webnovel

The Black Swan Behind (Bahasa Indonesia)

WARNING! 18+ Mature Content (Kekerasan, pelecehan, alur rumit) Di bawah cahaya rembulan, sebuah kota berdiri di dalam bayang-bayang gengster yang kerap kali berbuat onar dan meresahkan masyarakat. Gengster-gengster beranggotakan pria-pria kuat yang mahir bertarung. Tidak disangka mereka adalah anak-anak muda yang gila uang dan kekuasaan. Kota itu adalah arena bertarung bagi mereka. Emma Hilland pindah seorang diri ke sebuah kota bermil-mil jauhnya dari rumah dimana ia dibesarkan sebagai tuan putri. Karena sebuah masalah, ia memutuskan pergi dan melanjutkan studi kuliahnya di kota ini. Kali ini ia akan mencoba untuk menjadi gadis normal. Namun yang namanya api, diletakan dimanapun pasti akan membakar sekelilingnya juga. Ini adalah kisah bagaimana kelompok The Black Swan terbentuk di Kota Handway. Dibalik kaki-kaki indah yang melompat di tengah hamparan bunga, terdapat duri-duri beracun yang mematikan. Namun apakah hati seekor angsa dapat ditakhlukan? **** Mohon berikan support (Power stone, Komen, Review) kalau kalian suka ceritanya ya!! Trimakasih & Selamat membaca!! \^^/ Karya Lydia_Siu di Webnovel : - The Prince Of The East Sea (Tamat) - The Black Swan Behind (Tamat) Banyak quotes, visual, dan info menarik di sosial media author! Yuk difollow! Instagram : @author_lydia_siu FB Page : author Kalong_ungu / Lydia_Siu Twitter : @kalong_ungu

Lydia_Siu · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
439 Chs

Perundungan Di Lorong Kampus

"Akh! Menyebalkan!" Gumam Emma dengan mengusap-usap wajahnya yang dialiri air. "Biarlah!" lalu ia mengambil sebotol shampoo dan menuangkan isinya yang berwarna biru ke atas kepala sebelum mengusapnya hingga berbusa.

Setelah selesai mandi, Emma mengeringkan rambutnya dan berkemas untuk pulang. Dengan baju yang sudah diganti, ia akan langsung pergi ke supermarket untuk mengisi bahan-bahan dapur dan kulkas rumah.

Emma menyadari, bukan hanya ruang mandi yang sudah kosong. Ternyata, seluruh gedung kampus juga sudah sangat sepi. Mungkin karena besok adalah hari libur nasional, pasti semua orang sedang sibuk berkumpul bersama keluarga masing-masing. Hal yang tentu saja tidak pernah Emma rasakan bersama keluarganya.

Setelah selesai berkemas, Emma melangkah keluar ruang mandi dengan kaos putih dan celana training hitam yang semuanya berlabel salah satu merek pakaian olahraga terkenal. Di tengah langkah santainya, Emma dapat mendengar decit langkah sepatu ketsnya sendiri, karena lorong kampus sudah sangat sepi. Namun Emma tidak takut apa pun, baik manusia mau pun hantu.

Bagi Emma, asalkan kita berani, maka kita bisa mengalahkan apa pun juga. Karena pertarungan tidak hanya mengandalkan kekuatan semata. Tapi keberanian dan kecerdikan juga.

Tiba-tiba ada sekelibat suara yang menarik perhatian Emma. Atas itu, ia melambatkan langkah kakinya. Emma menajamkan pendengarannya sampai berusaha menahan nafas. Suara samar tersebut terdengar lagi. Asalnya dari arah utara yang menuju ke lorong jajaran kelas yang pastinya saat ini sudah kosong.

Penasaran, Emma memutuskan untuk mengecek suara apa itu. Ia melirik jam tangannya dan waktu masih menunjukkan pukul lima sore. Jika ia berbelanja sekitar jam enam atau tujuh, ia masih memiliki waktu untuk belajar sampai jam sepuluh.

"Oke!" Gumamnya enteng.

Lalu ia kembali melangkah dengan sedikit cepat menuju sumber suara yang ternyata adalah kumpulan suara cekikikan yang terdengar menjengkelkan. Dari pengalamannya, suara cekikian itu persis seperti suara anak buah sang ayah yang sedang menyiksa anggota gangster lain yang mereka tawan.

"Aku hanya akan mengecek, dan pulang." Ucap Emma pada dirinya sendiri.

Semakin dekat suara tawa itu semakin jelas. Namun Emma dapat menilai bahwa tawa tersebut seperti tawa yang ditahan. Yah.. maksudnya seperti tawa yang sebisa mungkin tidak didengar oleh siapa pun. Hingga Emma sampai di sebuah persimpangan lorong, ia tau si pembuat suara ada di balik tembok lorong satunya. Ia memutuskan untuk bersempunyi dan mengintip.

Terlihat tiga orang pria yang tampak familiar. Mereka sedang merundung seorang anak laki-laki yang tubuhnya tertutup oleh badan besar mereka. Urat di kening Emma mencuat keluar. Apa-apaan ini? Ah.. ia jadi semakin kesal saat menyadari bahwa ketiga pria itu adalah orang yang sama dengan yang kala itu merundung Roger.

"Kkkkk! Buka celananya!" Kekeh salah satu pria berjaket baseball .

"Hey pecundang! Buka celanamu! Aku tau kau menyembunyikannya di sana, kan??" Pria satunya lagi ikut terkekeh.

"Tolong jangan lakukan ini. Aku sudah tidak punya uang lagi!" Suara anak laki-laki yang berada di bawah kaki mereka itu terdengar sangat bergetar.

Tiba-tiba pria dengan tangan bertato mengayunkan tendangannya ke pundak pria itu. Bughh!!

"Mana mungkin anak orang kaya sepertimu kehabisan uang! Ayolah.. Kami tau kau masih menyimpan banyak uang. Untuk apa kau menabung banyak-banyak jika tidak bisa kau keluarkan untuk apa pun. Kau tidak punya pacar untuk diberi makan, kan? Kalau kami, punya. Karna itu, berikan uangmu sekarang!" Ujarnya dengan menendang lagi.

"AKH!! A.. aku bersumpah.. Uangku sudah habis. Kalian sudah mengambilnya dua hari lalu.."

"Oh… Jadi itu salah kami?!!" Pria bertopi melepas tas punggungnya dan menimpuknya dengan keras ke kepala pria itu.

"Ah.. berengsek! Tasku jadi sobek.." Sesalnya sambil mengangkat kembali benda berwarna hitam itu. Ia melangkah mundur untuk melihat lebih jelas letak sobeknya.

Dengan begitu, sosok pria yang mereka rundungi dari tadi dapat terlihat rupanya. Emma tidak menyangka, lagi-lagi ia harus melihat kondisi Roger dalam posisi seperti itu.

Ternyata bocah malang yang dibully oleh ketiga rakun itu adalah Roger. Teman sebangku Emma yang sampai detik ini belum ia ganti penghapusnya. Emma tidak menyangkal, saat ini ia sudah merasa cukup mengenal Roger.. Yah.. meski hanya sebatas mengobrol beberapa paragraf dengannya.. Tapi bagi Emma, itu adalah salah satu level pertemanan tertinggi dalam hidupnya.

"Berengsek! Kau harus mengganti rugi kerusakan tasku!" Anak tadi kembali menghampiri Roger yang duduk ketakutan di lantai dengan kondisi baju compang-camping. Di tangannya sudah menggenggam sebuah korek berukuran besar yang terbuat dari besi berbentuk kotak. Ia mengayunkannya ke bawah, hendak menimpukkan benda keras itu ke tubuh Roger.

Emma tidak sadar. Namun kini, ia mendapati dirinya sudah berdiri di dekat mereka dengan tas tangan berisi baju kotonya yang sudah tergeletak di atas lantai. Ternyata, tadi Emma melemparkan tas bergambar angsa itu tepat ke kepala anak yang hendak menimpuk Roger.

Keheningan seketika menggantikan kerisuhan yang dari tadi bergema di lorong tersebut. Semua mata tertuju pada sosok gadis catik yang berdiri mematung dengan wajah terkejut atas tindakannya sendiri.

Namun dari semua keterkejutan itu, wajah Rogerlah yang paling terlihat pucat dan tidak percaya. Roger tidak terlalu mengenal Emma, namun ia tau gadis itu adalah anak baik. Dan ia tidak mau anak dengan masa depan cerah cemerlang seperti Emma, menjadi rusak karena menolong seorang pengecut seperti dirinya. Tapi kenapa bisa-bisanya gadis itu selalu muncul ketika Roger sedang dihajar?

"Hem.. Apa-apaan kau?" Pria dengan lengan penuh tato memicingkan mata pada Emma. Kedua lengannya terlipat di depan dada.

Kedua pria lainnya ikut bereaksi. Namun sebuah senyuman miring menghiasi bibir mereka. Layaknya seekor predator yang mengendus mangsa empuk.

Emma berdehem, ia melangkah mundur seraya ketiga pria itu mulai mengambil dua langkah mendekatinya. "Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kalian lakukan?" Ucapnya setenang mungkin. Tidak ada nada bergetar dari suaranya. Karena ia memang tidak takut pada ketiga pengecut itu. Ia haya takut akan kehilangan kendali dan berakhir mematahkan leher mereka.

"Apa yang kami lakukan bukanlah urusanmu, cantik. Yang menjadi permasalahan disini adalah, kau melempar kepalaku dengan tas pinkmu itu." Si pria menunjuk tas Emma yang masih tergeletak di lantai.

"Kau pantas mendapatkan itu. Aku tidak bisa membiarkan kalian melakukan perundungan." Jawab Emma tegas.

Namun jawaban itu malah memancing tawa ketiga pria tersebut. Mereka saling mentap satu sama lain sambil memegang perut karena geli.

"Lalu kau bisa apa, hah? Kau akan menghajar kami? Atau melapor ke kampus seperti anak SD?"

"Urus saja urusanmu sendiri, gadis cantik. Pecundang ini tidak pantas mendapat pertolongan dari gadis cantik sepertimu. Kalian itu berbeda level." Timpa pria yang satunya.

"Simpan omong kosong kalian. Roger adalah temanku. Jika kalian mem-bully-nya. Maka kalian juga akan berurusan denganku." Geram Emma.