webnovel

Bersama Istri

Setelah membaca dan menunggu Afwan yang tak kunjung pulang, Sayida pun tertidur.

Malam yang larut akhirnya Afwan benar-benar memutuskan pulang. Dia berjalan memasuki rumahnya yang terasa asing baginya.

Dia sangat mencintai rumahnya. Tapi juga dia dibingungkan oleh isi rumahnya. Afwan berbaring di ruang tamu. Sambil memejamkan mata rapat.

'Ya Allah. Apa yang harus aku lakukan aku memang sangat mencintainya. Apa dia masih sedih karena sikap ibu? Dan aku harus bagaimana lagi?' tanya Afwan dalam hati yang kebingungan.

Malam itu tiba-tiba suasana di luar rumah hujan deras. Suara hujan yang sangat menakutkan beserta angin. Membuat terkejut ketika mendengar suara guntur yang menggelegar. Afwan segera bangun dan berjalan ke kamarnya.

Dia terus menatapi istrinya yang sedang tertidur pulas.

'Kamu sebenarnya menganggap aku ini apa? Jika kamu tidak pernah cinta Kenapa kamu mau aku nikahi? Dan sekarang aku harus berbuat bagaimana agar kamu bisa bahagia hidup bersamaku? Aku merasa bersalah karena aku sudah menikahimu. Kamu setiap hari sedih. Sebisa mungkin aku membuatmu bahagia. Namun jika itu tidak terjadi aku harus bagaimana lagi. Sayyidah Aku tidak pernah tidak mencintaimu. Aku selalu mencintaimu Saidah. Apa kamu tidak pernah mengerti dengan isi hatiku? Apa kamu tidak pernah melihat ketulusan ku dan cintaku? Apa kamu tidak pernah melihat artinya kamu di hidupku. Seseorang memang harus sabar menjalani kehidupan. Aku bisa saja bersabar menunggu cintamu yang belum terbentuk juga. Tapi kalau aku terus usaha dan kamu sama sekali tidak berusaha untuk mendatangkan aku di dalam hatimu. Maka kita tidak akan sama-sama saling memiliki perasaan. Perasaanku cuma sepihak. Cuma aku saja yang mencintaimu. Walaupun kamu sepenuhnya milikku. Tetap saja itu tidak adil karena kamu tidak mencintaiku. Aku tidak masalah Tersakiti. Aku tidak masalah juga jika kamu tidak membalas cintaku. Tapi aku bermasalah jika kamu menangis setiap hari. Aku benar-benar tersiksa dengan air matamu. Di dalam lubuk hatiku yang terdalam Aku selalu memikirkan cara agar kamu tersenyum. Agar kamu bahagia dan nyaman. Entahlah Bagaimana caranya?"

"Kau sudah menjadi bagian peneduh di dalam waktu mendung ketika aku sedang kehujanan." Afwan benar-benar menangis ketika mengatakan itu kepada Saidah.

'Bagaimana aku bisa tidak menghargaimu sama sekali. Bagaimana aku bisa mengacuhkanmu seperti itu. Aku sangat kejam. Aku begitu Naif dan aku begitu bodoh Betapa aku sangat menginginkan mu namun aku tidak pernah jujur karena malu. Aku terlalu sering mementingkan egoku padahal Kamu adalah seseorang yang menyembuhkan luka hatiku saat air mataku menangis karena putus cinta. Kamu memberikan Semangat tapi aku tetap mementingkan rasa maluku. Hik hik hiks est ....' batin Sayida.

Baru kali ini Sayyida melihat Afwan menangis seperti itu. Sayyida bangun dari ranjang memdekat ke Afwan.

"Jangan Kamu kira aku main-main untuk menikah denganmu. Jangan Kamu kira aku tidak serius menjalani ikatan suci ini," jelas Sayyida.

Mendengar itu semua Afwan melihat ketulusan yang teramat besar dari Sayyida.

"Aku ingin kamu selalu merangkulku di pagi hari. Menghabiskan setiap malam bersama. Aku ingin menjadikanmu rekan seperjalanan ku tanpa syarat apapun aku adalah milikmu. Mungkin nantinya, dan pasti kita akan terpisahkan oleh maut. Tapi setidaknya aku pernah memilikimu dan kamu pernah memiliki ku untuk melepas kehampaan. Aku benar-benar mendapatkan kedamaian, aku yakin kamu kedamaian yang sudah dikirimkan Allah untuk menemaniku nantinya. Kemarin aku tak sengaja aku menangis. Aku menangis ketika aku tidak mendengar kanmu. Sesuatu yang harusnya milikku akan tetap menjadi milikku. Dimanapun aku memandang ke suatu tempat aku hanya melihatmu. Mungkin ini semua gila atau keterlaluan. Semoga ini hanyalah perasaan cinta yang wajar. Katakan kepadaku Bagaimana aku bisa hidup tanpamu? Aku mohon jangan menghilang lagi Mas. Aku mohon tunggu aku. Karena sepanjang waktu ketidak hadiran mu selalu meresahkan hatiku. Aku sendiri tidak tahu betapa pentingnya kamu bagiku."

"Jangan berkata seperti itu. Itu semua hanya rayuan atau memang benar? Selama ini kamu terus bersedih dan aku meragukanmu." Suara Afwan terpecah dan tidak sanggup lagi melihat Sayyida.

Apa kamu tidak percaya kepadaku?" tanya Sayyida karena merasa Afwan sangat meragukannya.

"Aku sama sekali tidak pernah meragukanmu. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu sebisanya Aku membencimu aku malah semakin merindukanmu. Aku tersiksa, ketika kamu masih terkenang masa lalu. Setiap kata-kata itu membuat aku berambisi untuk mendapatkanmu."

Afwan menangis pilu dan tidak kuasa. Sayida benar-benar merasa bersalah karena diamnya dan tidak mengatakan apapun. Sayyida hanya menangis tertegun dan tidak bisa mengucapkan apapun.

"Sekarang aku sudah melihat ketulusanmu. Mari makan bersama. Mari nikmati pernikahan ini dengan melakukan kesunahan," ucap Afwan menatap Sayyida penuh kasih sayang Sayyida pun menaikkan kepala ketika dia mengatakan itu. Walau menangis Sayyida juga tersenyum dan memeluk Afwan.

Sayyida tersenyum bahagia dan penuh haru. "Pernikahan. Seperti mau ngajak teman makan yuk. Hehehe," ucap Afwan tertawa lepas Sayyida pun hanya menggaruk kepalanya.

"Yang penting kan aku sudah menunjukkan keseriusan ku. Aku tidak main-main seperti yang lain. Aku merasa Bersyukur kepada Allah karena sudah memberikan aku waktu untuk berjumpa denganmu kembali. Jujur saja aku sering merasa bersalah Sampai saat ini pun aku merasa bersalah. Jadi mari kita makan banyak-banyak. Aku tidak akan menangis lagi," ujar Sayyida meyakinkan dengan berdiri di depan Afwan.

"Kalau keberatan nya terlalu itu semakin tidak sehat kita makan sewajarnya saja. Yang penting jangan takut gemuk. Makan sebelum lapar berhenti sebelum kenyang. Jadi seimbangkan. Kita akan sama-sama belajar normal. Aku akan membuatmu suka makan tapi nggak terlalu juga. Doakan aku agar masalah dengan Kaira tuntas. Rasanya aku benar-benar lelah katanya selalu menilai aku padahal aku sudah punya bukti nyata."

Apakah Ustadzah Kaira cantik?" tanya Sayyida. Karena nama itu sering di sebutkan mertuanya. Afwan tersenyum.

"Aku sendiri saja belum tahu orangnya bagaimana," jawab Sayyida sambil mengupaskan apel.

"Kalau cantik bagaimana? Apa mungkin kamu tidak menyukainya. Kamu kan dari dulu sangat suka dengan gadis yang seksi," tutur Sayyida yang sedih.

"Semoga Allah selalu membukakan mata hatiku. Agar aku tidak melihat orang hanya dengan fisiknya. Jika cantik, terus saja doakan agar hatiku tidak pernah berpaling dari Allah. Jika aku benar-benar takut kepada Allah dan siksaNya. Maka aku tidak akan pernah tergoda dengan apapun. Karena hatiku punya rasa takut yang begitu dalam. Sekarang ini aku benar-benar ingin belajar ilmu agama. Aku ingin memperbaiki diriku yang masih buruk. Semoga Allah selalu melindungiku. Selama ini karena aku sudah menyia-nyiakan banyak waktu. Menyia-nyiakan waktu dan tidak ada gunanya. Bersenang-senang sesuka hati tanpa memikirkan seseorang yang memikirkanku. Ah ... Aku memang sangat buruk. Yang cantik adalah wanita yang aku nikahi," kata Afwan menunjukkan wajah bahagia.

Sayyida menatapnya penuh perasaan dan menerima potongan apel itu dari tangan pemuda yang sangat mencintainya.

"Lalu. Bagaimana langkah selanjutnya soal Kaira?" tanya Sayyida.

"Kamu tidak usah kuatir istri. Aku kan punya kakak yang sangat mirip denganku. Gampang lah nanti diatur doakan saja semoga mudah. Ya pasti ada resikonya tapi semoga saja tidak ada apa-apa. Sekarang juga aku melihat keadaan keluarga ku biasa saja walaupun kami kehilangan aset dua perusahaan. Tapi Apa kamu tahu."

"Beri aku pituah agar cintaku ini lebih kepada Allah. Agar penyakit cinta ini tidak menyerangku dengan terlalu," kata Sayyida.