendiri mengingat semua itu. Apalagi dengan fakta kalau hal itulah yang membuatnya dapat kembali bertemu dengan cinta pertamanya, Luna. Walaupun dengan segala permainan licik yang harus dia lakukan untuk mewujudkannya.

'Itu juga yang membuka mataku. Setelah terus menurut pada Rafael selama dua puluhan tahun, akhirnya tiba masa di mana aku bisa berjalan di kakiku sendiri. Tiba masanya di mana aku menemukan identitasku sendiri. Bisa hidup sesuai yang kuinginkan tanpa harus memikirkannya terlebih dahulu. Aku juga bisa mengekspresikan cintaku dengan bebas kepada Luna, tanpa harus mengalah lagi.'

Gino kini tersenyum dengan lebar.

"Ya sudah. Lakukan saja bagianmu, karena aku juga akan melakukan bagianku di sini. Jangan lupa untuk terus mengabariku kalau terjadi apapun ya? Aku juga akan rajin menghubungiku untuk mengupdate perkembangan kasus yang ada di sini."

'Baik, Bos.'

Sambungan itu terputus. Gino memutuskan untuk kembali fokus pada laptopnya. Dia harus memeriksa beberapa file dari data CCTV yang tadi didapatkannya. Lantas dia harus merekayasa lagi. Menghapus hal-hal yang malah akan menyulitkannya nanti, sebelum mengajukannya kepada Luna.

***