webnovel

Tertahan

Dia hanya seorang mahasiswi nakal menurut pandangan orang. Namun, tak ada yang tahu, dia memiliki hati yang sama untuk mencintai. Sayangnya, ia mencintai lelaki yang salah.

Ahra · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
13 Chs

Berkunjung

Siang ini jam kuliahku baru saja selesai. Aku segera merapikan buku-buku dan alat tulisku, dan memasukkan nya ke dalam tas. Aku sedikit berlari keluar, karena ingin cepat-cepat pulang.

Tak disangka ternyata Mia menungguku di depan kelas. Ia memaksaku untuk ikut dengannya ke apartemen Kia. Tentu saja aku langsung menolaknya.

Namun sialnya, karena ancaman Mia yang akan mengatakan pada Pak Haris langsung kalau aku mencintai pria itu, jika aku tidak ikut dengannya. Mengancam balik? Semua sudah tahu kelakuan Mia yang suka ganti-ganti pacar.

Jadi aku harus mengancam bagaimana? Dan sekarang kami berdua sudah sampai di depan pintu apartemen Kiana, dan Mia langsung menekan bel.

Tak lama pintu apartemen terbuka, dan memperlihatkan seorang laki-laki yang memakai kaos dan celana selutut. Dia menatap kami dengan alis naik ke atas. "Cari siapa?" tanyanya sambil melihat kami satu-persatu.

Aku mengerutkan kening bingung, dan sepertinya Mia juga kebingungan. Siapa laki-laki di depan kami? Pacar Kiana kah?

"Kita cari Kiana," jawab Mia sopan.

"Ooh, tunggu sebentar," ucapnya lalu berbalik masuk ke dalam tanpa menutup pintu. "Yang ... ada yang nyari adik kamu," teriaknya yang terdengar oleh kami.

Adik? Sepertinya laki-laki tadi pacar kakaknya.

"Siapa?" sahut seseorang di dalam yang terdengar seperti seorang perempuan.

Kami berdua menunggu di depan pintu. Kenapa laki-laki itu tidak mempersilakan kami masuk? Kakiku jadi pegal, kan. Aku kesal pada laki-laki itu.

"Dia siapa?" tanya Mia padaku sambil berbisik.

"Mungkin pacar kakaknya Kia," jawabku menduga dengan nada malas.

"Ooh." Mia menganggukkan kepalanya pelan.

Lalu seorang perempuan yang sedikit mirip dengan Kiana muncul di hadapan kami. "Teman Kiana, ya?" tanyanya sambil tersenyum ramah.

"Iya, Kak," jawab kami berdua berbarengan membalas senyuman perempuan itu.

"Ayo masuk, kebetulan Kiana sedang pergi keluar," ucapnya menjelaskan.

Kami berdua langsung masuk dan duduk di sofa ruang tamu., dan Mia duduk tepat di sebelahku. Pasti ia akan mulai bergosip.

Mia mendekatkan tubuhnya padaku, lalu berbisik, "Apa mereka tinggal bersama?"

"Ssst!" Aku langsung menyimpan telunjukku ke depan bibirku. Menyuruh agar Mia tidak usah bertanya apapun.

"Aku, kan hanya bertanya." Ia langsung menegakkan tubuhnya kembali.

Tak lama kakaknya Kiana datang dengan nampan di tangannya. "Maaf, aku hanya punya teh," ucapnya sambil menyimpan dua gelas berisi teh hangat.

"Iya, tidak apa-apa, Kak," ucapku maklum.

"Aku tinggal dulu, ya, sebentar lagi pasti Kiana akan pulang," pamitnya yang langsung beranjak pergi.

Aku mengangguk mengerti. Memperhatikan langkah kakaknya Kiana yang berjalan ke kamar di sebelah kamar Kiana. Aku sedikit terkejut, karena laki-laki itu mengikutinya masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu kamar dengan pelan.

Apa mereka sudah menikah? Atau hanya tinggal bersama?

"Apa mereka juga sekamar selain tinggal bersama?" tanya Mia yang sepertinya memperhatikan langkah kakaknya Kiana juga.

"Mungkin," jawabku.

Ya ampun, kehidupan mereka benar-benar suram. Aku hanya menggelengkan kepala melihat kehidupan mereka berdua.

---

Sudah setengah jam kami menunggu di ruang tamu. Gelas kami juga sudah kosong. Kakaknya dan laki-laki itu juga tidak keluar kamar lagi. Sepertinya hubungan mereka sudah ke tahap itu.

"Nomor Kiana nggak aktif kayaknya," gumam Mia sambil melihat ke layar ponselnya.

Aku meliriknya dengan ekor mataku. "Dia lagi perpustakaan kota mungkin, makanya gak aktif."

"Mungkin."

Tak lama kami melihat pintu apartemen terbuka. Kebetulan jarak antara pintu ke ruang tamu itu dekat dan tidak ada penyekat.

Benar saja itu Kiana. Ia berjalan mendekat ke arah kami dengan wajah mengkerut. "Sedang apa kalian di sini?"

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku yakin, sebentar lagi pasti ia akan mengusir kami seperti waktu itu.

"Kami ingin nginep di sini," jawab Mia yang beraninya melibatkan aku.

Aku langsung menoleh ke arahnya sambil menatap tajam, padahal tadi ia bilang hanya memintaku menemaninya saja, lalu kenapa sekarang aku juga dibawa-bawa akan menginap di sini. Tapi sepertinya Mia sama sekali tidak mempedulikan tatapanku, ia tetap fokus menatap Kiana yang balik menatapnya juga.

"Siapa yang ngizinin kalian masuk?" Kiana menyilangkan kedua tangannya ke depan dada sambil menatap kami dengan intimidasi.

Nah, kan, sebentar lagi pasti Kiana ngamuk.

"Kami masuk sendiri," jawab Mia tidak masuk akal.

Bukankah itu akan membuat ia semakin marah? Dasar menyebalkan.

"Haaah, kalau cari alasan itu yang masuk akal," sarkasnya sambil menghembuskan napas kasar.

"Gue gak mau ya, diusir lagi. Mirip kucing garong tahu gak," ucapnya kesal sambil mengembungkan kedua pipinya.

"Terserahlah, gue bodo amat," ucap Kiana lalu beranjak masuk ke kamarnya.

"Itu artinya dia ngizinin kita, kan," tebak Mia.

"Mana gue tahu." Aku hanya mengangkat bahu lalu menyandarkan punggungku di sofa.

"Dah lah, gue mau masuk," ucapnya yang langsung melangkah ke kamar Kiana dengan santai.

"Terserah, aku tidak peduli." Aku memilih memejamkan mataku. Urusan masuk ke kamar Kiana bisa belakangan. Perlahan aku mulai masuk ke alam mimpi.

---

Sepertinya aku tertidur di sofa. Setengah sadar, aku bisa merasakan usapan lembut di wajahku. Siapa yang berani-beraninya menyentuhku? Aku langsung membuka mataku dan melotot ke arahnya.

Namun, saat tahu siapa yang mengusap wajahku, tatapanku langsung berubah lembut. "Pak Haris?" tanyaku tidak percaya dan langsung menegakkan tubuhku.

Ya, di depanku ada Pak Haris. Tangannya masih mengusap wajahku dengan lembut, dan sekarang aku bisa melihatnya tengah tersenyum lembut padaku.

"Bapak kok ada di sini?"

"Saya merindukanmu," jawabnya yang membuatku bingung.

"Maksud Bapak?"

"Karena saya--"

Ucapan Pak Haris tidak bisa kudengar lagi. Kini dia hanya membuka mulutnya tanpa mengeluarkan suara apapun. Apa aku sudah tuli?

"Woy, bangun!"

Samar, aku bisa mendengar suara itu, dan tak lama wajah Pak Haris mulai memudar dan digantikan oleh wajah menyebalkan Mia.

"Lu? Ngapain muka lu deket-deket muka gue?"

Ternyata tadi itu mimpi? Menyebalkan!

Mia yang awalnya membungkuk menghadap ke arahku, langsung menegakkan tubuhnya dan menghilangkan kedua tangannya.

"Lu yang apa-apaan?" teriaknya kesal. "Manggil-manggil Pak Haris sambil ngedesah."

Aku langsung melotot kaget mendengar ucapan Mia. "Lu jangan sembarangan!"

"Gue ngomong yang sebenernya."

Aku menundukkan kepala, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Mia. Tidak mungkin kan, aku menyebut nama Pak Haris sambil mendesah. Aku kembali menatap Mia masih dengan tidak percaya.

"Dah lah, terserah kalau gak percaya." Mia langsung pergi meninggalkanku.

Aku menatap kepergian Mia yang kembali masuk ke kamar Kiana.

"Padahal tadi aku hanya bermimpi melihat Pak Haris yang tersenyum saja. Tidak mungkin, kan, aku sampai mendesah," gumamku sambil mengingat-ingat mimpiku tadi.

"Aaa! Masa sih sampai bisa gitu!"

Aku menarik rambutku frustasi sambil menunduk malu. Jika yang dikatakan Mia benar, itu berarti aku mesum. Tidak! Tidak mungkin! Kenapa juga aku harus bermimpi Pak Haris.