Florence Foster gadis manis dan anggun berusia 17 tahun. Rambut indah merah kecokelatan mirip tembaga dibiarkan menutupi pundak. "Mom, Dad, aku mau mengatakan sesuatu," ucap Florence gugup. "Tidak, Flo. Kita tidak sedang berdiskusi. Ini perintah, jangan pernah lagi kau membicarakan hal ini lagi." Ayah Florance mengecam dengan keras. "Tapi, Dad!" "Flo! CUKUP!" "Aku cinta anak-anak, Pa!" "Flo, hentikan!"
Edward berlari dan berteriak keras memanggil sang istri, "Floooo!"
Namun, belum sampai langkah kakinya mendekati Florence, mobil itu sudah pergi membawa istrinya.
"Florence!" Edward terus berteriak nyaring memanggil sang istri yang semakin menjauh, kemudian menghilang. Ia berlutut di tanah bertopang kedua lutut.
"Florence! Bangsat! Siapa kalian?!" Edward berteriak dan memaki. Tubuhnya gemetar dan deru napasnya berpacu sangat cepat.
Wajahnya merah padam terbakar amarah yang menggelegak. Membuat setiap tetesan darah di tubuhnya mendidih diselimuti kemurkaan yang maha dahsyat. Betapa merahnya dia istrinya yang begitu dicintainya kini diculik.
"Florence ..." Ia menangisi istrinya sambil tersedu-sedu.
Orang-orang berkerumun, mendekat dan bertanya perihal apa yang terjadi. Edward kebingungan. Ia linglung dan sama sekali tidak mengetahui situasi apa yang sebenarnya terjadi.
"Istriku ... diculik. Istriku diculik," ucapnya berulang-ulang disertai tangisan kepedihan.
Ponsel di dalam sakunya berdering. Edward melihat ke layar ponselnya. Tidak ada nomor, hanya sederet tulisan private number. Tangan Edward yang gemetar menekan tombol hijau.
"Halo," ujarnya gugup.
"Edward, tolong aku!" pekik Florence dengan suara yang nyaring. Suaranya tiba-tiba berubah. Seorang membekap mulutnya.
"Flo!" Edward berteriak keras.
"Edward, dengarkan ini baik-baik. Jika kau ingin istrimu selamat, pulanglah dan jangan lapor polisi!" Suara laki-laki di ujung sana mengintimidasi.
"Apa maumu?!" Edward kembali berteriak. Kemarahannya membabi buta.
"Dengar, Edward. Pulanglah ke rumahmu! Jangan membuat keributan. Ingat! Tenang. Jangan ada polisi, maka istrimu bisa selamat. Aku akan mengabarimu apa yang kubutuhkan," ujar lelaki itu dengan nada yang dingin dan terdengar mematikan.
Edward memasukan kembali ponselnya ke dalam saku dengan kesedihan yang mendalam.
"Ayolah laporkan ke polisi," seru orang-orang di tempat itu. Sebagian besar dari mereka adalah pengunjung kafe.
"Tidak perlu, maafkan aku. Mereka hanya mengerjaiku. Ini hari ulang tahunku," sahut Edward seringan mungkin.
Semua orang di tempat itu mengucapkan kalimat sumpah serapah. Betapa buruknya lelucon yang mereka lakukan. Betapa jahat sang istri melakukan hal itu kepada suaminya. Semua orang pun menjauh pergi.
Edward pulang ke rumah sesuai instruksi yang diberikan sang penculik. Ia menunggu di rumah mereka yang besar dan megah layaknya istana. Edward terpaku memandangi ponsel miliknya yang tergeletak di meja. Tak pernah sebelumnya ia begitu menantikan ponselnya berdering seperti hari ini. Kegelisahan membuncah hebat mengisi rongga dadanya.
"Apa yang harus kukatakan pada Bella nanti?" Edward bergumam sendiri. Ia masih menunggu, tak pernah menunggu begitu menyiksa seperti hari ini sebelumnya.