"Putri tidur sudah bangun?!" ujarnya melihat ke arloji yang melingkari pergelangan tangannya.
"Kau tidur selama tujuh jam, lebih lima belas menit." Ia berkata lagi. Lelaki itu berjalan mendekat.
"Siapa kau? Apa yang kau inginkan?" Florence ketakutan dan memundurkan langkah. Untunglah ada dinding yang menahannya, jika tidak, pastilah Florence jatuh ke dalam jurang. Ia sangat ingin berlari dan menyelamatkan diri.
Lelaki itu menyapukan pandangannya ke seluruh tubuh Florence. Ia menarik napas panjang, lalu membuangnya melalui mulut dengan kasar. Ia duduk di atas kursi, pandangnya tak lepas dari wanita di depannya.
"Dokter Florence Quill, kenapa kau bisa berakhir di tempat ini?" Lelaki itu bertanya. Lebih tepatnya kata-kata yang Ia ucapkan lebih mirip gumaman. Seakan-akan ia menyesalkan wanita itu berada di sarang mereka saat ini.
"Bagaimana aku bisa tahu, huh?!" Florence berteriak nyaring, "Bukan aku penculiknya di sini!" dia semakin berang.
Lelaki itu berdecak kesal dan keluar ruangan. Beberapa saat kemudian Ia kembali membawa nampan berisi makanan.
"Makanlah," ucapnya sambil meletakkan nampan di atas meja.
Florence menatap makanan itu. Ia terdiam membeku. Tanpa gerak, tanpa kata.
"Dengar, Flo. Kau harus tetap hidup. Kau hanya berharga jika kau tetap begitu. Jadi, bersikap baiklah. Bekerja sama itu lebih baik untukmu. Mereka ... para lelaki di luar sana," ujarnya sambil menunjuk pintu. Lamat-lamat terdengar suara beberapa orang lelaki sedang berbincang
"Percayalah. Mereka tidak akan segan untuk menghabisimu, juga 'menghabisimu' dengan cara lain." Ia memberikan tatapan mendalam di seluruh tubuh Florence. Sungguh, ia sangat mengakui betapa cantiknya Florence. Dress berwarna mocca yang ia kenakan semakin memperindah penampilannya.
"Makanlah sebelum mereka menjejalkannya dengan paksa. Aku yakin, mereka juga akan berusaha menjejalkan makanan yang lain ke dalam mulutmu." Ia bicara dengan senyuman yang rumit sambil mengedipkan mata.
Florence menggigil saat mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir lelaki itu. Embun hangat menetes dari kedua sudut matanya.
"Apa maumu?!" Florence terduduk lemas. Suaranya lirih.
"Bukan apa mauku, Flo ... tapi apa mau dia yang melakukan ini padamu? Aku hanyalah seorang pesuruh. Makan dan bersikap baiklah. Mereka tidak akan segan-segan berbuat kasar." Lelaki itu meninggalkannya.
Florence sendiri dalam tangis. Ia merindukan suami dan anaknya. Bagaimana keadaan putri mereka? Apakah ia baik-baik saja? Apakah ayahnya mengurusnya dengan baik? Pikiran itu semakin menyakiti Florence.
***
Florence tersentak dari tidurnya saat mendengar banyak derap langkah kaki memasuki kamarnya. Setidaknya ruangan itu menjadi miliknya dalam tiga hari terakhir.
Dia ketakutan.
Tiga orang lelaki berada di dalam kamarnya. Salah satu dari mereka menyibak dress miliknya. Pakaian yang sama Ia kenakan sejak tiga hari yang lalu. Pakaian dalamnya terlihat. Pahanya yang semulus porselen tersingkap. Mengetarkan jiwa ketiga pria itu. Ia menyapukan tangannya ke paha Florence.
"Kau memiliki kulit selembut sutra," ujarnya antusias. Tatapan matanya liar menjelajahi tubuh Florence.
Florence segera bangun dan menutupnya kembali. Ia mengigil ketakutan membayangkan apa yang akan ia hadapi. Florence seakan mencium aroma kesengsaraan yang akan ia dapatkan. Nanar matanya yang basah menatap mereka satu per satu.
"Mau apa kalian, huh?!" Florence berteriak nyaring. Peluh dingin membasahi kening. Ia meringkuk di sudut ranjang.
"Aku mau kau, Sayang," ujar lelaki itu semakin mendekat. Ia menarik tengkuk Florence lalu melumat bibirnya.