webnovel

Terjerat Cinta Anak Pungut

~Anak Pungut~ Sakit sekali rasanya saat mendengar dua kata itu terlontar dengan jelas, sakit sekali rasanya saat aku tahu jika aku adalah anak pungut. Anaya, semasa hidupnya ia selalu bahagia bersama dengan kedua orang tuanya, meski ada saudara yang begitu membencinya tapi Anaya tetap bahagia. Anaya semakin merasa bahagia karena memiliki Haikal sebagai kekasihnya, Haikal lelaki baik dan penuh kasih sayang, itulah yang membuat Anaya merasa sangat beruntung. Tapi semua hancur saat Anaya mengetahui jika dirinya hanya anak pungut, Anaya hanya bayi yang ditemukan di dalam kantong keresek di semak rerumputan. Haikal jadi menjauhinya dan lebih memilih Sasya saudara Anaya yang jelas asal usulnya, Anaya kehilangan separuh semangat hidupnya karena Haikal yang meninggalkannya. Hingga suatu hari, kenyataan yang sama pun didapatkan Haikal, Haikal bukan anak kandung dari kedua orang tuanya dalam kata lain, Haikal juga hanya anak pungut saja. Saat itu, Haikal merasakan apa yang dirasakan Anaya sebelumnya, merasa diasingkan dan tidak berharga. Kenyataan itu Haikal ketahui saat Anaya telah menemukan semangat baru untuk harinya, lelaki baru yang menjadi pasangannya, dan yang bisa membahagiakannya. Haikal tidak terima dengan itu, pertemuan mereka malam itu telah membuat Haikal merasa menyesal telah meninggalkan Anaya hanya karena Anaya anak pungut. Apakah Haikal akan kembali pada Anaya, atau mungkin Haikal akan tetap bersama Sasya?. Apakah Sasya akan tetap menerima Haikal, saat tahu jika Haikal tak ada beda dengan Anaya?. . . Yuk baca, semoga suka, maaf kalau cerita kurang menarik soalnya masih belajar. Dan tolong tinggalkan pesan untuk semangat author ya. Terimakasih, salam ~mentari93_~

mentari93_ · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
9 Chs

Bab5. Sebentar Lagi

Setelah beberapa hari di rumah sakit, Anaya kini telah kembali ke rumah, Anaya pulang saat malam hari.

Di rumah rupanya Sasya sudah menunggu kedatangan mereka, Sasya tersenyum dan bertepuk tangan melihat Anaya yang dipapah oleh kedua orang tuanya.

Mereka menghentikan langkah dan terdiam menatap Sasya, apa lagi sekarang, apa Sasya masih akan cari masalah dengan Anaya.

"Hebat sekali ya lo, Anaya."

Anaya hanya diam saja, kepalanya masih sedikit pusing saat ini.

"Setelah gue bongkar semuanya, lo masih saja berani datang ke rumah ini, benar-benar gak tahu malu."

Sasya menggeleng dengan menunjukan wajah mirisnya.

"Aku tidak mau kembali kesini, tapi Mamah sama Papah yang memaksa aku kembali kesini."

"Alah .... itu alasan lo saja, lo berasa aman kan karena lo tahu kalau Mamah sama Papah bakalan tetap belain lo dari pada gue."

"Sasya, aku tidak pernah memaksa apa pun untuk semua perlakuan orang tua kamu."

"Tapi sekarang lo manfaatkan semua itu."

Sasya mendorong pundak Anaya dengan kasar.

"Anaya, apa-apaan kamu ini." ucap Firman.

"Bela saja terus, mungkin memang lebih baik aku yang pergi dari rumah ini, iya kan?"

"Sasya, jaga bicara kamu." ucap Rosi.

"Terserah, sekarang Mamah sama Papah pilih, mau aku yang tetap disini atau anak pungut ini?"

"Sasya."

"Apa, lo mau apa, mau tampar gue, ayo tampar lo fikir gue takut."

"Sasya cukup," ucap Rosi.

Sasya mengangguk seraya tersenyum, Sasya benar-benar muak dengan mereka bertiga, Sasya tidak bisa lagi ada ditengah mereka.

"Oke, tenang saja, Mamah dan Papah tidak akan pernah kehilangan anak pungut kesayangan kalian, karena aku yang akan pergi dari rumah ini."

"Sasya."

"Iya, sekarang juga, tenang saja."

Sasya berlalu memasuki rumah, Sasya akan merapikan barangnya dan pergi dari rumah itu, Sasya sudah muak diperlakukan tidak adil oleh orang tuanya sendiri hanya untuk membela anak pungut itu.

"Aku harus hentikan Sasya."

"Sudahlah Anaya, biarkan saja." ucap Firman.

"Gak bisa, Pah."

"Sudah Anaya, Sasya tidak akan bisa hidup diluaran sendirian, Sasya akan kembali dengan sendirinya." tambah Rosi.

Mereka melanjutkan langkah memasuki rumah, Anaya jadi semakin merasa bersalah terhadap Sasya.

Bagaimana bisa Sasya pergi dari rumahnya sendiri, sedangkan Anaya yang jelas bukan siapa-siapa masih bisa tinggal di rumah tersebut.

"Kamu mau langsung ke kamar atau makan dulu?" tanya Rosi.

"Aku mau duduk disana."

Rosi mengangguk setuju dan mengantarkan Anaya ke kursi pilihannya.

"Papah ke kamar dulu ya, mau ganti baju."

"Iya, Pah"

Firman lantas berlalu meninggalkan keduanya, Firman memang pulang terlambat dari kantor dan langsung menjemput Anaya di rumah sakit.

"Mamah buatkan kamu minuman dulu ya, kamu mau apa?"

"Gak usah, nanti aku bisa buat sendiri."

"Sudahlah Anaya, Mbak sedang tidak ada jadi biar Mamah saja yang buatkan, kamu mau apa?"

"Teh manis hangat."

"Ya sudah, Mamah buatkan dulu ya, kamu tunggu disini."

Anaya mengangguk dan tersenyum, Rosi berlalu meninggalkannya untuk membuatkan teh manis yang pesan tadi.

Anaya memijat keningnya, padahal dokter bilang Anaya sudah sehat tapi kenapa kepalanya masih saja terasa pusing.

Anaya melihat Sasya yang berjalan dengan membawa koper pribadinya, Sasya akan pergi dari rumah dan itu bukan main-main.

"Sya," panggil Anaya.

Sasya menghentikan langkahnya tanpa menoleh, Anaya bangkit dan berjalan perlahan menghampiri Sasya.

"Sya, aku mohon jangan pergi, ini rumah kamu."

Sasya mendelik tak peduli dengan ucapan Anaya.

"Aku minta maaf Sya, tapi aku benar-benar gak tahu tentang semua itu."

Sasya menghembuskan nafansya sekaligus dan berbalik.

"Lalu apa?"

"Aku minta kamu jangan pergi, aku juga tidak pernah ganggu kamu selama disini."

"Oh ya, masa sih, tapi dengan lo muncul di depan mata gue, itu sudah sangat mengganggu."

"Sasya, aku ...."

"Lo diam deh, berisik, gue gak mau dengar apa pun dari mulut lo."

"Tapi kamu gak boleh pergi, kamu gak boleh buat Mamah sama Papah sedih."

"Sedih .... sedih lo bilang, mereka gak akan sedih karena kehilangan gue, mereka akan sedih kalau lo yang pergi dari rumah ini."

"Sasya."

"Diam, gue bilang diam."

"Tapi aku tetap minta kamu jangan pergi."

"Kalau gitu kenapa gak lo saja yang pergi?"

"Sya tubuh aku masih lemah, aku juga tidak punya tujuan, tolong kasih aku waktu beberapa hari lagi sampai aku benar-benar sehat."

"Banyak nawar ya, lo fikir ini emperan, lo fikir gue pedangan pinggir jalan bisa lo tawar seperti itu?"

"Sasya, aku hanya minta sebentar lagi, aku akan pergi dari rumah ini."

"Lo fikir gue percaya, parasit kayak lo mana mau meninggalkan semua kemewahan disini, lo jangan anggap gue bego ya."

Anaya memejamkan matanya sesaat, kenapa bisa Sasya berkata seperti itu, memangnya sejahat apa Anaya selama ini.

"Lo mau pergi gak, gak usah banyak nawar."

"Sasya tapi aku gak punya tujuan sekarang, Sya."

"Ya gue gak peduli, kalau lo gak mau pergi, ya sudah jangan halangi gue."

"Tapi aku gak mau kamu pergi, kenapa sih Sya, aku kan sudah minta maaf bahkan selalu minta maaf sama kamu."

"Banyak ngomong."

Sasya kembali melangkah, malas sekali Sasya membuang suaranya hanya untuk berdebat dengan Anaya.

"Sampai besok," ucap Anaya.

Langkah Sasya kembali terhenti, ucapan Anaya cukup menarik perhatiannya.

"Hanya sampai besok saja Sya, besok malam aku akan pergi dari rumah ini."

"Besok siang, kelamaan kalau sampai malam."

Anaya diam, setidaknya ada celah untuk Anaya berfikir kemana harus pergi besok.

"Lo mau gak?"

"Iya, aku mau, besok siang aku akan pergi."

Sasya tersenyum dan berbalik, Anaya turut tersenyum pada Sasya.

"Lo janji sama gue?"

"Iya, aku janji, tapi sekarang kamu jangan pergi."

"Lo akan rasakan akibatnya kalau lo sampai ingkari janji lo itu."

Anaya mengangguk, Anaya tidak akan ingkari janjinya pada Sasya, jika Anaya sudah dapat tujuan, Anaya akan langsung pergi dari rumah itu.

"Kamu mau kan izinkan aku tetap disini sampai besok siang?"

"Tentu saja, lo juga setuju dengan apa yang akan gue lakukan kalau lo sampai ingkar janji."

"Iya."

Sasya tersenyum dan mendekati Anaya, Sasya memeluk Anaya begitu saja.

Anaya tersenyum, ini pertama kalinya Sasya mau memeluk dirinya, Anaya senang dengan pelukan itu.

"Sasya, Anaya." panggil Rosi.

Sasya melepaskan pelukannya dan melirik Rosi bersamaan dengan Anaya.

"Sasya, kamu kenapa?"

"Gak apa-apa, aku baik" ucap Sasya yang kemudian pergi begitu saja.

"Anaya, kamu gak apa-apa?"

Anaya menggeleng pasti, setidaknya Sasya tidak jadi pergi dari rumahnya sendiri, biar Anaya fikirkan kemana Anaya harus pergi besok siang.